Riset AJI: Perusahaan Media Diskriminatif, Jurnalis Perempuan Diupah Lebih Rendah

Survei Upah Layak per 2021 yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menemukan realitas bahwa masih ada jurnalis perempuan yang diupah lebih rendah dibanding jurnalis laki-laki.

Bayangin jika kamu sudah bekerja sama kerasnya, tapi diupah lebih murah, hanya karena kamu adalah seorang perempuan. Termasuk, jika kamu bekerja sebagai jurnalis. 

Padahal beban kerja sebagai jurnalis, yang bekerja untuk kepentingan publik ini, bisa dibilang juga tak mudah. Masih banyak jurnalis kini yang ‘didoktrin’ untuk bekerja terus-menerus seringnya lebih dari 8 jam tanpa uang lembur, akhir pekan jarang libur, hingga tingginya risiko kerja termasuk menjadi korban seksisme dan pelecehan seksual. 

Tentu saja, kesenjangan upah di tengah kondisi tersebut tidak menyenangkan bukan? Bahkan, termasuk diskriminasi berbasis gender yang memang harus segera dihapus. 

Survei Upah Layak per 2021 yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menemukan realitas bahwa masih ada jurnalis perempuan yang ternyata mengalami kesenjangan upah. Sebanyak 4 orang dari 99 jurnalis dengan masa kerja maksimal 5 tahun itu mengatakan, di perusahaan tempat ia bekerja terdapat perbedaan pengupahan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, upah lebih rendah relatif dialami oleh perempuan. 

“Empat responden mengaku ada perbedaan upah yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan dan beban kerja yang sama di perusahaan tempat dia bekerja,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Jakarta, Irsyan Hasyim, dalam paparannya awal April 2022 lalu. 

Sementara itu, sebanyak 41 responden mengaku tidak ada perbedaan upah signifikan dan 54 orang lainnya mengaku tidak mengetahui adanya perbedaan upah. 

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Rikando Somba berpendapat bisa jadi terdapat faktor-faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan upah pada jurnalis perempuan itu mungkin saja akibat ketidaktahuan/ketidakpekaan perusahaan. 

Namun menurutnya, pihaknya tidak membenarkan perusahaan melakukan diskriminasi kesenjangan upah. Ini juga berlaku jika perusahaan memberikan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).  

“Tindakan semena-mena (jika benar terjadi), adalah perbudakan di abad modern kaitannya dengan pembayaran gaji,” ujar Rikando itu.

Perihal kesejahteraan jurnalis, Rikando mengatakan pihak perusahaan media kini sebisa mungkin mengupayakan agar bisa mengupah pekerjanya dengan layak. Dia tak memungkiri dampak pandemi beberapa tahun ini, memang cukup memukul industri media. Maka dari itu, upaya-upaya kolaborasi kemudian dilakukan untuk mendorong bisnis berkelanjutan. 

“Ada kenaikan potensi pengiklan, namun disparitas antara daerah ini membuat satu PR tersendiri,” katanya. 

Diskriminasi Berdasarkan Gender Tak Bisa Dibiarkan

Mendapati situasi itu, Anggota Dewan Pers Terpilih Periode 2022-2025, Ninik Rahayu mengatakan diskriminasi berbasiskan gender memang masih terjadi dalam hal upah pekerja pers. 

Survei Upah Layak yang dilakukan AJI Jakarta pada tahun ini sebesar Rp 8,06 juta yang meskipun lebih rendah dibandingkan tahun lalu yaitu Rp 8,3 juta, masih sulit diterapkan di perusahaan media. Begitu pula dengan realita masih adanya kesenjangan upah yang dialami jurnalis perempuan, menunjukkan diskriminasi berlapis bagi jurnalis perempuan. 

“Survei ini menunjukkan bahwa diskriminasi atas nama gender masih terjadi dalam hal upah pekerja pers. Padahal, berdasarkan prinsip CEDAW (yang diratifikasi pada 24 Juli 1984 di Indonesia) maka persamaan upah merupakan bagian dari membangun kesetaraan gender,” terang Ninik. 

Dia melanjutkan, adanya kesenjangan upah terhadap jurnalis perempuan ini bisa saja disebabkan oleh bias yang sistematis terhadap perempuan dalam bekerja. Misalnya saja, jurnalis perempuan yang memang selama ini “dibedakan” pekerjaannya dengan laki-laki, sehingga kesempatan yang berkaitan dengan promosi gaji atau bonus pun juga berbeda. 

“Sejak awal jenis pekerjaannya sudah dibedakan, kenapa (bisa jadi) mendapatkan upah yang berbeda,” katanya. 

