Syekh Puji Kembali Nikahi Anak di Bawah Umur, Kejahatan Seksual Anak di Sekitar Kita

Syekh Puji kembali menikahi anak perempuan yang masih di bawah umur, kali ini dengan anak perempuan berumur 7  tahun. Puji dilaporkan atas dugaan tindak kejahatan kekerasan seksual dan dinilai telah merampas masa depan istrinya yang masih anak-anak.

Pujiono Cahyo Widiyanto atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Puji (54), pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah Pudjiono, Bedono, Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah kembali menjadi bahan pembicaraan

Ia dilaporkan ke polisi karena menikah siri dengan anak perempuan berumur 7 tahun. Pernikahan ini terjadi pada 2016, namun Komnas Perlindungan Anak (KPA) Jawa Tengah baru melaporkannya pada 2019. Puji dilaporkan atas dugaan tindak kejahatan kekerasan seksual dan dinilai telah merampas masa depan istrinya yang masih anak-anak.

Pengaduan ini dilayangkan pada Desember 2019, setelah dalam investigasi yang dilakukannya, KPA Jawa Tengah menemukan kebenaran informasi yang diterimanya, yaitu benar Pujiono telah menikah secara siri dengan anak di bawah umur pada Juli 2016 silam.

Kasus ini kini ditangani Polda Jawa Tengah dan saat ini sudah masuk dalam proses penyelidikan. Polisi telah meminta keterangan enam saksi dan mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus tersebut. Namun, polisi menyebut berdasarkan bukti visum dokter, tidak ada tanda kekerasan seksual yang dialami anak yang dinikahi Puji.

Bukan Pertama-kalinya Menikahi Anak Perempuan di Bawah Umur

Ini bukan kali pertama Pujiono menikahi anak di bawah umur. Pada tahun 2008, Pujiono juga pernah menjadi sorotan karena menikahi Lutfiana Ulfa yang saat itu masih berusia 12 tahun. Ia sempat diajukan ke pengadilan dan dinyatakan terbukti melanggar UU Perlindungan Anak. Namun, dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pujiono tidak terbukti bersalah sehingga ia dinyatakan bebas murni.

Dimintai tanggapannya mengenai hal ini, Khotimun Sutanti dari LBH APIK mengatakan, apa yang dilakukan Pujiono ini jelas-jelas menyalahi Undang-Undang Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal perempuan untuk menikah adalah 15 tahun (pada saat UU Perkawinan belum direvisi). Setelah direvisi pada 2019, kini batas usia minimal untuk menikah adalah 18 tahun.  Karena itu perkawinan Pujiono ini bisa dibatalkan.

“Mungkin tak ada unsur paksaan dalam perkawinan tersebut. Tapi jika melihat usia anak yang dinikahi yang masih 7 tahun, sangat mungkin si anak belum bisa mengambil keputusan sendiri.” ujarnya kepada Konde, Rabu (6/4/2022) melalui sambungan telepon..

Tak hanya itu, ia juga menyebut Puji telah melanggar pasal 76D Jo 76E Jo Pasal 81 Ayat (1) Jo Pasal 82 ayat (1), (2), Undang – Undang (UU) RI No. 23 Tahun 2002 yang sudah diperbarui dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan PERPPU Nomor: 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor: 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana setiap anak berhak atas kebebasan dari diskriminasi dan kekerasan. Atas perbuatannya ini, Pujiono bisa dikenai hukuman maksimal 20 tahun.

Khotimun menyayangkan sikap kepolisian dalam melakukan penyelidikan hanya mengacu pada kekerasan fisik, dengan menyebutkan hasil visum tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual.

“Seharusnya definisi kekerasan pada anak tidak dimaknai bukan hanya fisik. Di sini juga ada ancaman kesehatan reproduksi anak serta kehilangan hak si anak untuk tumbuh dan berkembang. Ini juga masuk dalam definisi kekerasan pada anak,” ujarnya.

Diakuinya, apa yang terjadi pada Pujiono ini juga kerap terjadi pada kasus-kasus perkawinan anak, dan ini menjadi salah satu tantangan implementasi batas usia perkawinan di UU Perkawinan.

Menurutnya, sudah seharusnya polisi menindak lanjuti laporan ini mengingat ada ancaman bagi anak-anak. Syekh Puji, ujarnya, telah dua kali secara sadar mengambil keputusan untuk menikahi anak di bawah umur. Sementara, perkawinan anak menyebabkan anak kehilangan hak untuk tumbuh dan perkembang secara bebas.

