Tak Mau Jadi Korban Intoleran, Para Perempuan Jadi Pelopor Perdamaian

Obertina Modesta Johanis pernah trauma setelah jemaat yang dipimpinnya pernah menjadi korban persekusi. Ia tak mau terus meratapi nasibnya. Obertina memilih jadi agen perdamaian, “kalau ditanya alasan kenapa saya aktif menyuarakan toleransi keberagaman, karena saya merasa menjadi korban itu susah dan berat sekali!.”

Perjuangan untuk merajut kembali toleransi yang terkoyak terjadi di pelosok Nusantara. Konde.co bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia) dan didukung UN Women mengangkat kisah perjuangan itu dalam edisi khusus #Memperjuangkantoleransi dalam Peace Innovation Academy. Tulisan ini akan tayang selama sepekan pada 28 April- 4 Mei 2022

Kejadian-kejadian dalam kurun waktu 2005 hingga 2007 itu belum sepenuhnya hilang dari ingatan pendeta Obertina Modesta Johanis. Hampir setiap pekan, ibadah Minggu di Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang dipimpinnya selalu mengalami gangguan. 

Ada saja kelompok masyarakat yang menolak kegiatan keagamaan yang dilakukan jemaat gereja itu. Mereka dicurigai sedang menyebarkan ajaran Kristen, tepatnya dituduh melakukan kristenisasi, sekaligus melakukan pemurtadan.

Ruang gerak para jemaat dibatasi. Bahkan tidak jarang mereka diintimidasi, dicaci ataupun diteriaki. Obertina menyaksikan langsung semua kejadian itu dan masih merasakan trauma yang dialami para perempuan dan anak-anak. 

“Anggota Gereja kami, terutama perempuan dan anak-anak masih merasakan trauma jauh setelah kejadian, Salah satu ibu anggota jemaat kami masih merasa ketakutan jika bertemu dengan orang yang berpakaian tertentu karena mengingatkan pada para penyerang,” papar Obertina saat berbincang dengan kami pada akhir Maret 2022 lalu.  

Kekerasan itu masih membayangi benak Obertina dan umatnya. Meski kondisi sudah semakin membaik, rasa takut akan mengalami persekusi saat sedang melaksanakan ibadah hingga kini masih ada. 

Tindakan persekusi dan Intimidasi di daerah itu, menurut news.detik.com (9/11/2021), juga menimpa warga yang beragama Kristen di Amansari, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Rumah milik jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini juga dirusak oleh warga. 

Persekusi Menimpa Warga Ahmadiyah, Syiah dan Sunda Wiwitan

Persekusi dan diskriminasi ternyata juga dialami penganut Ahmadiyah, Syiah serta penganut kepercayaan (Sunda Wiwitan) di kota Bandung. Kegiatan keagamaan mereka kerap mendapatkan gangguan.

Seperti yang diberitakan JabarEkspres.com, kelompok Syiah pernah didemo oleh pihak kontra saat sedang memperingati Asyura pada 9 September 2019. Massa yang berjumlah 100 orang itu menolak dan berusaha menghentikan kegiatan ini. 

“Waktu itu sedang ada kegiatan Asyura, di depannya orang demo sambil teriak-teriak. ada pukulan massa yang datang yang mengganggu dan membuat mereka trauma,” tutur tokoh perempuan yang aktif menyuarakan toleransi dan perdamaian di Jawa Barat khususnya di Kabupaten Bandung itu. 

Persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah juga sering terjadi di Jawa Barat. Salah satunya pada saat peluncuran buku Haqiqatul Wahy di Masjid Mubarak, Bandung Timur Kegiatan ini batal setelah digeruduk oleh massa. Para penyerang empat melontarkan ujaran kebencian dan kata-kata kasar terhadap jamaah Ahmadiyah. 

Pada 2011, terjadi serentetan serangan di Bogor dan Cianjur. Rentetan kekerasan terhadap Ahmadiyah terbilang banyak terjadi di kabupaten Cianjur. Masjid milik jemaan Ahmadiyah diserang dan dirusak. Sebelumnya, tepatnya pada 2008 dan 2010 kekerasan terhadap Ahmadiyah juga terjadi di Parakan Salak dan Kampung Panjalu, Sukabumi. 

