Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan

Lebih dari 100 kasus perkosaan terjadi pada tragedi Mei 1998. Ada 152 perempuan yang diperkosa dan 20 orang meninggal. Selain diperkosa, ada yang dilecehkan, dianiaya, juga dibakar.

(Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. Beristirahatlah sejenak saat Anda merasa tidak nyaman).

13 Mei 1998. Aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia mengendarai ojek menuju kawasan Glodok, Jakarta Barat. Dia baru saja mendapat panggilan telepon, ada kabar soal penganiayaan terhadap para perempuan Tionghoa terjadi di tengah kerusuhan Mei 1998. Bersama rekannya, dia pun bergegas. 

Di sepanjang area jembatan Glodok, Ita mendapati seorang perempuan Tionghoa sudah diseret-seret. Sejumlah laki-laki berpakaian compang-camping membawa perempuan itu. Tubuhnya kemudian menjadi objek kekerasan dan pelecehan seksual. Tanpa pikir panjang, Ita dan temannya sekuat tenaga melerai.

“Stop-stop,” ujarnya keras. 

Mereka kemudian membawa perempuan Tionghoa dan anaknya ke sebuah hotel terdekat. Beruntung, pemilik hotel yang Ita ingat– bernama Liem, menerimanya dengan baik. 

Beberapa hari setelahnya, perkosaan yang terjadi pada perempuan Tionghoa tersebut ternyata bukan terakhir yang harus Ita saksikan. Hingga tanggal 17 Mei 1998, dia mendapati kejadian pedih pemerkosaan yang bahkan sampai menyebabkan kematian ibu dan anak-anaknya. 

Kejadian itu juga menimpa sebuah keluarga peternak babi di Benteng, Tangerang, Banten. Seorang perempuan meninggal usai diperkosa, kemudian disusul dengan anak keduanya. Tak berapa lama, anak ketiganya bernama Fransiska (11) meninggal di pangkuan Ita akibat pendarahan kekerasan yang dia alami.  

“Jam 11 siang dia tidak tahan (meninggal dunia). Saya ikut membersihkan. Fransiska saya antar sampai kremasi,” kata perempuan yang kala itu bergiat di Kalyanamitra itu dalam diskusi Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi 1998) yang diselenggarakan FEH Universitas Ciputra, 12 Mei 2022 lalu. 

Bersama kawan-kawan aktivis lain, Ita kemudian bersolidaritas membentuk tim relawan untuk kekerasan perempuan pada tragedi Mei 1998. Kantor tempatnya bekerja, Kalyanamitra, menjadi pusat komando. Mereka membuka posko pengaduan dan relawan utamanya untuk melawan tindakan pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa. 

“Banyak orang datang dan menjadi tim kami,” katanya. 

Saat itu, Ita menceritakan, ada lebih dari 150-an kasus perkosaan dalam peristiwa Mei 1998  yang terjadi di Jakarta saja. Belum berbagai kota lainnya seperti Medan, Palembang dan Surabaya.

Sejalan dengan itu, Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 (TGPF Mei 1998), menemukan setidaknya ada sekitar 80-an kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 52 tindak perkosaan, 14 kasus perkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penganiayaan seksual, serta 9 kasus pelecehan seksual. 

Jumlah itu adalah hasil verifikasi dari TGPF dari data sebelumnya yang berjumlah lebih dari 100 kasus. Di antaranya, ada 103 orang yang diperkosa (1 meninggal), perkosaan dan penganiayaan 26 orang (9 meninggal), pemerkosaan dan pembakaran 9 orang (semua meninggal) dan pelecehan seksual 14 orang (1 meninggal) total korban 152 orang (20 meninggal). 

Perkosaan yang terjadi itu, kata Ita, tidak hanya perkosaan dengan kelamin. Namun, benda fisik seperti sapu yang bertujuan merusak kelamin perempuan Tionghoa. 

“Ada perbedaan, mungkin di dalam pencatatan itu di dalam keadaan yang sangat kacau, jadi menjadi sangat susah,” imbuh Ita. 

Upaya Memperjuangkan Hak Korban 

Selama masa kisruh Mei 1998, perempuan Tionghoa korban kekerasan seksual kembali mengalami ancaman. Tidak hanya ancaman secara verbal, namun juga berbagai teror. Termasuk, para pendamping dan orang-orang yang berusaha melindungi para korban kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998. 

Perempuan Tionghoa korban kekerasan seksual di tragedi Mei 1998 ini mengalami kekerasan berlapis. Satu karena dia korban perkosaan, satunya lagi sebagai minoritas.

“dr Lie Gunawan itu anjingnya dibunuh, karena beliau menerima sejumlah korban perkosaan,” katanya. 

Tak hanya itu, Ita melanjutkan, desakan-desakan untuk membuka identitas atau nama-nama korban pun terjadi. Selain juga, meminta keterangan dari pendamping seperti ita tentang keberadaan para korban. Salah satunya datang dari pihak tentara dan kepolisian. 

Namun saat itu, sikap yang diambil tim relawan perlindungan korban tetap tidak memberi tahu keberadaan korban dan melindungi identitas mereka. Bagaimanapun resikonya. 

“Perjuangan kami harus bertarung dengan pihak penguasa, keamanan dan juga orang-orang yang kita tidak tahu. Maka untuk tim relawan perlindungan kekerasan terhadap perempuan ini, kami mementingkan keamanan dan perlindungan korban,” terangnya. 

Sebagai pertanggungjawabannya memperjuangkan hak korban, Ita bersama tim membuat laporan yang berisi data dan juga fakta-fakta kekerasan yang terjadi pada perempuan Tionghoa di peristiwa Mei 1998.