Survei realitas jurnalis perempuan yang dilakukan AJI ini, menurutnya, memang perlu menjadi perhatian serius. Dia mengamini bahwa data-data tersebut akan menjadi evaluasi di internal lembaga. Termasuk kaitannya dalam evaluasi perusahaan media dalam mainstreaming perspektif gender seperti kebijakan yang adil bagi perempuan. 

“Itu harus jadi sebuah sistem yang jadi evaluasi ke depan. Perlu membuat kerja sama baik bentuknya MoU atau lembaga hukum, lembaga pers, untuk memastikan kesejahteraan, perlindungan insan jurnalis. Meminta perhatian perempuan bahwa tidak ada insan pers (yang layak) untuk didiskriminasi,” imbuhnya. 

Tak hanya di lingkup Jakarta, AJI Bandar Lampung tahun lalu pernah membuat survei terhadap 45 jurnalis perempuan di Lampung. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 jurnalis perempuan bersedia mengisi kuesioner. Mereka terverifikasi sebagai jurnalis aktif, dan bukan mantan jurnalis.

Temuannya, sebanyak 37,9 persen jurnalis perempuan menerima upah di bawah UMP yaitu Rp 2,4 juta. Hasil polling, 10 dari 30 jurnalis perempuan menerima upah senilai Rp 1 juta – Rp 2,3 juta. 

Dari total 30 jurnalis, persoalan kesejahteraan jurnalis perempuan bisa dikatakan masih memprihatinkan. Sebanyak 10 jurnalis perempuan (33,3%) sama sekali tidak memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 45,5% jurnalis perempuan tidak pula menerima upah tambahan saat mendapat beban kerja yang meningkat. 

Menyoal peningkatan kompetensi dan karir pun, jurnalis perempuan sepertiganya juga mengaku kantor tidak memfasilitasinya. Belum lagi, soal pelecehan seksual dan diskriminasi di kantor yaitu sebanyak 11 jurnalis perempuan (36,7%) pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik, dua jurnalis mengalami kekerasan, 9 jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dan rasisme saat peliputan. 

Kebijakan Ruang Laktasi Masih Jadi PR

Pada Survei Upah Layak tahun 2022 ini, memang komponen soal ruang laktasi di kalangan jurnalis perempuan ditiadakan. Namun jangan lupa, survei sebelumnya yang masih menjadi PR untuk ditindaklanjuti para pengusaha media kepada pekerjanya. Sebab, survei kemarin menemukan hanya ada 4 media yang punya ruang laktasi. 

Pada 2018 pun, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dalam rangkaian acara Work Life Balance Festival, juga sempat meluncurkan desain ruang laktasi yang murah dan efisien. 

Desain ruang laktasi yang dibuat oleh salah seorang anggota SINDIKASI, Anas Ramanda itu, berangkat dari alasan banyaknya perusahaan media yang tidak punya ruang laktasi. Dalihnya, keterbatasan biaya dan tempat yang mahal. 

Menurut Anas, idealnya ruang laktasi itu berukuran minimal 3×4, namun karena seringnya ada keterbatasan tempat, maka Anas Ramananda membuat desain ruang laktasi dengan ukuran 2×3. Di dalamnya ada tempat duduk, lemari penyimpanan, papan informasi, dispenser, lemari pendingin, tempat sampah, pintu yang bisa dikunci dari dalam, stop kontak dan AC, yang berbeda dengan laktasi umumnya adalah tidak adanya wastafel. 

Menghilangkan wastafel dalam desain ruang laktasi bertujuan untuk meminimalisasi luas ruang dan menjadi solusi dari keterbatasan jangkauan saluran air di sebuah gedung.

“Alternatifnya, Ruang laktasi bisa dibuat dekat dengan toilet sehingga sumber air bersih mudah dijangkau, atau bisa juga dengan meletakkan air bersih yang ditampung dalam sebuah wadah di dalam ruang laktasi tersebut,” kata Anas. 

Kaitannya masalah biaya, Anas memberi alternatif untuk menggunakan gypsum sebagai bahan material dinding karena lebih murah dan mudah dibuat jika dibandingkan dengan menggunakan batu bata ataupun hebel. 

Kenapa ruang laktasi ini begitu penting bagi jurnalis perempuan? Tentu saja, di perusahaan, perempuan menjadi profit maker, untuk mempertahankan produktivitas dan keberadaannya di dalam perusahaan, maka seharusnya dibuat kebijakan diversity and inclusion untuk perempuan seperti ruang laktasi.

Tak hanya ruang laktasi, tapi juga kebijakan yang mengakomodir situasi perempuan seperti cuti haid. Ini juga menunjukkan problem maternitas yang harus dipenuhi media. Jika media ikut mengkampanyekan isu ini dalam peliputannya, maka sudah seharusnya perusahaan media konsisten memenuhi isu ini untuk pekerjanya.

(Tulisan ini Merupakan Bagian Dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan Dari “VOICE”)  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular