sejumlah aktivis perempuan menyatakan, sebagai negara yang memegang Presidensi G20, Indonesia perlu memanfaatkan momen G-20 untuk mengajak seluruh dunia agar bersama-sama mencapai pemulihan yang lebih kuat dan berkelanjutan
Ini untuk pertama kalinya, Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20), forum kerja sama 20 Ekonomi utama dunia. Periode Presidensi Indonesia berlangsung selama satu tahun, mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Serah terima keketuaan, atau handover, berlangsung pada KTT G20 di Roma, Italia, pada tanggal 31 Oktober 2021 dari PM Mario Draghi (Presidensi Italia) kepada Presiden Joko Widodo.
Dilansir dari website Kemlu.go.id, G20 adalah forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan. G20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, dengan komposisi anggotanya mencakup 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global. Anggota-anggota G20 terdiri atas 19 negara dan 1 kawasan, yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Sebagai salah satu kelompok yang terlibat dalam G20, Civil20 (C20) menjadi wadah organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia untuk terlibat bersama pemerintah dalam memberikan pengaruh terhadap penyelesaian isu-isu krusial di dunia melalui forum G20 terutama dalam 3 isu prioritas utama yang diusung, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.
Beberapa isu perempuan menjadi bagian yang harus diperhatikan selama Presidensi G20 di Indonesia seperti isu ketimpangan ekonomi bagi perempuan, termasuk ketimpangan sektor tenaga kerja bagi perempuan.
Data di Indonesia menunjukkan sebanyak 35,07 persen dari 270,2 juta penduduk Indonesia merupakan perempuan berusia produktif dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tidak hanya itu, kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi permasalahan yang belum bisa dientaskan sampai saat ini.
Organisasi kesehatan dunia, WHO menyebut, satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. Mengutip data dari Komnas Perempuan, mengatakan tahun lalu hampir 300 ribu laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut kemungkinan dapat bertambah karena banyak korban yang tidak melapor atau tidak memiliki akses untuk melapor. Dengan data tersebut, dapat terlihat betapa pentingnya upaya penghapusan diskriminasi dalam mencapai kesetaraan gender.
Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melihat situasi tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan kesetaraan gender masih menjadi pekerjaan rumah yang serius, dan forum G20 menjadi sangat strategis untuk terus mengupayakan pengarusutamaan perspektif Gender Equality Disability and Social Inclusion (GEDSI) dalam berbagai sektor dan isu yang dibahas oleh pemerintah, masyarakat sipil dan pihak swasta.
Aktivis Perempuan dalam Gender Equality Working Group
Gender Equality Working Group (GEWG) adalah jaringan perempuan dan masyarakat sipil di Indonesia yang kemudian mengusung 3 isu prioritas, yaitu keadilan ekonomi untuk perempuan dengan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam forum ini.
Sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam G20, Civil20 (C20) menjadi wadah organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia untuk terlibat bersama pemerintah dalam memberikan pengaruh terhadap penyelesaian isu-isu krusial di dunia melalui forum G20, mereka akan berperan sebagai penghubung antara masyarakat sipil dengan para pembuat kebijakan di G20 agar suara masyarakat, terutama mereka yang selama ini tereksklusi dapat tersampaikan secara lebih efektif.
C20 sepakat dengan tiga isu prioritas Presidensi G20, yaitu transisi energi, pemulihan kesehatan dunia dan perbaikan ekonomi. Namun, C20 akan tetap aktif membawa isu penting dan khas masyarakat sipil, seperti isu anti korupsi, isu kebebasan berekspresi (civic space), dan isu kemanusiaan.
C20 sudah membentuk tujuh Pokja yang terdiri dari SDGs dan kemanusiaan (SDGs & Humanitarian), akses vaksin dan kesehatan global (Vaccine Access & Global Health) Pajak dan sector keuangan yang berkelanjutan (Taxation & Sustainable Finance), Kesetaraan gender (Gender Equality), Pendidikan dan digitalisasi (Education, Digitalisation and Civic Space), Anti korupsi (Anti-Corruption dan Environment), Iklim yang berkeadilan (Climate Justice) serta transisi energy (Energy Transition).