Intoleransi di Jawa Barat

Intoleransi menjadi masalah yang belum terpecahkan di Jawa Barat hingga kini. Menurut catatan Setara Institute, sejak 2007 Jawa Barat selalu berada di posisi pertama dalam hal pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Mirisnya, menurut Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos), intoleransi di Jabar justru meningkat dalam kurun waktu 2019-2021. Sepanjang tahun 2021, terjadi setidaknya 40 penyerangan kepada kepada kelompok beragama di Jawa Barat. Meningkat dibanding tahun 2020 yakni 39 kasus pelanggaran. 

Temuan serupa juga diungkap Wahid Foundation. Menurut catatan Wahid Foundation, pada tahun 2016 terjadi 28 insiden pelanggaran kebebasan beragama. Pelanggaran itu terdiri dari intimidasi, penganiayaan, ujaran kebencian, tuduhan penyimpangan dan pelarangan kegiatan keagamaan, penyerangan tempat ibadah, hingga larangan pembangunan tempat ibadah.

Fakta ini menempatkan provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini masuk kategori provinsi dengan tingkat toleransi terendah. Dampak nyatanya dirasakan oleh non-Muslim dan kelompok minoritas lain seperti Syiah, Ahmadiyah dan penghayat Sunda Wiwitan. 

Obertina memaparkan intoleransi yang tinggi dan serangkaian serangan ini memicu trauma bagi umat ataupun penganut kepercayaan yang mengalami persekusi. 

Neng Yanti Khozanantu Lahpan, manajer program JISRA (Join Inisiative for Strategies Religious Action), juga mengakui intoleransi di sejumlah daerah di Jabar tergolong tinggi. Namun, menurutnya ada juga sejumlah daerah yang sangat toleran. Untuk itu ia meminta agar metode survei disempurnakan agar bisa memetakan secara akurat dan bisa tergambarkan dengan jelas. 

“Apakah yang diukur itu atau dijadikan tempat penelitian itu daerah yang memiliki tingkat kekerasan tinggi, di Bogor atau daerah lain misalnya. Tapi kan beberapa tempat di daerah tidak terlalu tinggi tapi di daerah lain tinggi. Jadi fenomena di daerah sendiri beragam,” ujarnya. 

Informasi Keliru Picu Intoleransi

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya intoleransi di sejumlah kota di Jawa Barat. Menurut Yanti, tingginya intoleransi tidak melulu dipicu factor internal. Ia meyakini intoleransi lebih banyak dipicu faktor eksternal.

Tindakan intoleransi di kota Bandung sebenarnya bertolak belakang dengan karakter masyarakat Sunda yang ramah, silih asah, silih asih, serta silih asuh. Orang Sunda sangat ramah dan bisa menerima perbedaan.

Namun ketika ada faktor dari luar datang, maka seperti percikan api yang menyambar bensin. Amarah masyarakat langsung naik kalau agamanya dihina. Alasan ini dijadikan alat oleh orang-orang tertentu untuk membuat chaos. Amarah masyarakat bisa dengan mudah dipantik hanya dengan alasan “agama kita dihina”

Sikap pemarah tidak muncul dari sikap individu. Secara kultur, orang Sunda mampu menerima perbedaan. Emosi warga justru sangat cepat naik ketika dipantik. 

“Secara kultur, orang Sunda itu kan toleran. Tapi karena kita ini sangat mudah dipolitisasi, mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, maka seringkali kita yang toleran ini terpicu. Di Indonesia, isu keagamaan adalah hal yang sensitif. Disulut sedikit saja, misalnya diduga ada penghinaan agama, agama dilecehkan, maka masyarakat langsung terpicu untuk melakukan kekerasan sosial yang luas,” ucap Yanti akhir Maret 2022. 

