Yunelia: Anakku Penderita Rubella, Kami Mendirikan Rumah Ramah Rubella

Yunelia tidak tahu jika dirinya hamil. Menstruasinya tiba-tiba tidak datang. Lalu ia mengalami demam dan ada bercak merah di tubuhnya seperti alergi. Ternyata ia terkena rubella, kondisi berat yang dialami ibu hamil dan anak yang akan dilahirkannya. Sejak itu, Yunelia tahu, hari-harinya akan berjalan sangat berat karena anak yang dilahirkannya bisa jadi penyandang disable karena rubella

“Jika kamu bertemu anak dengan memakai kacamata tebal dan menggunakan alat bantu dengar, maka kamu harus tahu bahwa itu merupakan ciri-ciri anak yang terkena rubella,” kata Yunelia pada kami semua ketika ia mengawali ceritanya

Ia sedang tidak menceritakan kisah orang lain, tetapi kisah anaknya sendiri. Dari bibirnya lantas meluncur cerita bagaimana hal itu terjadi. Yunelia tidak menyadari jika dirinya hamil, karena tiba-tiba saja dia tidak mendapatkan menstruasi. Dalam masa hamil ini, tiba-tiba tubuhnya keluar bercak-bercak merah dan badannya demam. Ia buru-buru ke dokter, Yunelia pikir ia kena alergi.

Tapi dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa Yunelia terkena rubella. Saat mengetahui hal itu, Yunelia tidak mengetahui Informasi tentang apa itu rubella.

Setelah dijelaskan, ia baru tahu bahwa di masa selanjutnya ia akan mengalami masa yang buruk dalam kehamilan karena anaknya akan menderita cacat atau menjadi disable

“Sembilan bulan sebelumnya di awal kehamilan saya mengalami demam ringan dan ruam kulit di tangan, dada, perut dan punggung. Saya langsung berkonsultasi ke dokter kandungan karena saya khawatir saya sudah terlambat haid beberapa hari dan minta surat pengantar untuk tes TORCH. Apa yang saya khawatirkan terjadi, saya hamil dan positif terinfeksi virus rubella. Kenyataan yang sangat berat buat saya dan suami, apalagi sebelum merencanakan kehamilan kedua ini saya pernah meminta vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella) untuk mencegah rubella pada dokter kandungan tersebut, tetapi saya lupa tepatnya jawaban dokter tersebut, intinya dokter tersebut tidak menganggap vaksin MMR sesuatu yang sangat penting, mungkin karena kasusnya tidak banyak dan jarang dipublikasikan, sehingga saya sebagai orang awam tidak berusaha untuk mendapatkan vaksin MMR di dokter lain.”

“Setelah dijelaskan oleh dokter, saya lalu menyadari, bahwa kehamilan ini merupakan kehamilan yang berat bagi kami,” kata Yunelia bercerita pada kami semua dalam training tentang imunisasi kesehatan anak bagi jurnalis yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan UNICEF pada Maret 2022 secara online

“Sempat saya dan suami sampaikan niat kami untuk tidak meneruskan kehamilan saya karena resiko cacat pada janin kepada dokter kandungan tersebut. Saat itu kondisi saya dan suami sangat terpukul, kami berusaha untuk ikhlas dan menyerahkan semua ini kepada Allah SWT. Kami juga berniat untuk berkonsultasi ke dokter kandungan lain untuk mencari second opinion, tetapi rasa takut bersalah menyebabkan kami tidak jadi melakukannya.”

Yunelia juga baru tahu jika semua perempuan yang hamil harus suntik vaksin MMR untuk mencegah rubella.

Rubella tergolong infeksi ringan, dan biasanya hanya menyerang satu kali seumur hidup. Akan tetapi, rubella dapat memberikan dampak serius pada ibu hamil. Kondisi ini dapat menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran atau memicu sindrom rubella kongenital pada janin, atau jika kehamilan terus berlangsung, bayi dapat terlahir tuli, menderita katarak, atau mengalami kelainan jantung.