Setiap Pokja memiliki koordinator nasional dan internasional yang beranggotakan organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia yang secara rutin berdialog untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang inklusif. Hal ini untuk memastikan G20 memberikan perhatian kepada agenda global, khususnya kepada negara miskin dan berkembang.
Sebagai platform masyarakat sipil, C20 memiliki tanggung jawab untuk memastikan penyampaian aspirasi dari civil society dan proses pembuatan kebijakan di G20 berjalan dengan melibatkan semua kelompok, terutama kelompok yang selama ini terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas lainnya.
Pembangunan kesetaraan gender masih menjadi pekerjaan rumah yang serius, dan forum G20 menjadi sangat strategis untuk terus mengupayakan pengarusutamaan perspektif GEDSI dalam berbagai sektor dan isu yang dibahas oleh pemerintah, masyarakat sipil dan pihak swasta.
Sejumlah isu perempuan yang harus diperhatikan selama Presidensi G20 di Indonesia seperti isu ketimpangan ekonomi bagi perempuan, termasuk ketimpangan sektor tenaga kerja bagi perempuan.
“Kami akan memastikan agar Gender Equality Disabilitas dan Social Inklusi (GEDSI) jadi bahasan dalam pertemuan-pertemuan G20, sekaligus mempengaruhi pengambilan keputusan,” ujar Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia yang juga bertindak sebagai coordinator GEDWG, saat menyampaikan pemaparannya dalam media gathering pada Selasa (21/6/2022) di Jakarta.
Media gathering ini menghadirkan sejumlah tokoh perempuan yang menjadi anggota GEDWG. Mike menegaskan, masyarakat terutama perempuan harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Karena merekalah yang paling merasakan semua dampak dari kebijakan pembangunan yang dilakukan. Selama ini peran perempuan sangat minim.
Selama ini, negara-negara G20 belum melihat GEDSI sebagai hal yang krusial. Pembangunan masih dilihat dari sisi teknokrasi, padahal untuk pertumbuhan yang berkelanjutan pembangunan manusia lebih utama ketimbang pembangunan fisik belaka.
Sudah saatnya, lanjutnya, G20 yang merupakan kekuatan ekonomi dunia memiliki perhatian pada masyarakat marginal. Karena sebenarnya merekalah menjadi bagian terbesar dalam penyumbang pembangunan.
“Kuatkan kepemimpinan perempuan yang benar-benar terinklusi, di semua level masyarakat dari bawah hingga ke paling atas,” tandas Mike.
Emmy Susanti Asosiasi Pendampingan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) menyoroti keadilan ekonomi untuk perempuan yang masih jauh dari kata terwujud. Ia memaparkan, keadilan ekonomi dan kesetaraan ekonomi bagi perempuan sangat jau tertinggal. Hal ini bisa terlihat dari indeks partisipasi kesempatan kerja bagi perempuan Indonesia yangberada di posisi 99 dari 156 negara yang dinilai.
Data menunjukkan sebanyak 35,07 persen dari 270,2 juta penduduk Indonesia merupakan perempuan berusia produktif dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data KPPPA mencatat, pada 2019 kesempatan kerja pada laki-laki mencapai 88 % sedangkan perempuan hanya 51,88%.
“Ini menunjukkan ada gap yang besar antara laki-laki dan perempuan dalam hal kesempatan kerja,’ ujarnya.
Gap juga terjadi dalam pengupahan, di mana perempuan digaji lebih rendah dibanding laki-laki. Menurut Rikesda rata-rata upah pekerja laki-laki sebesar Rp 3,5 juta sebulan. Sedangkan rata-rata upah pekerja perempuan hanya Rp Rp 2,7 juta sebulan.
Kondisi ini selain karena kebijakan yang tidak adil (structural) juga dipengaruhi factor budaya. Faktor structural, di mana kebijakan negara hanya berorientasi untuk mengeksplorasi kekayaan alam untuk dijual kepada investor ketimbang memberdayakan warga local. Akibat dari kebijakan ini adalah adanya pemiskinan structural yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Dari faktor budaya, rendahnya partisipasi perempuan tak lepas dari pandangan bahwa mencari penghidupan adalah tanggung jawab laki-laki. Perempuan diposisikan sebagai kelompok yang membantu sehingga mereka dinomorduakan dalam hal pekerjaan.
