Aktivis HAM Kecam Mahfud MD yang Dorong Pemidanaan LGBT di RKUHP

Menko Polhukam Mahfud MD mendorong adanya pidana terhadap LGBT dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Para aktivis HAM mengecam karena akan berpotensi memicu kriminalisasi. Orientasi seksual adalah ranah privat yang seharusnya tidak bisa disentuh hukum pidana.

Dorongan untuk mengkriminalisasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kembali mengemuka setelah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD atas nama pemerintah menyatakan persetujuannya atas pemidanaan LGBT masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

“Iya (LGBT dipidana). Di RUU KUHP dipidana. Di RUU KUHP sudah masuk, bahwa dalam cara-cara tertentu dilarang dan ada ancaman pidananya. Kan gitu. Tetapi waktu itu kan ribut. Karena ribut, ya ditunda,” beber Mahfud saat ditemui di ‘Simposium Nasional Hukum Tata Negara: Penguatan Fungsi Kemenkumham dalam Memberikan Perlindungan dan Kepastian Hukum Melalui Layanan Ketatanegaraan’ yang digelar oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)-Kemenkumham di Nusa Dua, Bali, Rabu (18/5/2022) seperti dikutip merdeka.com.

Dalam kesempatan itu Mahfud mengatakan RKUHP ini mendesak untuk segera disahkan, mengingat revisi KUHP ini sudah sangat dibutuhkan. KUHP yang kini berlaku di Indonesia merupakan warisan penjajah Belanda. Mahfud mengakui bahwa ada sekelompok masyarakat sipil yang menentang keberadaan pasal ini. Untuk itu ia mempersilakan mereka mengajukan keberatan lewat jalur hukum yakni dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Upaya untuk merevisi KUHP sudah berlangsung 63 tahun dan hingga kini belum rampung. Setelah batal disahkan pada 2019, RKUHP dijadwalkan akan dibahas  kembali dan disahkan pada Juni 2022 mendatang.

Pada 2019, pengesahan RKUHP ditunda karena mendapat penolakan dari berbagai kelompok. Setidaknya ada 14 pasal yang disoal masyarakat sipil, termasuk pasal yang mengatur perzinahan dan LGBT.

Aturan tentang pemidanaan LGBT dalam RKUHP sebenarnya sudah disoal sejak 2018. Sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta agar pasal yang mengatur homoseksual dan perzinaan dihapus. Selain multitafsir, pasal-pasal ini juga dinilai potensial memunculkan diskriminasi pada orientasi gender dan seksual

Pemidanaan LGBT

Pada draft awal RKUHP pemidanaan terhadap LGBT diatur di pasal 495 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 495 ayat (1): “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Pasal 495 ayat (2): dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.

Namun pasal ini menuai tentangan dari banyak pihak. Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan menilai, pasal yang mengatur soal homoseksual ini akan semakin menyudutkan dan menstigmatisasi kelompok LGBT. Pasal itu menyebutkan bahwa perbuatan cabul sesama jenis bisa dihukum penjara maksimal 9 tahun untuk anak-anak, dan tambahan sepertiga untuk orang dewasa.

“Setiap orang harusnya dipidana karena perbuatannya, bukan karena perbedaan kondisinya atau seksualitasnya,” ujar Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Ratna Batara Munti kala itu.

Dalam perjalanannya, pemerintah lantas mengajukan perubahan pasal 495 RKUHP, sehingga pemidanaan terhadap LGBT tidak hanya diterapkan atas perbuatan cabul terhadap anak sesama jenis, tetapi kepada semua kelompok usia. Berikut rinciannya:

Pasal 495 ayat (1) berbunyi  “setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan yang sesama jenis kelamin;

(a)  di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (Rp50 juta).”

(b)  secara paksa dengan kekerasan atas ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp150 juta). Dan (c) yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III ((Rp150 juta).

Sementara, pasal 495 ayat (2) berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang sama jenis kelamin, yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun, dipidana dengan pidana penjara 12 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).

“Ayat (3) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V (Rp2 miliar).

Alternatif itu disodorkan sebagai bentuk perubahan bunyi pasal pencabulan sesama jenis dalam naskah awal RKUHP dari Pemerintah. Draf awal ini hanya menyebutkan pemidanaan bagi perbuatan cabul sesama jenis yang dilakukan terhadap orang di bawah umur 18 tahun atau anak-anak.

