Belajar dari Vandana Shiva: Wadon Wadas Dimiskinkan oleh Pembangunan, Mau sampai Kapan?

Satu pelajaran penting dari Vandana Shiva, seorang ekofeminis. Bahwa manusia harus menggunakan alam hanya sebatas kebutuhannya dan tidak untuk dikuasai oleh kepentingan sendiri. Ini mengingatkan pada perjuangan Wadon Wadas yang masih berjuang atas tanah mereka dari pembangunan tambang yang tak mengikusertakan mereka.

Vandana Shiva dan Maria Mies adalah dua feminis ekologi yang memperjuangkan perempuan harus lepas dari pemiskinan pembangunan. Diabaikan, tak diikutsertakan dalam pembangunan, inilah yang banyak dialami perempuan

Vandana Shiva lahir di Pegunungan Himalaya, India. Ia adalah feminis, pemikir kontemporer yang memiliki perhatian besar terhadap lingkungan dan perempuan. Shiva juga merupakan salah satu orang yang tergabung dalam aliran ekofeminisme.

Di Website Rahima, Muhammad Tauifq Ulinaha menulis, di dalam bukunya yang berjudul Staying Alive; Women, Ecology and Survival in India, Shiva mencoba mengaitkan antara ekologi dengan feminisme. Hal itu didasari atas dua hal mendasar yang menjadi titik tolak pemikirannya. Pertama adalah terjadinya orientasi gerakan feminisme modern yang lebih mengunggulkan persaingan dan mengejar persamaan.

Gerakan feminisme yang seharusnya menjadi pembela ideologi feminitas sebagai dasar landasan gerakannya; justru mencoba menginternalisir ideologi maskulinitas di dalam tubuh mereka. Kedua, terhadap paham neoliberalisme yang kapitalistik dan dari analisisnya terhadap sejarah ilmu pengetahuan modern yang ditulang punggungi cara berpikir maskulin (masculine way of thinking). Di sanalah kritik terbesarnya terhadap rezim patriarki yang ada.

Sebagai orang India, Vandana Shiva mendapat pengaruh yang cukup kuat dari tradisi dan pandangan kosmologi India. Hal ini tercermin pada pandangan kosmologi India yang sering ia gunakan sebagai sudut pandang dalam memahami dan menjelaskan hakekat alam. Bahkan pandangan tersebut sangat berlawanan dengan pandangan dunia Barat dalam memahami hakekat alam yang saat ini cenderung mendominasi pandangan dunia dan menganggap pandangan tersebut sebagai pandangan yang sangat sesuai untuk diterapkan di setiap belahan dunia.

Shiva memiliki beberapa alternatif yang ditawarkan diantaranya, manusia harus menggunakan alam hanya sebatas kebutuhan mereka, memperlakukannya sebagai suatu realitas dengan “subjektivitasnya sendiri”, dan manusia harus memanfaatkan satu sama lain bukan dengan alasan untuk menghasilkan uang, melainkan untuk menciptakan komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan fundamental. Kemudian, manusia harus memandang air, udara, bumi dan semua sumber alam sebagai milik komunitas dan bukan hanya milik perseorangan.

Dalam buku Ecofeminism  dijelaskan bahwa anggapan kemajuan posisi ekonomi kaum perempuan akan mengalir secara otomatis seiring terjadinya perluasan dan penyebaran proses pembangunan adalah bohong, karena ironisnya, ternyata pembangunan itu sendirilah yang menjadi pangkal masalah bagi perempuan dalam beberapa dekade terakhir ini.

Semakin meningkatnya keterbelakangan perempuan di tengah era pembangunan, bukan lantaran mereka tidak layak dan tidak mampu berpartisipasi. Lebih dari itu, perempuan jadi salah satu yang paling rentan akibat perlakuan yang tidak adil, pengabaian dan peminggiran kerja-kerja yang mereka lakukan karena tidak dianggap sebagai kerja yang menghasilkan keuntungan.  

