Deddy Corbuzier Hapus Video Podcast: Dunia Maya Belum Jadi Ruang Aman untuk LGBT

Deddy Corbuzier menghapus video podcast dengan Ragil, ini menunjukkan dunia maya masih belum jadi ruang aman untuk kelompok LGBTIQ+

Baru-baru ini, mantan pesulap yang kini menjadi kreator YouTube terkenal, Deddy Corbuzier, mendapat banyak kecaman dari masyarakat setelah ia mengunggah podcast yang mengundang pasangan gay – Ragil Mahardika dan suaminya, Fred Vollert – pada 7 Mei 2022 lalu.

Deddy dianggap ikut mengampanyekan dukungan terhadap kelompok LGBTIQ+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, dan queer).

Podcast itu dilaporkan membuat Deddy kehilangan puluhan ribu pengikut kanalnya (subscriber) dalam tiga hari. Ia akhirnya menghapus podcast tersebut dari kanal YouTube miliknya pada 10 Mei 2022, disusul dengan permintaan maaf karena telah menimbulkan kegaduhan.

Kecaman masyarakat di dunia maya pada Ragil dan Fred, serta Deddy, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia umumnya belum mampu menerima keberadaan kelompok gender dan seksualitas non-biner sebagai sesuatu yang sebenarnya lumrah dalam kehidupan sosial masyarakat kita.

Dunia maya pun terbukti masih belum bisa menjadi ruang aman bagi kelompok minoritas gender untuk berekspresi.

Diskriminasi kelompok LGBTIQ+ bergeser dari offline ke online

Seiring perkembangan teknologi dan makin intensnya interaksi masyarakat di dunia maya, diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+ juga mengadopsi bentuk-bentuk baru dengan memanfaatkan media online. Sentimen negatif para netizen terhadap Ragil-Fred sebagai pasangan gay barangkali hanya satu dari sekian banyak contoh.

Diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+ di ranah daring juga tidak lepas dari peran negara. Otoritas penegak hukum kerap menggunakan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sebagai justifikasi untuk mempersekusi kelompok LGBTIQ+.

Misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pernah memblokir CONQ, sebuah platform web series yang memuat edukasi tentang HIV/AIDS dan giat mempromosikan nilai toleransi terhadap keberagaman gender. Pada 2019, Kominfo juga memblokir akun Instagram bernama Alpantuni yang giat menyuarakan penolakan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia.

Seiring berkembangnya media sosial, sensor terhadap ekspresi kelompok LGBTIQ+ tidak hanya dapat dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh masyarakat biasa sebagai pengguna internet.

Salah satu contohnya adalah tagar #UnsubscribePodcastCorbuzier yang dibuat oleh pengguna Twitter, yang berujung pada ramainya pelaporan terhadap akun TikTok milik Ragil. Situasi yang hampir sama juga pernah dialami oleh beberapa figur publik Indonesia, seperti Oscar Lawalata, Dena Rachman, hingga Millen Cyrus, di mana pengguna media sosial ramai menyerang dan mengkritik ekspresi gender mereka dengan berbagai komentar kebencian.

Fenomena yang disebutkan di atas dikenal dengan konsep village biopower yang dicetuskan oleh Eric A. Stein dan dibahas kembali oleh Antropolog asal Australia, Sharyn Davies sebagai fenomena di mana masyarakat merasa memiliki otoritas untuk mengatur dan mengawasi tubuh orang lain dengan berbagai perantara, salah satunya melalui media sosial.

Implikasinya, pengawasan semacam itu membuat individu, terutama dari kelompok LGBTIQ+, menjadi tidak berdaya atas ekspresi tubuhnya sendiri.

Sayangnya, para pelaku diskriminasi terhadap LGBTIQ+ di ranah online tidak menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sesuatu yang salah atau berbahaya. Kentalnya nilai konservatisme membuat mereka merasa tindakan mereka tersebut menjunjung tinggi asas loyalitas, penghormatan, dan kesucian.

Padahal, bentuk diskriminasi tersebut termasuk ke dalam kategori kekerasan berbasis gender online (KGO) yang berpotensi menjerumuskan kelompok LGBTIQ+ pada kondisi depresi, menguatnya keinginan untuk bunuh diri, dan berkurangnya peluang mereka untuk memperoleh ruang aman ketika mengalami kekerasan seksual.

Demokrasi juga memicu sentimen negatif

Penulis isu queer asal Indonesia, Hendri Yulius, mencatat bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dapat dilacak sejak runtuhnya rezim otoriter Orde Baru dan lahirnya demokrasi.

Memang, terbukanya keran demokrasi telah membuat kelompok LGBTIQ+ dapat muncul secara lebih ‘bebas’ untuk mengadvokasikan hak mereka di ruang publik. Sayangnya, demokrasi juga berimbas pada tumbuhnya sentimen negatif terhadap mereka, terutama yang dipromosikan oleh kelompok Islam konservatif. Kelompok tersebut kerap menyerang LGBTIQ+ sebagai sesuatu yang ‘tidak Indonesia’ dan berpotensi merusak moral serta nilai ketimuran.

Sosiolog Saskia Wieringa dari Universitas Amsterdam di Belanda berpendapat bahwa praktik diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia semakin marak terjadi sejak 2015. Hal ini dipicu oleh menguatnya populisme Islam yang didominasi oleh nilai moralitas berbasis ajaran agama dan berlandaskan pada konstruksi heteronormatif.

Konstruksi tersebut hanya mengakui dua identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan, serta meyakini bahwa satu-satunya hubungan seksual yang ‘normal’ adalah secara heteroseksual. Tak ayal, ketika ada seorang laki-laki menjalin hubungan dengan sesama laki-laki, mereka dianggap melakukan tindakan yang tidak bermoral dan tidak normal, sehingga harus ditolak bahkan diperangi.

Inilah yang kemudian berdampak pada tingginya jumlah persekusi terhadap kelompok LGBTIQ+ yang dalam kurun waktu 2006-2018 telah menimpa 1.850 orang.

Situasi saat ini rupanya bertolak belakang dengan era 1990-an, di mana eksistensi LGBTIQ+ justru banyak dirayakan di ruang publik, misalnya acara komedi di layar televisi yang menampilkan waria. Bahkan, menurut antropolog Irwan Hidayana dari Universitas Indonesia, jauh sebelum itu, kelompok LGBTIQ+ telah lama terlibat dalam tradisi keagamaan hingga kesenian masyarakat. Ini sebenarnya semakin menggambarkan keragaman budaya Indonesia.

Kelompok LGBTIQ+ berhak menunjukkan posisi politiknya

Sekalipun rentan dengan diskriminasi, eksistensi kelompok gender non-biner, dalam beberapa konteks, dianggap sangat penting. Menurut antropolog Benjamin Daniel Hegarty dari Australian National University, eksistensi waria dinilai mampu menunjukan posisi mereka sebagai subjek di antara relasi gender yang normatif.

Sama halnya dengan Ragil dan Fred. Kemunculan mereka di ruang publik, yang sempat difasilitasi oleh Deddy, merupakan upaya mereka untuk menunjukkan dan mengeklaim posisi politiknya sebagai individu yang gay.

Kelompok LGBTIQ+ lainnya bahkan sengaja memunculkan dirinya di ruang publik untuk memberikan edukasi dan meruntuhkan stigma negatif di masyarakat.

Upaya kelompok LGBTIQ+ untuk menampilkan ekspresi gender dan seksualitasnya, baik di ranah offline maupun online, merupakan sebuah paradoks.

Di satu sisi, mereka perlu menampilkan dirinya untuk mengeklaim dan menunjukkan posisi politiknya di tengah dominasi pemahaman gender heteronormatif. Sedihnya, upaya tersebut harus diiringi dengan berbagai praktik diskriminasi yang semakin memarjinalisasi keberadaan mereka.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Abdullah Faqih dan Fitri Ayunisa

Junior Researcher, SMERU Research Institute dan Peneliti Kualitatif Junior, SMERU Research Institute
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!