Alternatif lain yang diajukan pemerintah adalah memperberat hukuman penjara pada bunyi pasal 495, dengan memasukkan pidana denda dari yang semula tidak diatur.

Sehingga pasal itu berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori V (Rp2 miliar).”

Dalam alternatif ini, pemerintah meminta pasal 495 ayat (2) pada naskah awal RKUHP dihapus  karena menjelaskan cara melakukannya. Rumusan ketentuan tersebut dinilai vulgar, padahal dalam hubungan sesama jenis sudah jelas cara melakukannya seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Dalam draft terakhir yang diterima Konde, hubungan sesama jenis diatur di pasal 420 RKUHP yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 420 ayat 1: Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:

a.    di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III

b.    secara paksa dengan kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

c.    yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Pasal 420 ayat 2: Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Jika melihat rumusannya, sepintas tidak ada perbedaan perlakuan antara homoseksual dan heteroseksual. Tapi Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Ratna Batara Munti mengingatkan, agar masyarakat tak hanya melihat substansi hukum tapi juga harus dipertimbangkan kultur hukum di Indonesia yang cenderung homophobik atau terlalu heteroseksual sentris.

“Jadi meskipun rumusan RKUHP terkesan netral, berlaku buat beda jenis dan sama jenis, tapi untuk apa dieksplisitkan seperti itu? Justru jika dieksplisitkan seperti itu, saya khawatir kriminalisasi dan stigmatisasi oleh masyarakat semakin menjadi-jadi,”.ujarnya kepada Konde, Senin (23/5/2022)

Ratna menyatakan, kata beda jenis dan sesama jenis tak perlu dicantumkan dalam pasal tersebut.

Sementara Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia yang dihubungi Konde mengatakan bahwa pembuktian tindak pidana harus objektif berdasarkan perbuatan sehingga orientasi seksual tidak bisa dikriminalisasi.

Ia mengingatkan, orientasi seksual adalah ranah privat yang tidak bisa disentuh hukum pidana, Jika hal ini diatur dalam undang-undang justru akan memicu penyalahgunaan wewenang. Ia khawatir jika memang ada pasal pemidanaan LGBT, yang dikejar nanti pada akhirnya adalah pengakuan dari para pelaku yang praktiknya bisa jadi ladang penyiksaan.

“Pemidanaan hanya boleh dilakukan pada perbuatan cabul yang melibatkan pihak minor, dengan kekerasan, di depan umum. Itu yang harus dilarang. Tapi hukum pidana tidak bisa mengkriminalisasi orientasi seksual,” ujarnya pada Konde, Senin (23/5/2022).

Ia menegaskan pencabulan terjadi di hampir semua orientasi seksual, baik yang sejenis dan berbeda jenis sehingga tidak boleh ada pembedaan pada LGBT.

Genoveva menegaskan, pasal ini sangat berpotensi memicu overkriminalisasi. Ia juga mengingatkan, saat ini pun aparat sudah kewalahan dengan overcrowding atau overkapasitas di lembaga pemasyarakatan karena tindak pidana narkotika. Jadi, lanjutnya, jangan ditambahkan dengan masalah kriminalisasi orientasi seksual.

Dilansir dari VOA, Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam pernyataan tersebut. Novia Permatasari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menyatakan bahwa pidana LGBT lewat RKUHP melanggar ranah privasi warga negara. Selain itu, pemerintah tidak boleh tunduk pada kelompok mayoritas. Hal senada diutarakan aktivis Crisis Response Mechanism (CRM), yang mendampingi kelompok minoritas seksual dan gender menghadapi krisis. Riska Carolina dari CRM mempertanyakan sikap Mahfud MD yang dengan entengnya mengkriminalisasi warga negara. Padahal, ujar dia, LGBT merupakan warga negara yang setara di mata hukum.

“Kan Mahfud MD ngerasa LGBT tuh serangan banget gitu ya terhadap Pancasila, sepertinya gitu. Kami ini apa sih? Kami itu bukan warga negara? Kami juga warga negara, kami berhak untuk dilindungi, kami berhak untuk dihargai hidupnya,” katanya.

Tidak ada hukum yang spesifik mempidana LGBT di Indonesia. Namun peraturan daerah yang menarget komunitas sudah muncul di Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat. Perda diskriminatif terbaru terbit di Bogor, Jawa Barat, pada awal 2022.

Riska mengatakan, komunitas LGBT di Indonesia tidak meminta legalisasi perkawinan. Komunitas LGBT, hanya minta supaya kekerasan dan diskriminasi dihentikan.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!