Kelahiran Nadhif dan Perjuangan Yunelia

Tepatnya tanggal 18 Oktober 2007 pukul 01.40 dini hari Nadhif lahir di Makassar dengan berat badan 3,3 kg dan panjang 48 cm.

Setelah menjalani berbagai pemeriksaan medis di bulan pertama usianya, diketahui bahwa mata kirinya mengalami  katarak, telinga tuli berat dan jantungnya mengalami Atrial Septal Defer (jantung bocor) 6 mm dan Pulmonary Valve Stenosis/PS valvular ringan (penyempitan) 40,7 mmHg. Kondisi lain yaitu otaknya menunjukkan tanda-tanda encephalopatya dan atropi cerebral yang menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan hatinya SGOT SGPT di atas normal.

“Ya, Nadhif memang harus lahir ke dunia. Di sinilah saya merasa ada yang salah pada sistem kesehatan di Indonesia. Saya sendiri tidak tahu tepatnya bagaimana standar penangan rubella pada departemen kesehatan, yang saya tahu dokter kandungan saya tidak pernah menginformasikan mengenai bahaya virus rubella untuk ibu hamil sewaktu saya merencanakan kehamilan.”

Nadhif mulai menggunakan alat bantu dengar ketika  mulai umur 3 bulan, lalu melakukan operasi katarak umur 16 bulan. Mampu duduk sendiri umur 15 bulan dan berjalan umur 20 bulan. Saat Nadhif bersekolah di TK A, ia mulai senang menggambar, menulis huruf dan angka. Untuk bahasa, sudah lebih dari 50 kosa kata yang dia mengerti dan ucapkan walaupun masih jauh dari sempurna.

“Saya tahu Nadhif membutuhkan dana yang cukup banyak, alat pacu jantung, alat bantu dengar ditanam di dalam kepala, itu biasanya sangat besar dan ini mahal sekali termasuk operasinya bisa Rp 450 juta. Saya dan suami kala itu belum mampu dan baru bisa membeli alat bantu dengar sederhana ketika Nadhif kecil.”

Baru ketika Nadhif berumur 8 tahun Yunela baru bisa membelikan Nadhif alat dengar yang ditanam dan itu biayanya Rp 400 juta, dengan operasinya, jadi semuanya 450 juta.

“Setelah itu, walaupun sudah sekolah, Nadhif tetap melakukan terapi bicara yang sekali datang Rp200-300 ribu, mungkin jika dijumlahkan sudah Rp 500 juta yang harus dikeluarkan, namun memang sama anak harus selalu iklas dengan harapan hidupnya akan lebih baik,” kata Yunelia.

Mendirikan Rumah Ramah Rubella

Berdasarkan pengalamannya, Yunelia dan beberapa teman kemudian membuat komunitas dengan anak-anak yang lahir dengan rubella. Awalnya hanya komunikasi kecil, lalu menjadi komunitas.

Di tahun 2013, Yunelia kemudian mendirikan Rumah Ramah Rubella.  Mereka saling bertemu di Facebook dan ingin bercerita satu sama lain.

“Waktu Nadhif lahir, saya belum punya banyak teman dan belum ada perkumpulan orangtua, padahal saya ingin punya teman untuk berbagi. Anak-anak dengan rubella kami bertemu di Facebook, salah satu tujuannya untuk menguatkan dan ingin mengedukasi masyarakat mengenai rubella karena tidak semua orang tahu mengenai rubella, dan saya pikir hanya sedikit dengan rubella ternyata banyak juga, kami berkenalan dari Papua, Aceh, kami harus membesarkan anak dengan kondisi ini, disini kami bertemu apa yang kami lakukan untuk kami dan orang lain memberikan edukasi mengenai pencegahan dan penanganannya,” kata Yunelia

Dari pengalaman ini, Yunelia ingin berbagi kepada orang-orang di lingkungan dan masyarakat, bahwa rubella sangat penting dicegah karena menyangkut masa depan seorang anak. Ia berharap kasus rubella bawaan seperti Nadhif tidak ada lagi di Indonesia.