Pembangunan di lapangan yang mempraktikkan tindakan-tindakan perampasan, telah berkontribusi memperparah penyusutan proses-proses kolonisasi ekologi atau sederhananya menjaga kelangsungan hidup lingkungan dan alam. Di samping itu, kontrol politik atas sumber kehidupan pun juga bisa semakin menghilang. Mengapa?

Ini tak lain, pertumbuhan ekonomi bisa menjadi kolonisasi baru (penjajahan) yang semakin menjauhkan sumber daya alam (SDA) dari mereka yang sesungguhnya paling membutuhkan yaitu manusia. Maka semestinya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dilihat sebagai deretan angka, tapi bagaimana prosesnya bisa memanusiakan manusia. 

Pada konteks saat ini, semakin bermunculanlah kekuatan elit-elit nasional baru yang menjadi otak dari eksploitasi alam demi ‘kepentingan nasional’ dan peningkatan GNP. Situasi menjadi semakin sulit, ketika hal tersebut dibenarkan dengan adanya kekuatan teknologi yang semakin dikuasai dan semakin merusak.

Perempuan lagi-lagi menjadi yang paling terdampak. Termasuk kaitannya dengan privatisasi tanah. Hak-hak tradisional perempuan untuk mengolah tanah akan tercerabut. Sementara, laki-laki banyak yang dipaksa bermigrasi atau menjadi tenaga buruh murah akibat semakin terkikisnya produksi pangan. 

Situasi yang tak mudah ini, perempuan tak jarang masih dibebankan oleh tugas-tugas perawatan anak hingga keluarga yang sakit atau menua. Sekaligus mereka harus tetap mempertahankan hidupnya dan keluarga karena sumber daya penghasilan yang terbatas. 

Saya jadi teringat, kumpulan dokumen para aktivis perempuan, para organiser dan peneliti yang menyatakan pada akhir program sepuluh tahunan PBB bagi perempuan. Isinya: 

“Kesimpulan yang hampir seragam dari penelitian program sepuluh tahunan ini, bahwa dengan sedikit kekecualian adalah bahwa, akses relatif perempuan terhadap sumber ekonomi, penghasilan dan pekerjaan semakin memburuk, beban kerja mereka meningkat, dan Kesehatan relatif atau bahkan Kesehatan absolut mereka, gizi dan status Pendidikan memburuk.” (Ecofeminism : Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan Hal 87-88)

Wadon Wadas di Pusaran Pertambangan: Pemiskinan Perempuan Mau sampai Kapan?

Satu peristiwa yang tak akan pernah terlupa oleh warga Desa Wadas terutama para perempuannya (Wadon Wadas) adalah tragedi 23 April 2021 di Jawa Tengah yang menolak pembangunan tambang.

Pada hari itu, Wadon Wadas melakukan aksi heroik untuk memperjuangkan nasib anak dan cucunya kelak: mempertahankan tanah dan kelangsungan alam. 

Segerombolan polisi merangsek masuk ke desa Wadas. Berdalih rencana sosialisasi pemasangan patok batas untuk penambangan batuan andesit. Warga sempat menutup akses jalan untuk menghadang aparat, namun tak terelakkan. Aparat kepolisian bahkan ada yang melakukan tindakan represif terhadap warga termasuk Wadon Wadas. 

Kehidupan warga wadas memang berubah semenjak adanya rencana tambang quarry atau Bendungan Bener. Dulu sebelum adanya rencana pertambangan di Desa Wadas, warga hidup relatif lebih tenang dan damai. Tapi kini, ketentraman itu memudar dengan seiring maraknya kegiatan patroli aparat kepolisian. 

Terlebih, jika aksi itu juga diwarnai serangkaian bentuk teror dan intimidasi terhadap warga Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Tindakan teror dan intimidasi ini, dirasa sangat meresahkan serta membangkitkan kembali trauma warga, terutama wadon wadas dan anak-anak, yang pada saat tragedi 23 April 2021 berada di garda terdepan.