“Perempuan belum dianggap sebagai yang utama, meski sering merekalah yang sebenarnya menjadi penanggung jawab ekonomi keluarga,” ujar Emmy.
Kepemimpinan perempuan yang bermakna
Justin Gelatik dari Institut Kapal Perempuan mengatakan Presidensi G20 ini menyiratkan harapan bagi pemberdayaan perempuan di Indonesia. Namun ia mengingatkan agar pemberdayaan ini tidak semata dari sisi ekonomi tapi dalam kerangka yang lebih luas.
Belum mengarusutamanya perspektif GEDSI mengakibatkan ruang keterlibatan perempuan belum sepenuhnya terbuka. Selama ini kepemimpinan lebih banyak dilihat dari jumlah kehadiran dan belum memperhatikan pelibatan mereka dalam pengambilan kebijakan. Kondisi ini juga terjaid pada kelompok minoritas lainnya, seperti disabilitas ataupun kelompok minoritas agama.
“Perlu ada kebijakan khusus agar mereka terlibat. Perlu diciptakan ruang-ruang afirmasi bagi kelompok yang selam aini tereksklusi dalam pengambilan kebijakan,” ujarnya.
Menurut Justin, dari kenyataan yang ditemuinya di lapangan jika ada afirmasi maka pemberdayaan itu akan terasa. Dan pada perempuan yang mengalami penguatan akan menunjukkan sumbangsih yang nyata dalam pembangunan. Dengan kata lain peningkatan kapasitas perempuan akan menghasilkan kepemimpinan yang bermakna.
Perempuan yang sudah mendapatkan penguatan kapasitas, ujarnya, memberikan pengaruh positif dalam pengambilan kebijakan mulai dari tingkat desa hinga ke tingkat nasional. Ditambahkan, jika kelompok ini mendapatkan akses yang setara dengan kelompok lain yang selama ini mendapatkan segala macam privilege, maka mereka akan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Konsisi yang sama juga diharapkan diberlakukan kepada kelompok disabilitas. Maulani Rotinsulu dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) mengatakan, yang dibutuhkan oleh kelompok disabilitas adalah afirmasi menuju kesetaraan dan bukan keisitimewaan.
Sayangnya yang terjadi selama ini adalah kelompok disabilitas tidak berada dalam posisi setara. Mereka diposisikan sebagai kelompok yang harus diberi bantuan. Dan, system ini justru meghasilkan opresi berlapis kepada mereka.
“Padahal bukan itu yang dibutuhkan. Mereka hanya membutuhkan kesempatan yang sama dengan yang lain,” ujarnya.
Maulani berharap dengan posisi Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 menjadi blessing disguise bagi kelompok disabilitas yang selama ini tidak pernah dilirik oleh pemimpin negera-negara G20.
Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi yang Komprehensif dan adil
Tidak hanya itu, kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi permasalahan yang belum bisa dientaskan sampai saat ini. WHO menyebutkan satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan.
Mengutip data dari Komnas Perempuan, mengatakan tahun lalu hampir 300 ribu laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut kemungkinan dapat bertambah karena banyak korban yang tidak melapor atau tidak memiliki akses untuk melapor. Data ini menunjukkan pentingnya upaya penghapusan diskriminasi dalam mencapai kesetaraan gender.
Nanda Dwinta dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menegaskan gender bukan hanya sekadar hak kesehatan reproduksi (HKSR) bagi perempuan. Bahkan lebih parah, ada yang memandang HKSR hanya semata masalah klinis.
Ia menegaskan, HKSR adalah cara berpikir. Proses reproduksi, bukan semata tanggung jawab perempuan, ada peran laki-laki di sana. Sehingga laki-laki juga harus dilibatkan dalam setiap tahapannya.
Nanda mencontohkan untuk menurunkan angka kematian bayi yang masih sangat tinggi 305 per 100.000 penduduk (angka normal 70 per 100.000 penduduk), tidak bisa hanya dibebankan kepada perempuan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan mencegah perkawinan anak yang untuk itu dibutuhkan keterlibatan laki-laki dan juga Negara.
Nanda berharap, dengan dijadikannya arsitektur kesehatan global sebagai isu prioritas di Presidensi G20 maka akan terwujud pemenuhan kesehatan reproduksi yang komprehensif, adil dan terjangkau untuk semua.