Kerjasama antara Yunelia dan suami sangat penting, di Rumah Ramah Rubella, mereka juga berbagi soal ini.

“Suami dan istri harus menerima dulu kondisi ini, ini akan lebih, menyalahkan istri tidak jaga kesehatan, malah saling menyalahkan, karena harusnya menerima kondisi anak dan mencari solusi bersama. Maka saya dan suami fokus ke pengobatan dan tidak saling menyalahkan, dan memahami kondisi masing-masing, seperti suami kerja, maka saya yang mengantar anak dan menangani anak ke dokter, di jam kantor saya tidak meminta bantuan karena suami kerja, jadi kesepakatan kita dengan suami itu harus disepakati dan saya harus mandiri.”

Jumlahnya anak dengan rubella di Indonesia saat ini kurang lebih 22 ribu. Komunitas ini juga fleksibel, anggotanya tak harus anaknya terkena rubella murni, karena mereka ingin berbagi pengetahuan dan banyak ibu hamil yang bergabung disana, karena ingin tahu soal TORCH dan berbagi pengalaman

Saat ini, Nadhif berumur 14 tahun, kelas 8 di SMP umum. Yunelia menyatakan bahwa perkembangan Nadhif tidak seperti anak lainnya, terutama dalam kemampuan bicara dan mendengar.

“Ini menjadi tugas berat saya sebagai orang tua mendampingi Nadhif belajar sesuai usianya. Harapan kami kelak Nadhif dewasa dapat mandiri. Selain akademis, saya juga mulai belajar untuk berkarya dari rumah yang mungkin nantinya akan berguna untuk menambah keterampilan. Karena saya sadar, akan sulit bagi Nadhif untuk bersaing di dunia kerja. Dengan persiapan secara dini, akan mempermudah Nadhif mandiri. Perjalanan hidup Nadhif, bukan saja pelajaran berharga bagi saya dan sekeluarga dan masyarakat.”

Pencegahan Rubella dan Penanganannya

Pencegahan rubella bisa dilakukan dengan imunisasi MMR. Perhatian pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan masih minim, ini dapat terlihat belum ada program imunisasi MMR oleh Departemen Kesehatan secara nasional. Hal ini mungkin karena imunisasi MMR dan tes TORCH termasuk mahal.

“Saya sarankan kepada pasangan yang akan menikah atau berencana memiliki anak, juga kepada para orang tua yang memiliki anak, untuk mempertimbangkan imunisasi MMR ini. Khusus untuk yang akan menikah atau berencana memiliki anak, sebelum imunisasi MMR perlu dilakukan tes TORCH untuk mengetahui apakah sudah pernah terinfeksi campak rubella, karena bila sudah pernah terkena campak rubella maka tubuh akan kebal terhadap virus rubella sehingga tidak perlu imunisasi MMR,” kata Yunelia

Untuk lebih jelasnya dapat berkonsultasi dengan dokter kandungan atau dokter anak yang mengerti mengenai Campak Rubella. Untuk bayi yang lahir dengan sindrom rubella kongenital (CRS) harus ditangani secara khusus oleh para dokter ahli. Semakin banyak kelainan bawaan yang disandang akibat infeksi rubella ini, semakin besar pengaruhmya pada proses tumbuh kembang anak.

Pemeriksaan (screening) sejak lahir secara dini dan pemantauan secara berkala segala aspek dari tumbuh kembang anak, serta terapi yang tepat akan memperbesar kemungkinan anak untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih optimal. Layanan ini bisa didapat di unit tumbuh kembang anak di rumah sakit.

Bila terlanjur terkena campak rubella pada saat ibu hamil, segera berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan, dengan pemberian obat yang tepat dapat mencegah cacat pada janin.

(Foto:netralnews.com)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!