Trauma warga akibat dari Tindakan represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan semakin membesar usai adanya kekerasan dan penangkapan Warga Wadas dalam peristiwa pada 8 Februari 2022. Aparat keamanan dinilai telah bertindak sewenang-wenang seperti mengepung warga dengan anjing pelacak aparat di masjid Nurul Huda, penangkapan massal, hingga pemukulan dialami oleh warga Wadas.

Selama masa pengepungan sekaligus penangkapan ini, warga tak henti-hentinya melantunkan sholawat dan berdoa kepada Sang Pencipta. Tangisan tak terbendung. Mirisnya, anak-anak menyaksikan langsung kejadian memilukan itu. Merekalah yang paling menjadi korban, di samping juga para perempuan dalam hampir setiap peristiwa konflik seperti di Wadas. 

Gambaran situasi ini, agaknya bisa dipahami perkataan para pendiri negara (Founding Father) kita dahulu saat melawan penjajahan. Bahwa ‘perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri’ itu benar adanya. Warga Wadas kini memang tengah berjuang keras melawan kesewenang-wenangan negara yang sedang dikuasai oleh para oligarki.

Situasi yang mencekam tidak hanya terjadi pada tanggal 8 Februari, akan tetapi juga masih terjadi hingga 3 hari setelahnya. Usai penangkapan 64 Warga Wadas di tanggal tersebut–dimana 10 diantaranya adalah anak-anak, dan 2 diantaranya adalah perempuan, mereka juga harus menerima tekanan dengan ratusan aparat keamanan yang masih berada di desa Wadas hingga tanggal 11 Februari 2022. 

Aparat keamanan yang dikerahkan tidak hanya dengan yang berpakaian dinas layaknya aparat keamanan instansi tertentu, tetapi juga mengerahkan ratusan orang-orang yang tidak memakai seragam yang berpenampilan layaknya preman. Sehingga hal ini menambah ketakutan, kecemasan dan kewasan-wasan warga wadas.

Hilangnya Kontrol Wadon Wadas Atas Sumber Daya Alam

Pertambangan batuan andesit di desa Wadas berpotensi membuat perempuan tergusur dan terancam tercerabut dari tanahnya, lahan garapan, serta hilangnya mata pencaharian, terutama perempuan yang berprofesi sebagai petani. Dengan kata lain, perempuan telah dimiskinkan secara sistematis. 

Hal ini dikarenakan, sebagian besar perempuan wadas menggantungkan hidupnya pada alam untuk bertani. Lahan yang masuk ke dalam izin tambang di dalamnya termasuk lahan-lahan produktif yang selama ini dikelola masyarakat. Terutama perempuan dengan menanaminya dengan gula aren, kelapa, kakao, cengkeh, kopi, durian dan tanaman palawija untuk kebutuhan pangan keluarga. Para perempuan juga membuat besek dari bambu yang banyak di hutan-hutan mereka.

Selain itu, Pertambangan juga akan berakibat pada rusaknya bentang alam dan berdampak pada kesehatan perempuan. Berdasarkan Pasal 42 Huruf c Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031 disebutkan bahwa Kecamatan Bener merupakan kawasan lindung (salah satu kawasan rawan bencana). 

Selain longsor dan kehilangan sumber kehidupan, penambangan batuan andesit juga akan menyebabkan 28 sumber mata air mereka mengalami kekeringan, karena hutan-hutan sebagai daerah tangkapan air akan menjadi rusak. Tentu saja hal ini akan berdampak lagi terhadap kehidupan perempuan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Air adalah kebutuhan dasar dalam rumah tangga yang berpengaruh terhadap kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksi. 

Dalam pandangan budaya patriarki, semua itu yang bertanggung jawab untuk memenuhinya adalah perempuan karena itu adalah kebutuhan di ranah domestik. Padahal, persoalan tanah dan alam ini adalah masalah sistematis yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. 

Sebab jika tidak, mau sampai kapan situasi ini terus terjadi?

Ari Surida

Anggota Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, pemerhati isu perempuan dan ketertindasannya.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!