Hari Buruh: Menagih Janji Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 190 Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja

Di hari Buruh Sedunia 1 Mei 2022, para aktivis buruh memaparkan jika pemerintah tak menunjukkan keseriusan dalam meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Sejak Konvensi International Labour Organization/ ILO 190 disahkan di Genewa, Swissdalam sidang ILO pada 21 Juni 2019, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja telah melakukan advokasi untuk segera diratifikasinya KILO 190 ini.

Namun hingga hari ini, Aliansi mencatat, para pekerja di Indonesia masih banyak mengalami kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan eksploitase di dunia kerja. Pemerintah menyetujui konvensi di tahun 2019, tapi tidak menunjukkan keseriusannya hingga sekarang.

Di Indonesia, Aliansi sudah membuat naskah akademik Konvensi, melakukan kampanye, aksi, pertemuan dan memaparkan pentingnya KILO 190 ini pada DPR, Pemerintah dan pengusaha, namun konvensi masih sulit untuk diratifikasi. Pemerintah Indonesia belum menunjukkan keseriusannya untuk melakukan analisis pra-ratifikasi, apalagi meratifikasi KILO 190, padahal kekerasan di dunia kerja terus terjadi.

Kekerasan dan pelecehan yang menimpa pekerja merupakan isu yang terus dikampanyekan seluruh di dunia. Saat ini sudah 7 negara anggota PBB yang telah mengambil langkah formal ratifikasi Konvensi ILO 190 sejak tahun 2019, diantaranya, Uruguay, Argentina, Equador, Somalia, Namibia, Fiji dan Yunani. Padahal dengan segera meraifikasi KILO 190, ini akan menyelesaikan persoalan kekerasan dan pelecehan yang banyak dialami para pekerja di Indonesia.

Hal ini dipaparkan para aktivis Aliansi dalam konferensi pers Hari Buruh Sedunia pada 30 April 2022 melalui daring.

Dalam pemaparannya, Aliansi stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja mencatat tentang kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan eksploitase yang terjadi di dunia kerja dalam waktu setahun ini. Riset yang dikeluarkan Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) di tahun 2022 mencatat adanya eksploitase kerja yang menimpa para pekerja film. Industri film Indonesia memang mencatatkan prestasi gilang gemilang sepanjang dua dekade terakhir, namun ternyata ada masalah besar yang menghantui pekerjanya. Para pekerja film masih bekerja 16-20 jam dalam satu hari syuting, ini artinya mereka berada dalam situasi kesehatan fisik dan mental yang sangat berbahaya. Kondisi para pekerja yang bekerja selama 16-20 jam ini dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sudah berlangsung lama dan dinormalisasi dari zaman ke zaman. Pekerja film juga memiliki masalah serius terhadap perlindungan hak pekerja yang sering terlanggar namun tak pernah terlaporkan dan tak terdokumentasikan

Riset Koalisi Seni di tahun 2021 menunjukkan secara umum jika perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas kerja tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali keterampilan kerja yang cukup, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang.

Kondisi diskriminasi kemudian juga menimpa jurnalis perempuan. Survei Upah Layak Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta di tahun 2021 menemukan realitas bahwa masih ada jurnalis perempuan yang diupah lebih rendah dibanding jurnalis laki-laki.  Survei Lembaga PR2Media pada tahun 2021 mengungkap sebanyak 85,7% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, seksual dan psikis dan kekerasan digital. Mereka pernah diajak kencan narasumber, ada yang dirayu mau dijadikan istri hingga diancam dibunuh. AJI Indonesia mendata, jurnalis secara umum juga mengalami kekerasan dan Intimidasi dalam sejumlah kasus peliputan seperti peliputan lingkungan di Wadas, Ancaman kekerasan, teror dan peretasan dialami jurnalis dan media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks (IL), dll. Hal lain yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sangat marak terjadi pada jurnalis di banyak media di Indonesia.

Di industri manufaktur/ garmen, selama pandemi, pekerja perempuan garmen dipaksa bekerja dengan jam kerja yang makin panjang dengan upah lebih rendah akibat pemotongan upah berdalih no work no pay (pencurian upah).  Berdasarkan catatan AFWA, selama pandemi di tahun 2020, 21% pekerja garmen mengalami pencurian upah yang berakibat penurunan upah hingga 37% dan berimbas pada jatuhnya daya beli pekerja. Sementara, pekerja perempuan garmen masih harus mengemban pekerjaan rumah tangga dengan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat tanpa kebijakan kontrol harga yang berarti. Buruh ibu juga rentan tidak diperpanjang kontrak, di PHK sepihak, bekerja tanpa K3 memadai yang berdampak pada resiko keguguran dan ancaman kesehatan bagi buruh ibu, sebagaimana yang tercatat dalam buku “Bertahan Hidup dan Diabaikan: Pengalaman 10 Buruh Ibu Dalam Pusaran Pandemi”.