Sebanyak 11 perempuan lantas mendesak presiden RI kala itu, BJ Habibie, untuk menerima tim yang membuat laporan itu. Salah satunya, mantan ketua Komnas Perempuan Saparinah Sadli. Mereka kemudian diundang BJ Habibie ke Bina Graha, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta. 

“Ketika diterima presiden Habibie mengatakan kepada Saparinah, ‘saya percaya ada perkosaan 1998 Mei karena keponakan saya sahabatnya menjadi korban,” cerita Ita. 

“Sekarang apa yang harus kita lakukan,” lanjut BJ Habibie kala itu. 

Aktivis perempuan, Saparinah bersama kesepuluh orang lainnya, kemudian mengusulkan adanya sebuah institusi yang melindungi perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan. Maka, berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Saat itu juga, dibuatlah draft hingga ditandatangani oleh BJ Habibie. 

Di momen itulah, ada sebuah peristiwa penting di Bina Graha yang menurut Ita, tak banyak orang tahu. Ketika dirinya bersama rombongan datang ke Bina Graha itu, dirinya dipanggil oleh Jenderal Wiranto, ketua Kapolri saat itu dan dua orang jenderal lainnya. 

“Saya ada di antara 4 jenderal-jenderal. Jenderal Wiranto mengatakan kepada saya, kamu perempuan, berbohong! Kamu telah menghina, menjelekkan (Indonesia) di mata internasional” kata Ita menirukan Wiranto saat itu. 

Ita yang diam kemudian melihat mata Wiranto dan ketiga jenderal lainnya. Kemudian mengatakan kalimat “Saya tidak berbohong, saya berani bertanggung jawab, dan saya berani mengemukakan perkosaan itu ada,” kata Ita.

“Mana buktinya?” Kapolri menimpali perkataan Ita. 

“Saya tidak akan memberikan kepada Jenderal-Jenderal, karena kalianlah yang bertanggung jawab, kami yang akan melindungi,” tegas Ita. 

Ketika itu, Ita menyebut, tim relawan yang mengadvokasi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998, memang tengah melakukan membawa kasus itu ke level internasional. Ita bahkan menemui secara langsung dan membawa laporan kasus itu kepada Dr. Radhika Coomaraswamy, yang lantas membawanya ke sidang HAM PBB di Geneva tahun 1999. Meski, pemerintah RI kemudian menyangkalnya. 

Radhika juga pernah datang secara khusus pada masa pemerintahan BJ Habibie yang berkesimpulan, kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan alat penyiksaan dan teror oleh aparat keamanan Indonesia di berbagai daerah konflik. Ia juga mengungkapkan bahwa budaya penyangkalan terhadap kekerasan seksual masih terjadi di kalangan negara dan masyarakat. 

“Radhika juga bertemu dengan beberapa korban Mei 1998 dan mengatakan percaya (kekerasan Mei 1998) tidak mungkin hanya dilakukan hanya rakyat Indonesia, ini adalah kekuatan yang punya kekuatan. Itu adalah aparat keamanan di Indonesia,” ungkap Ita. 

Di tengah upaya mengungkap kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 mulai gencar dilakukan, masyarakat saat itu dikejutkan oleh pembunuhan Ita Marthadinata. Dia adalah perempuan berumur 18 tahun, yang merupakan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

Ita Marthadinata adalah penyintas sekaligus orang yang berusaha menyingkap kasus perkosaan dan pembunuhan saat kerusuhan Mei 1998. Bersama ibunya dan empat penyintas lain, Ita berencana memberikan kesaksian pada Kongres AS. Namun ia dibunuh dengan kejam pada 9 Oktober 1998. 

“Pembunuhan Ita seolah adalah pesan politik, siapapun kamu, aktivis yang akan bicara kekerasan Mei 1998 akan mengalami hal serupa,” kata Ita. 

Stop Perkosaan 

Kini,  24 tahun sudah tragedi  Mei 1998 berlalu, namun pertanggungjawaban negara masih belum juga terwujud. Utamanya, pemenuhan hak-hak perempuan korban baik penanganan maupun pemulihan yang komprehensif. Negara masih bergeming terhadap tuntutan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sementara para korban menua dalam penantian keadilan.

Komnas Perempuan melawan lupa dengan mencatat adanya pertautan antara diskriminasi berbasis gender dan rasisme dalam tindak kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2022, jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia sebanyak 2.363 kasus dengan pemerkosaan di urutan tertinggi yakni 597 kasus atau 25%. 

“Kekerasan seksual digunakan sebagai salah cara untuk meneror dan menciptakan ketakutan massal,” tulis pernyataan resmi Komnas Perempuan yang diterima Konde.co, 13 Mei 2022. 

Maka dari itu, pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bisa menjadi merupakan tonggak sejarah baru untuk memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual terhadap perempuan. Termasuk pada peristiwa kelam Mei 1998. 

Dalam peringatan 24 tahun Tragedi Mei 1998, Komnas Perempuan mendesak presiden RI melanjutkan berbagai upaya konkrit penyelesaian pelanggaran HAM di tragedi Mei 1998. Kementerian Dalam Negeri juga diminta untuk mendorong pemerintah daerah merawat ingatan tragedi Mei 1998.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga menekankan pada Kementerian Kesehatan agar mengeluarkan kebijakan khusus untuk akses kesehatan layak bagi korban pelanggaran HAM masa lalu di daerah-daerah. Kemensos juga memberikan bantuan sosial bagi para korban tersebut. 

“Mengajak masyarakat sipil dan warganet bersama-sama melakukan kampanye merawat ingatan dan memastikan ketidakberulangan tragedi Mei 1998,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!