Disertasi Rieke Diah Pitaloka: Perempuan Desa Makin Marjinal Akibat Tak Akuratnya Data

Politikus Rieke Diah Pitaloka menulis soal pentingnya akurasi data yang dikeluarkan pemerintah. Disertasi Rieke mengungkap banyaknya data semu pemerintah yang merugikan masyarakat desa karena tidak bisa diverifikasi.

Politikus perempuan, Rieke Diah Pitaloka dinyatakan lulus dalam sidang promosi doktor Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) pada Rabu (25/5/2022) lalu.

Dalam disertasinya bertajuk “Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan” Rieke mengungkap adanya data semu (pseudo) mengenai pedesaan yang dihasilkan pemerintah secara top down yang lantas digunakan untuk merumuskan kebijakan.

Dalam keterangannya, Rieke menyebut data yang direproduksi pemerintah tidak aktual. Penelitian Rieke mengungkap bahwa data yang direproduksi negara selama ini tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi.

“Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat dan relevan (pseudo data),” ujar Rieke

Rieke pun menyebut pemerintah telah menggunakan data semu ini sebagai landasan kebijakan soal desa. Langkah ini dinilai dapat berdampak pada marginalisasi berkesinambungan negara pada masyarakat desa utamanya pada perempuan. Minimnya integrasi data spasial dan numerik menyebabkan data yang sulit dikonfirmasi, diverifikasi dan divalidasi di lapangan.  

Pada disertasinya berjudul “Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan” ini, ia mengambil studi kasus terhadap tiga desa di Indonesia yaitu Desa Sibandang, Desa Pantai Bakti dan Desa Tegallalang. Salah satunya mengkonfirmasi bahwa semakin semu (tidak valid) data yang digunakan bisa menyebabkan masyarakat pedesaan semakin termarjinalkan. Terlebih bagi kalangan perempuan yang selama ini mengalami diskriminasi berlapis. 

“Semakin kuat pseudo kebijakan publik dan otoritas, semakin buruk perencanaan, pemrograman, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kebijakan publik,” ungkap Rieke dalam abstrak disertasi yang diterima Konde.co, Jumat (27/5/2022). 

Tentu saja kita masih ingat banyaknya data penduduk fiktif pada bantuan sosial (bansos) yang pernah ramai di masa pandemi sekitar akhir tahun 2021 lalu. Dalam Rilis Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semester I per 18  Agustus 2021 disebutkan, data jumlah penduduk fiktif penerima Bansos mencapai 52,5 juta jiwa. 

KPK mencatat potensi kerugian keuangan negara dari keberadaan data penduduk fiktif tersebut sekitar Rp 126 triliun. Uraian di atas menunjukkan adanya masalah serius pada kredibilitas dan integritas institusi negara yang memproduksi dan menggunakan data perdesaan. 

Tak hanya itu, permasalahan soal data juga sempat terjadi pada data penerima vaksin. Per tanggal 21 Januari 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Sensus Penduduk 2020. Ironisnya, sehari setelah rilis BPS tersebut, 22 Januari 2021, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan Azis, mengungkapkan data penduduk penerima vaksinasi Covid-19 justru ditetapkan mengacu pada data pemilih KPU, bukan berbasis data sensus BPS 2020 tersebut. 

Bahkan, Menteri Kesehatan tidak mau menggunakan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) karena dirinya jera atas data dari institusinya yang ia anggap tidak sesuai fakta lapangan, sehingga lebih memilih data dari Komisi Pemilihan Umum/ KPU. 

Fenomena data yang tak akurat itu, tentu tidak bisa dianggap remeh dan lumrah. Jika dikaitkan dengan risiko pemanfaatan data yang tidak benar (OECD, 2019), maka data yang tidak akurat dan tidak aktual jelas berdampak pada mata rantai kekeliruan dan kualitas kebijakan publik. 

Waspada Data Jadi Perpanjangan Kekerasan hingga Objektifikasi

Secara lebih luas, data semua yang banyak digunakan pemerintah sebagai landasan kebijakan publik ini, Rieke melanjutkan, bisa dikatakan berpotensi terjadinya kekerasan simbolik negara yang mengatur, memaksa, bahkan bisa merekayasa. Lebih parahnya, data justru jadi dalih penguasaan atas sumber daya publik di tangan korporasi maupun birokrasi. 

Ini jelas berbeda dengan fungsi data semestinya yang harusnya bisa menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil masyarakat serta potensi di pedesaan. Sehingga, seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat desa yang menjadi barometer terkecil pertumbuhan negara. 

“(Perlunya) Bagaimana membangun sistemik kebijakan publik berdasarkan pendataan desa berbasis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga memungkinkan lebih banyak ruang untuk komunikasi dan partisipasi penduduk desa,” katanya. 

Rieke menekankan, data negara sebetulnya adalah kumpulan dari data-data pedesaan. Baik itu tentang ruang, waktu, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Namun sayangnya, peran penting data desa ini seringkali masih diabaikan akurasi dan aktualisasinya. Mirisnya, masyarakat desa selama ini bahkan juga masih banyak yang digunakan sebagai ‘objek’.

Alih-alih, masyarakat desa berperan aktif sebagai subjek yang menggambarkan sistem pendataan yang akurat dan aktual sesuai kebutuhannya. Maka dari itu, negara harus berbenah untuk mendorong partisipasi masyarakat hingga bisa menghasilkan kebijakan afirmatif. 

Setidaknya ada tiga muatan dalam kebijakan afirmatif seperti kemampuan bergerak maju berbasis potensi sendiri, kemampuan memenuhi kebutuhan diri, kemampuan berdiri sendiri. Dengan kata lain, kemampuan desa itu memberdayakan dirinya melalui kebijakan publik berbasis data yang komprehensif. 

.“Makanya saya merekomendasikan agar dibuka ruang komunikasi dan partisipasi warga yang luas, mendalam, dan berfokus,” imbuhnya.

Di akhir, Rieke juga menyebutkan gagasan Big Data from Bottom Up dari Couldry (Couldry & Mejias, 2018), maka kehadiran intelektual kolektif semestinya juga bisa memiliki peranan penting dalam merumuskan perlawanan terhadap bentuk kolonialisme baru —data yang digunakan untuk kepentingan birokrasi dan korporasi semata— yang bekerja melalui data.

Perbaikan data menurutnya, perlu kerja keras dan komitmen bersama. Selain itu, revisi Undang-undang Statistik tahun 1997 juga diperlukan untuk menyesuaikan kondisi politik dan perkembangan teknologi pengetahuan terkini.

“Perbaikan kebijakan politik pendataan berbasis pada good corporate governance merupakan kebutuhan yang mendesak,” pungkasnya.

Melalui penelitian data ini, Rieke meraih gelar doktor di FISIP UI, yang dipromotori Dr. Hendriyan serta kopromotor Dr. Eriyanto dan Dr. J. Haryatmoko. Sementara, Ketua Sidangnya ada Prof. Semiarto Aji Purwanto dengan penguji Yanuar Nugroho, Sofyan Sjaf, Arie Sujito, dan Endah Triastuti.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!