Secara umum, problem banyaknya pekerja informal yang tidak diakui sebagai pekerja formal menjadi problem besar. Padahal jumlah pekerja informal jumlahnya lebih banyak dibanding pekerja formal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021 atau  59,62%. Sedangkan pekerja formal jumlahnya 40,38%. Namun pekerja seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT), pekerja rumahan, pekerja freelance/ pekerja lepas, ojek online, dll tak diakui sebagai pekerja. Perjuangan PRT agar diakui sebagai pekerja mentok di DPR dalam perjuangan RUU selama 18 tahun yang tak juga disahkan. Begitu perjuangan pekerja rumahan untuk mengubah kebijakan. Para pekerja rumahan ini bekerja untuk perusahaan, diupah murah, namun tidak diakui sebagai pekerja

Dalam masa pandemi, fleksibilitas pasar kerja yang diperkuat dengan UU Cipta Kerja meningkatkan informalisasi dunia kerja dengan maraknya sistem kontrak dan outsourching yang dampaknya sangat dirasakan oleh semua lapisan buruh.

Kondisi lain juga menimpa para pekerja magang. Walaupun sudah ada aturan turunan dari aturan permagangan ini dalam Permenaker 6/2020, namun ternyata beberapa isi dalam Permenaker tersebut masih diskriminatif, misalnya menyebutkan syarat pemagangan antaralain harus sehat jasmani dan rohani. Artinya pasal ini akan mendiskriminasi pekerja penyandang disable yang mungkin tidak bisa memenuhi persyaratan itu. Dalam situasi kerja yang timpang/ relasi kuasa tentu hal ini tidak mudah: pekerja magang akhirnya akan menurut atau tidak berani bersuara. Sering terjadi pekerja magang diberi tugas dan tanggung jawab layaknya pekerja tetapi mereka sama sekali tidak diupah.

Konvensi ini dibutuhkan karena tempat kerja yang menjadi tempat seseorang menghabiskan hampir sebagian besar waktunya masih dihantui dengan risiko kekerasan dan pelecehan seksual. KILO 190 dan Rekomendasi 206 dapat memberikan landasan hukum bagi semua pihak tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja; baik itu pekerja, pihak manajemen, dan serikat buruh untuk menghadapi masalah ini.

Konvensi ILO 190 Konvensi Stop Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja merupakan konvensi yang spesifik karena melindungi pekerja dari rumah hingga di tempat kerja dan kembali lagi ke rumah. Ada spesifikasi dalam KILO 190 yaitu KILO tak hanya mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja saja, namun di dunia kerja, yang artinya Konvensi mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja. Lalu Konvensi juga mengakui bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang banyak dialami pekerja perempuan akan berimbas pada kerja-kerja mereka. Konvensi ini memberikan pengakuan kepada seluruh pekerja tidak hanya pekerja formal tetapi juga non formal. Dan keempat, dalam konvensi juga mengakui  orang yang magang/ internship, relawan sebagai pekerja

Dengan pemerintah yang belum menunjukkan keseriusannya dalam membahas KILO 190, maka pada May Day 2022, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menuntut pemerintah, untuk membahas dan meratifikasi KILO 190. Jika pemerintah meratifikasi, maka pemerintah akan dipandang baik di mata internasional karena mempunyai kebijakan stop kekerasan di negaranya.

Pengusaha, untuk mendukung ratifikasi, karena bagi perusahaan pemberi kerja, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja akan berdampak negatif terhadap reputasi perusahaan dan produktivitas kerja

Jadi tidak ada alasan lagi untuk segera mengesahkan Konvensi ILO 190 untuk stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja

Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja adalah aliansi yang terdiri dari berbagai macam serikat dan organisasi seperti FSBPI, KPBI, Serikat Sindikasi, Perempuan Mahardhika, SPN, KSPI, Jala PRT, KSPN,  AJI Indonesia, Yapesdi, KSBSI, Sarbumusi, Konde.co, AJI Jakarta, TURC, LIPS, KOHATI, KSPSI YRS, Institut Sarinah, ASPPUK, InHIDES Gorontalo, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan GUSDURIAN Gorontalo, Pengurus Cabang GP Anshor Kota Gorontalo, Institut KAPAL Perempuan

(Tulisan ini Merupakan Bagian Dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan Dari “VOICE”)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular