Diabaikan Dan Dijadikan Candaan Seksis: Stop Remehkan Korban Kekerasan Seksual

Sikap adil pada korban itu bermula dari pikiranmu, lalu tindakanmu. Jika dalam pikiranmu kamu sudah bersikap tidak adil, maka ada masalah besar dalam diri kamu

Mulai sekarang, stop meremehkan para korban dan pendamping kekerasan seksual. Mereka sudah sering diabaikan, dianggap mengada-ada, dijadikan candaan seksis hingga disalahkan. Sebab selama ini, hal itulah yang banyak menjadikan penyintas dan pendamping korban jadi enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialami dan lebih memilih diam. 

Di satu sisi, para korban atau penyintas padahal masih harus menanggung dampak kekerasan seksual yang tak mudah, seperti, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), stigmatisasi hingga trauma berkepanjangan. Dalam beberapa kasus, kekerasan seksual bahkan bisa mengakibatkan penyintas termasuk dari kelompok penyandang disabilitas sampai meregang nyawa. 

Tentu saja, kita tidak mau adanya hal-hal yang mengecilkan penderitaan penyintas dan malah melindungi pelaku kekerasan seksual itu terus terjadi. Sebaliknya, kita harus berpihak dan bersikap adil kepada penyintas. 

Begitulah yang tergambar di benak saya, pasca disahkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) beberapa waktu lalu. Harapannya, UU TPKS bisa jadi kebijakan publik yang menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk mengubah perilaku terkait kekerasan seksual. 

Pada 9 Mei 2022 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan UU TPKS No 12 Tahun 2022 yang tercatat dalam Lembaran Negara RI tahun 2022 Nomor 120. UU ini lahir usai proses panjang, sekitar 12 tahun, yang melibatkan banyak pihak seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), Lembaga Layanan, aktivis perempuan, akademisi, politisi, serta para korban dan penyintas kekerasan seksual.

Hadirnya UU TPKS ini bisa jadi salah satu bentuk nyata kehadiran negara dalam melindungi penyintas kekerasan seksual yang selama ini didominasi oleh perempuan. 

Data Komnas Perempuan tahun 2021 menyebut, sebanyak 1.983 dari 6.480 kasus (persentase 30%)  kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah personal adalah kekerasan seksual. Sementara di ranah publik, sebanyak 962 dari 1.731 kasus (55%) kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. 

Data kekerasan seksual ini memang ibarat seperti fenomena gunung es. Artinya, data yang ada bisa saja hanya menampilkan sebagian kecil kasus yang dilaporkan. Sementara, sekian banyak kasus kekerasan seksual yang lebih banyak lainnya tidak dilaporkan.

UU TPKS yang hadir sebagai kebijakan publik ini kemudian, berperan sebagai produk politik, formulasi dan implementasi kebijakan publik adalah proses politik. 

Penggunaan sumber daya pemerintah dan penerapan sanksi, lantas diperlukan untuk memastikan kebijakan dijalankan sebagaimana mestinya hingga bisa menjadi bagian penting adanya perubahan sosial. 

William Kornblum dan Carolyn Smith (2008) dalam buku “Sociology in a changing world” menyatakan, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi di masyarakat, berlangsung dari waktu ke waktu, terkait pola peran, interaksi sosial, struktur, fungsi institusi [sosial] dan budaya masyarakat.

“variations over time in the ecological ordering of populations and communities, in patterns of roles and social interactions, in the structure and functioning of institutions, and in the culture of societies” (William & Carolyn, 2008). 

Maka selanjutnya, kaitannya dengan perubahan sosial atas penerbitan kebijakan UU TPKS, bisa dikatakan sebagai upaya perubahan sosial yang arahnya sesuatu yang dikehendaki (intended change). 

Secara lebih spesifik, Kornblum dan Smith menyebut kebijakan yang dimaksud itu sebagai bagian dari endogenous forces yaitu perubahan sosial budaya yang dilahirkan dari dalam masyarakat. Tujuannya, guna mencapai perubahan yang diinginkan yaitu perlindungan dan keadilan bagi penyintas kekerasan seksual.

Satu lagi yang penting, kebijakan publik ini juga bisa berkontribusi menciptakan cara pandang dan perilaku baru. Misalnya saja, publik yang semula menganggap masalah kekerasan seksual hanya sebagai masalah pelanggaran etika atau sopan santun, kemudian menjadi sebuah tindak pidana yang memiliki konsekuensi hukum.

Secara bertahap kemudian, diharapkan terjadi pula perubahan perlakuan masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual. Dari semula cenderung memaklumi atau menganggap sebatas “kekurangan” hingga wajar jika dimaafkan. Kemudian bisa mendorong pelaku tindak pidana untuk wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.

Kebijakan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkup Pendidikan

Dalam UU TPKS, pemberatan hukuman jika pelaku berada dalam posisi tertentu seperti sebagai pendidik dimungkinkan bisa terjadi. 

Secara khusus di lingkungan pendidikan tinggi, undang-undang tersebut memperkuat peraturan yang lebih dulu ada yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Dengan perubahan paradigma kekerasan seksual sebagai tindak pidana, akan berubah pula paradigma “demi nama baik”. Semula digunakan menutupi kekerasan seksual demi menjaga nama baik keluarga/kampus/institusi, maka bisa menjadi penyelesaian kasus secara terbuka dan mengedepankan keadilan bagi penyintas.

Dari perspektif rekayasa sosial, menggunakan kebijakan publik, dalam UU TPKS, sebagai upaya mewujudkan perubahan sosial, dapat dianggap sebagai satu bentuk rekayasa sosial-budaya (social-cultural engineering). 

Rekayasa tersebutlah yang akan bisa mengubah perilaku, mentalitas, pikiran, nilai, kepercayaan yang hidup di masyarakat. Seperti tidak lagi menormalisasi perilaku kekerasan seksual.

Namun, perubahan sosial terkait penerapan UU TPKS itu tentulah membutuhkan waktu dan proses berkelanjutan. Maka dari itu, semua pihak perlu mengawal implementasi UU TPKS untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bebas dari kekerasan seksual.

Indraswari

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!