Perkembangan teknologi juga menjadi masalah tersendiri. Informasi di media sosial yang belum tentu kebenarannya sering memantik tindakan intoleransi. Masyarakat sangat mudah percaya informasi yang tidak tuntas alias sepotong-sepotong. 

Grup WhatsApp menjadi ladang basah bagi kelompok tertentu untuk menyebarkan hoaks yang memanfaatkan sentiment agama. Masyarakat mudah tersulut emosinya saat ada informasi yang menyudutkan agamanya. 

“Intoleransi itu seringkali dipicu oleh informasi yang tidak utuh, Seringkali pandangan intoleran muncul karena informasi dari grup WA. Nah karena mereka hanya membaca berita yang ada di situ, yang tidak utuh, itu dapat membangkitkan sikap intoleran,” lanjut Yanti

Setara Institute menyebut politik identitas dan menguatnya konservatisme beragama menjadi pemicu utama meningkatnya pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Bumi Pasundan. Sikap sejumlah partai politik yang mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa agama memperburuk kondisi ini.  

Intoleransi juga sering dipicu oleh pandangan yang salah pada pemeluk agama lain. Ada kecurigaan yang tak beralasan. Persepsi yang salah tentang kepercayaan orang lain menjadi benih kekerasan yang menjalar di masyarakat. 

“Ada kecurigaan yang berlebihan terhadap umat Kristiani, Syiah, dan Ahmadiyah. Masyarakat sering mendapatkan informasi dari katanya. Misalnya, Ahmadiyah itu bukan Islam. Padahal mereka belum pernah ketemu sama orang Ahmadiyah,” ujar Obertina

Keberadaan umat Kristiani sering dikaitkan dengan kristenisasi. Pun demikian dengan Syiah dan Ahmadiyah yang selalu dianggap sebagai kelompok sesat yang tak boleh ada di Indonesia. Persepsi yang salah ini bisa dikikis jika ada keterbukaan dan komunikasi. Sehingga masalah besar yang muncul akibat prasangka bisa diminimalisasi. Kebencian bisa diubah menjadi cinta.

Komunikasi seperti inilah yang dilakukan mantan laskar Front Pembela Islam/ FPI yang dulu sering memperkusi kelompok Ahmadiyah. Satu kali kali ia dipertemukan dengan penganut Ahmadiyah untuk berdialog. Dari pertemuan itu, ia sadar bahwa Ahmadiyah tak seperti yang ada di pikirannya. Ternyata orang Ahmadiyah bacanya al-Quran juga. Nabinya juga Muhammad dan berhaji ke Mekah juga. 

“Setelah perjumpaan itu, dia sekarang menjadi salah satu tokoh toleransi di kota Bandung,” papar Obertina sembari menambahkan, orang menyerang kelompok lain karena menerima informasi yang keliru,

Perlu pelurusan persepsi yang salah ini. Masyarakat berbeda agama/kepercayaan perlu saling kenal. Karena tidak mengenal, maka timbul prasangka, prasangka lantas memicu kebencian, hingga akhirnya ia melakukan hal buruk terhadap penganut agama/kepercayaan lainnya.

Komunikasi antar umat beragama perlu dilakukan, pertemuan-pertemuan dengan disengaja harus dilakukan supaya umat beragama bias saling kenal.

Perempuan dan Gerakan Perdamaian di Kota Bandung

Obertina dan Yanti sependapat, politisasi agama untuk kepentingan kelompok tertentu.menjadi biang kerok menguatnya intoleransi. Untuk kepentingan politik, orang-orang yang mudah disetir, diarahkan dan diajak mendukung kelompok itu. Kondisi masyarakat yang serba kekurangan, mudah ditarik ke lingkaran konflik dengan iming-iming imbalan uang. 

Keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian sangat diperlukan. Pasalnya, di banyak konflik, perempuanlah yang paling menderita. Kedekatan perempuan pada kelompok grassroot juga menjadi pertimbangan tersendiri. 

Perempuan perlu menyuarakan narasi berbeda, yakni narasi yang lebih menyuarakan keberagaman dan toleransi untuk mengcounter narasi penyeragaman yang belakangan kian menguat. 

