Saya Jadi Pekerja Rumah Tangga dari Umur 13 Tahun

Mimpi saya untuk bisa melanjutkan sekolah hingga bangku SMA kandas. Karena alasan ekonomi yang membuat saya harus cepat bekerja. Akhirnya saya jadi Pekerja Rumah Tangga/ PRT pada saat masih berumur 13  tahun. Dan ini bertahan hingga usia saya menjelang 50 tahun.

Nama kecil saya Tutik, Saya kelahiran Malang, Jawa Timur tahun 1973. Saya lahir dari keluarga petani miskin di desa. Sejak usia satu tahun orang tua saya sudah bercerai, lantas saya dititipkan pada kakek nenek dari pihak Bapak.

Saya tumbuh dan besar di bawah bimbingan kakek-nenek, karena setelah bercerai bapak menikah lagi dan sibuk dengan keluarga barunya. Tapi saat itu saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini.

Saya dibesarkan dalam kehidupan yang sederhana, bahkan bisa dikatakan seadanya. Pekerjaan kakek dan nenek saya sehari hari adalah bertani, kuli dan mencari rumput untuk kambing peliharaan kakek saya. Penghasilan yang didapat tidak terlalu besar, dan hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Sejak kecil tubuh saya tergolong ringkih. Saya sering sakit-sakitan, dan bahkan suka kejang atau oleh orang Jawa disebut dengan istilah step.

Ketika saya sudah umur sekitar tujuh tahunan, saya baru mengerti apa itu arti bercerai. Saat itu saya baru tahu mengapa saya tidak diasuh sendiri oleh orang tua saya. Bahkan saya tidak ingat siapa ibu saya dan bagaimana wajahnya.

Saya mulai masuk sekolah SD ketika umur tujuh tahun. Saya sangat suka bersekolah karena saya bisa bertemu dengan teman-teman sebaya saya. Tapi, seperti anak-anak pada umumnya di kampung, anak perempuan tidak bisa bebas bermain. Anak perempuan baru bisa bermain setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu, mencuci, mengisi air tempayan, mencari kayu bakar dan sebagainya.

Jadi sejak umur 7 tahun saya sudah terbiasa bekerja membantu nenek dan kakek setelah pulang dari sekolah. Kalau saya tidak mengerjakan pekerjaan rumah,pasti nenek saya akan mencubit paha saya sampai biru.

Padahal sebenarnya saya suka bermain dan tergolong anak yang hyperaktif alias tidak mau mau diam. Tapi kadang saya juga segan, karena kalau kawan-kawan saya sudah datang dan mengajak bermain, sampai saya lupa waktu, lupa tugas rumah, sehingga ketika nenek sudah pulang dari sawah, dia marah dan menghampiri saya yang sedang bermain.

Kalau sampai tiga kali di panggil tidak datang, nenek langsung datang dengan tergopoh gopoh dengan tangan yang sudah siap melintir paha saya.

Kalau kakek saya orangnya pendiam dan tidak banyak bicara. Bahkan menurut saya, kakek paling sayang sama saya dibanding dengan cucu-cunya yang lain. Mungkin karena saya dari bayi sudah ditinggal ibu dan sering sakit-sakitan. Kakek yang selalu mengerti dan tahu apa yang saya mau.

Karena rumah bapak saya tidak jauh dari rumah kakek nenek, jadi tiap hari saya bisa lihat keluarga mereka. Namun, saya tidak terlalu akrab dengan ibu tiri saya. Sedangkan bapak saya sibuk bekerja sebagai mandor di gudang punya seorang tauke. Dia berangkat pagi pulang malam, sehingga tidak pernah tahu apa saja yang terjadi di rumah.

Bapak saya menikah lagi dengan mantan istrinya yang dulu dan bertahan sampai sekarang. Sebelum menikah dengan ibu saya, bapak saya sudah menikah dan punya anak laki-laki, tetapi ketika anaknya umur satu tahun, mereka bercerai.

Lalu bapak saya menikah dengan ibu saya. Tapi saat saya sudah lahir dan berusia satu tahun, orang tua saya bercerai, dan bapak saya kembali menikahi mantan istrinya yang terdahulu, dan setelah itu saya dititipkan kepada kakek/nenek. 

Jadi bisa dikatakan yang berjuang buat hidup saya adalah kakek dan nenek, jadi saya lebih mendengarkan perintah mereka berdua dan membantu kakek nenek saja.

Setelah masuk sekolah, pekerjaan sehari hari saya bertambah. Pagi-pagi saya sekolah. Pulang sekolah biasanya saya membantu kakek di sawah atau mencari rumput untuk kambing. Kadang saya mencari uang sendiri buat beli buku dan jajan dengan cara ngasak, atau mengais resam atau butir-butir padi sisa orang panen.

Kadang saya ikut nenek buruh tandur/menanam padi, jagung, kedelai apa saja. Mencari kayu bakar buat dijual. Masa kecil saya tak seindah masa kecil anak-anak lain, saya harus berjuang untuk hidup saya.

Saya juga pernah tidak naik kelas waktu masih kelas satu SD, ini karena sering ijin dan tidak masuk karena sakit. Seringnya saya sakit sampai mengakibatkan mata kiri saya cacat.

Setelah saya kelas empat SD, tugas sekolah bertambah banyak, saya juga bertambah besar. Saat itu saya punya cita-cita, kalau lulus SD ingin melanjutkan SMP dan melanjutkan ke SMA. Ingin bertemu ibu kandung seperti apa wajahnya dan ingin tinggal bersamanya waktu itu.

Tapi cita-cita saya tidak terwujud, karena alasan ekonomi. Saya akhirnya bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRT) saat usia saya masih 13 tahun. Dan ini bertahan hingga saat ini ketika umur saya hampir 50 tahun.

Menjadi  PRT menjadi satu-satunya pilihan terbaik saat itu. Karena dengan pendidikan saya yang tidak terlalu tinggi juga pengalaman saya yang masih minim. Meski sebenarnya dari sisi usia sebenarnya saya belum boleh bekerja karena masih tergolong anak-anak.

Tapi saat itu tidak ada pilihan lain, dan saya menjalaninya dengan sabar dan penuh syukur. Dari pekerjaan ini saya bisa membantu meringankan abeban kakek dan nenek saya. Saya juga bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Saya semakin bangga dengan profesi saya, setelah bergabung dengan SPRT. Semakin ke sini saya semakin menyadari, mungkin ini jalan hidup saya.  Namun demikian, dalam hati kecil saya menyimpan harapan, bahwa satu saat nanti PRT diakui sebagai pekerjaan dan diperlakukan yang sama dengan pekerja lain. Semoga. 

KEDIP atau Konde Literasi Digital Perempuan”, adalah program untuk mengajak perempuan dan kelompok minoritas menuangkan gagasan melalui pendidikan literasi digital dan tulisanTulisan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kerjasama www.Konde.co yang mendapat dukungan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).

Tutik

Pekerja rumah tangga, aktif di SPRT
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!