“Dulu ia pernah dinyatakan bersalah untuk kasus yang sama, seharusnya polisi mengambil putusan pengadilan yang sebelumnya menjadi preseden. Ia adalah subjek hukum yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya,” tegasnya.

Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebut, apa yang dilakukan Pujiono ini termasuk kekerasan seksual yang luar biasa, karena itu penyelesaiannya juga tidak boleh biasa. Ia dapat dikenakan tambahan pidana sepertiga dari ketentuan pidana pokoknya dan juga bisa mendapatkan tambahan hukuman berupa tindakan kebiri lewat suntik kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Bahaya perkawinan anak bagi kesehatan reproduksi

Menikah di usia anak, juga buruk bagi kesehatan dan keamanan reproduksi perempuan. Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Nanda Dwinta Sari mengatakan, ada beberapa dampak merugikan, baik secara fisik maupun psikis, ketika perempuan dipaksa melakukan hubungan intim di usia yang kelewat muda.

“Remaja atau anak-anak cenderung belum bisa mengerti sepenuhnya konsep dari konsekuensi suatu perbuatan. Sebab pada usia remaja apalagi anak, bagian korteks prefrontal di otak yang berperan dalam kemampuan penalaran, berpikir dan menimbang baik dan buruk dari suatu perbuatan, belum sepenuhnya terbentuk,” terang Nanda saat berbincang dengan Konde.co Desember 2021 silam.

Menurut Nanda, bagian otak ini baru akan terbentuk sempurna hingga seseorang memasuki usia pertengahan usia 20-an. Sehingga di usia itulah sebenarnya seseorang dikatakan benar-benar siap menikah dan menghasilkan keturunan.

Yang kedua adalah risiko mengalami penyakit menular seksual. Dilansir Sehatq, Penelitian menunjukkan orang berusia 15-24 tahun merupakan kelompok umur yang paling banyak terpapar penyakit menular seksual. Contoh dari penyakit menular seksual adalah chlamydia, herpes kelamin, sifilis alias raja singa, gonorrhea, hingga HIV.

Hal ini antara lain disebabkan di usia anak belum sepenuhnya memahami tubuhnya, bahkan pada usia belasan tubuh perempuan belum berkembang sempurna. Dari sisi psikologis, kemampuan anak dalam membuat keputusan belum sepenuhnya matang.

Risiko lainnya adalah meningkatnya kemungkinan terpapar kanker serviks atau kanker leher rahim. Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan salah satu jenis kanker yang sering diderita oleh perempuan di Indonesia. Kanker ini bisa terjadi akibat infeksi human papiloma virus (HPV) yang dapat ditularkan melalui hubungan seks.

Salah satu penyebab penyakit mematikan ini adalah melakukan hubungan seksual di usia yang terlalu dini. Semakin muda usia saat hubungan seksual pertama kali dilakukan, maka semakin tinggi juga risiko seseorang terkena kanker serviks di kemudian hari. Perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum usia 16 tahun, akan mengalami kenaikan risiko terkena kanker serviks antara 1,6 kali hingga 58 kali lebih tinggi ketimbang kondisi normal.

Kondisi akan semakin buruk jika terjadi kehamilan tak diinginkan (KTD). Hamil di usia anak sangat tidak disarankan, karena pada saat itu tubuh sang ibu sedang dalam masa pertumbuhan sehingga sangat membutuhkan asupan bergizi.

Jika dalam usia seperti ini si anak hamil, maka akan terjadi ‘rebutan’ asupan gizi antara si ibu dengan janin yang dikandungnya. Itu sebabnya, kehamilan yang terjadi pada perempuan usia remaja berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi alias gangguan pada kesehatan ibu maupun bayi.

“Perempuan yang hamil saat usia anak/remaja berisiko lebih tinggi melahirkan bayi secara prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah. Hal ini karena tubuh si ibu masih dalam pertumbuhan, sehingga si janin berebut makanan dengan ibunya,” imbuh Nanda.

Selain itu, saat proses persalinan, remaja juga lebih berisiko mengalami perdarahan yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian ibu dan bayi. Risiko perdarahan parah bahkan kematian ibu juga muncul apabila janin yang ada di dalam kandungan berusaha digugurkan atau diaborsi dengan cara-cara ilegal yang tidak aman atau sesuai dengan ketentuan hukum maupun medis.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!