“Kalau ditanya alasan kenapa saya aktif menyuarakan toleransi keberagaman karena saya merasa menjadi korban itu susah dan berat sekali!” terang Obertina.

Ia menegaskan, konstitusi menjamin hak semua warga negara untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Persekusi pada kelompok Kristen, Ahmadiyah, Syiah, maupun Sunda Wiwitan tidak boleh dibiarkan. 

Untuk itu ia aktif membangun komunikasi Perempuan Lintas Iman. Januari lalu mereka bertemu, ada wakil Fatayat NU, wakil Lajna, perempuan Syiah, kemudian WKRI, Perempuan Katolik, Budhis, Konghucu, juga para Penghayat.

“Sedang dipikirkan, bagaimana, namanya apa dan mau ngapain,” ucapnya

Sedangkan untuk laki-laki ada klub di kota Bandung, yang terdiri dari pemuka dari lintas agama dari NU, Muhammadiyah, Gereja Katolik, dan Gereja Protestan. Ada juga Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jaka tarub) untuk kalangan anak muda.

Anak muda disasar karena mereka lebih asyik untuk melakukan perubahan. Dengan melibatkan anak muda, ia berharap program ini dapat menjalin persaudaraan lintas iman. Prasangka antara orang-orang yang berbeda keyakinan dibongkar dengan perjumpaan secara sengaja. 

Dalam perjumpaan itu diciptakan ruang pertemuan lintas iman yang aman untuk semua. Di mana semua orang bebas menanyakan apapun. Apa yang mereka pikirkan tentang agama lain boleh diungkapkan. Prasangka yang mereka pendam bisa dinyatakan, Sehingga akan terwujud keterbukaan dan kejujuran. 

Yanti bersama Fatayat juga gencar membangun komunikasi dengan tokoh agama dan daiyah muda. Para daiyah muda ditempatkan sebagai sahabat yang aktif mengunjungi komunitas binaan yang didominasi perempuan dan anak-anak. Mereka punya peran penting dalam menyuarakan Islam yang rahmatan lil alamin di akar rumput

“Fatayat mendorong tokoh agama menyuarakan kebebasan agama dan berkeyakinan. Goalnya, membangun kehidupan beragama yang harmonis dengan titik berangkat di kota Bandung,” ucap Manajer program Jisra ini.

Pelibatan tokoh-tokoh perempuan berpengaruh dan daiyah-daiyah muda yang langsung bertemu masyarakat akar rumput akan mempercepat penyebaran pesan damai, Sehingga konflik sosial yang sering terjadi di masyarakat akar rumput bisa diminimalisir.  

Yanti bersama Fatayat juga aktif di JISRA. Sebuah program yang yang menyuarakan perdamaian khususnya melalui perempuan. Selama ini suara perempuan kurang didengar dan tak dipandang penting. Perempuan dianggap manusia kelas kedua. Dianggap individu yang tak punya kemampuan sehingga diragukan jika mereka dilibatkan. Padahal, di banyak konflik agama, korban yang paling menderita adalah perempuan dan anak-anak. 

JISRA merupakan konsorsium internasional yang memiliki program di 7 negara. Di Indonesia, JISRA melibatkan 10 organisasi seperti Fatayat, Muhammadiyah dan sejumlah lembaga sosial masyarakat (LSM). JISRA diharapkan bisa menggapai semua lapisan yang berpengaruh dalam membangun masyarakat yang toleran dan harmonis. 

Ada tiga pendekatan yang dilakukan yakni intrareligious, interreligious dan extrareligious. Intrareligious adalah membangun dialog antar sesama agama. Perbedaan itu nyata meskipun dalam satu agama. Perbedaan paham tentang ajaran agama itu selalu terjadi. Untuk mengatasi masalah ini maka langkah yang diambil adalah melakukan komunikasi melalui diskusi/FGD dan penyusunan buku pedoman dakwah. Dalam buku itu dipaparkan tentang toleransi dan pentingnya menyuarakan perdamaian dalam berdakwah.

