Tubuh Perempuan Dijadikan Polemik: Dipilihkan, Tak Bisa Memilih

Tubuh perempuan selalu dijadikan polemik. Perempuan ingin menjadikan tubuhnya menjadi subyek, tapi dijadikan obyek. Dalam obyektifikasi ini, perempuan menjadi orang yang terseret kesana-kemari

Tubuh kita adalah milik setiap individu atau ini merupakan hak privat. Jadi seharusnya tubuh kita yang mengatur adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Tapi kenyataannya tidak begitu. Semua tubuh perempuan dijadikan obyek, ditundukkan, dikekang, digunakan sebagai alat oleh orang lain, dieksploitase, ini artinya tubuh perempuan diatur-atur oleh orang lain. Tubuh menjadi obyek, bukan subyek

Dosen feminis, Aquarini Priyatna menulis dalam Forum Studi Kebudayaan ITB di tahun 2005 menulis, bahwa tubuh perempuan lebih dari sekedar “facticity” yang adalah bagian diri dari manusia. Disinilah terjadi kontradiksi pada tubuh perempuan. Di satu sisi dia adalah subyek, namun di sisi lain ia adalah obyek karena tubuh perempuan dianggap yang liyan atau dianggap bukan miliknya, karena itu ia selalu tak pernah bebas nilai. Feminis Simone de Beauvior mengatakan, tubuh perempuan merupakan subyek dan bisa juga merupakan obyek dalam waktu yang bersamaan. Aquarini menulis, dengan posisi ini Simone de Beauvior menyatakan bahwa tubuh perempuan bukanlah hanya bicara soal seks dan gender, tapi juga nature/ culture, body/ mind, aktif/ pasif dan sebagainya

Tulisan ini dibuat karena kecintaanku terhadap berbagai fenomena ketubuhan yang kusadari bahwa tubuh adalah gerbang utama yang mampu menembus keterbukaan, citra diri dan persepsi.

Tapi Tubuh juga selalu disalahpahami, karena bisa jadi tubuh digunakan untuk kepentingan orang lain demi memuaskan semua kebutuhan orang, kepentingan industri, kepentingan negara, kepentingan lingkungan dengan segala nilai-nilai mereka. Salah satunya, ketika perempuan memperhatikan tubuhnya sendiri, ia dituntut untuk selalu tampil sempurna. Sepertinya benar apa yang dibicarakan banyak orang bahwa “musuh” perempuan adalah tubuhnya sendiri. Perempuan sebetulnya ingin menjadikan tubuhnya menjadi subyek, tapi dijadikan obyek. Dalam obyektifikasi ini, perempuan menjadi orang yang terseret kesana kemari

Lihat saja pembicaraan tentang tubuh perempuan Papua, tubuh perempuan transgender, tubuh perempuan disabilitas, dan masih banyak lagi tubuh perempuan lainnya yang ditempeli sebagai tubuh yang terdiskriminasi

Di dalam keseharian, kita juga melihat banyak hal yang melekat pada tubuh perempuan yang dijadikan polemik, seperti misalnya ketika perempuan memakai daster, didalam pakaian daster ada fungsi domestik yang menopang hajat inti kehidupan. Ibu-ibu yang memakai daster di rumah yang mengasuh anak, dan menggendong anaknya sering diberikan semacam cibiran yang mulai umum terdengar “ ibu ibu bau daster,” tentunya cibiran semacam ini hasil dari proses budaya mengobyektifikasi yang kental mendarah daging yang menganggap pakaian daster sebagai subordinasi dari pakaian-pakaian lain

Lalu ada bentuk payudara dan kutang dimana ini juga sering mendapatkan cemooh, bullyan. Payudara besar misalnya sering sekali juga menjadi sasaran hinaan dalam masyarakat, payudara seolah olah tidak habis-habisnya dibicarakan, payudara padat seolah mendapat posisi yang lebih superior dan lebih disukai, sedangkan payudara kecil menjadi bentuk badan yang disudutkan. Jadi selain politisasi tubuh perempuan, ada juga politisasi yang melekat pada tubuh perempuan

Banyak sekali pakaian dalam yang dijual dengan macam macam model, polemik yang terjadi pada pakaian dalam sering dijadikan meme atau bahan becandaan dan akhirnya ini juga menyudutkan posisi perempuan. Kita bisa lihat beberapa meme pakaian dalam yang dijadikan masker mulut akibat pandemi COVID yang ganas, mungkin kehabisan stok atau hanya sekedar memancing kreativitas BH, tapi ini bisa membuat perempuan yang memakai BH semakin inferior karena dipakai sebagai bahan candaan.

Kemudian kita bisa juga melihat pemakaian macam-macam make up, contohnya lipstik. Banyak perempuan ketika memakai lipstik sering sekali dianggap kecentilan, mendapat label sebagai perempuan nakal.

Perempuan memakai lipstick karena sering sekali merasa bersalah jika harus terus-terusan melawan standar kecantikan. Orang-orang, negara, industri seolah sudah biasa memainkan obyektifikasi ini secara semena-mena, padahal para perempuan sedemikian rupa memperjuangkan tubuhnya untuk menjadi subyek dari bahasa-bahasa maskulin yang tiap hari menyerang tubuh mereka

Kesadaran inilah yang harus ditumbuhkan, perempuan harus melawan nilai-nilai obyektifikasi, nilai patriarki yang mengaburkan cita-cita perempuan atas tubuhnya sendiri

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!