Selain itu juga dilakukan dialog lintas agama melalui forum-forum diskusi. Dari dialog ini diharapkan bias menemukan titik temu dari perbedaan-perbedaan yang ada. 

Pendekatan terakhir fokus dalam membangun komunikasi dengan para pengambil kebijakan. Seperti pemerintah daerah, akademisi, dan tokoh masyarakat. Dialog ini dilakukan untuk mendorong pengimplementasian KBB dari segi kebijakan dan peraturan.

“Kita jungkir balik ngomongin toleransi, kebebasan beragama, dan bikin gerakan sedemikian rupa, tapi kalau di tingkat pembuat kebijakan tidak ada undang-undang dan tidak ada peraturan yang mendukung dan menjadi acuan maka apa yang telah kita upayakan akan sia-sia,” papar Yanti. 

Ketiga pendekatan ini dalam proses implementasi. Usaha maksimal telah dijalankan. Terwjudnya masyarakat yang harmonis adalah harapan. Saat ini, hasilnya memang belum terlihat tapi benih yang disemai diyakini akan membuahkan hasil di masa yang akan datang. 

Hambatan dan Tantangan

Baik Yanti dan Obertina sama-sama mengakui, ada banyak hambatan tapi juga pendukung dalam menyampaikan pesan-pesan damai kepada masyarakat.

Salah satu hambatan utama adalah ketidak-tegasan sikap pemerintah. Pembiaran terhadap para pelaku tindakan intoleran masih kerap terjadi. Aparat diminta tidak lagi membiarkan diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas yang dilakukan kelompok intoleran.

“Kurang terlihat keseriusan pemerintah menegakkan toleransi. Misalnya di kasus Ahmadiyah dan Syiah, seharusnya polisi sebagai aparat keamanan bersikap tegas dan melindungi teman-teman Syiah dan Ahmadiyah karena secara konstitusi mereka dijamin, tapi ternyata tidak,” ujar Yanti. 

Selain itu lembaga yang mau menciptakan ruang-ruang pertemuan secara sengaja untuk pertemuan-pertemuan lintas iman juga masih minim. Kalaupun ada, lebih bersifat seremonial. Orang masih khawatir membicarakan toleransi Toleransi dianggap isu sensitive, Sehingga tidak usah dibicarakan secara terbuka.

“Membicarakan toleransi sering berakhir dengan keributan. Oleh karena itu, orang lebih memilih untuk diam,” jelas Obertina. 

Masyarakat yang beragam juga menjadi masalah dalam menyebarkan pesan toleransi. Apalagi, ketika sudah disusupi kepentingan politik dari kelompok tertentu. Namun, semua hambatan ini tak menyurutkan semangat untuk menyebarkan pesan perdamaian. 

Ketika satu kelompok mulai lelah, selalu saja muncul generasi baru yang menyemai perdamaian di Bandung. Sebut saja Jaka tarub, Iteung Gugat, Peace Generation, Skodi (Sekolah cinta damai), serta organisasi lain. Mereka saling mendukung dan menguatkan, 

Ini yang dialami Fatayat yang selalu mendapatkan dukungan dari komunitas yang langsung melebur bersama masyarakat akar rumput. Lewat komunitas ini, pesan damai lebih mudah sampai ke masyarakat.

“Fatayat masuk dari komunitas dan ibu-ibu pengajian. Kekuatan kita karena memiliki komunitas di level grassroot. Sehingga ketika menyampaikan pesan perdamaian akan langsung sampai ke tingkat terbawah,” sambungnya.

Bandung adalah kota urban yang cenderung terbuka sehingga punya potensi untuk menjadi contoh pengembangan kota yang toleran. Itulah yang kini diperjuangkan Obertina dan Yanti.

Hasilnya memang belum bisa dipetik hari ini, tapi mereka yakin benih yang disemai akan berkembang satu saat nanti. 

(Pandangan yang disampaikan dalam karya artikel yang ditampilkan di Peace Innovation Academy adalah milik peserta dan tidak mewakili pandangan dari UN Women, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi yang terafiliasi dengannya)

Paridah Napilah

Bekerja sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!