Dwi Pertiwi: Anakku Terapi Ganja Karena Sakit, Tapi Negara Melarangnya 

Dwi Pertiwi adalah orang tua tinggal yang harus berjuang merawat anaknya, Musa karena terkena celebral palsy. Kondisi Musa membaik setelah melakukan terapi ganja, tapi Pemerintah Indonesia melarang penggunaan ganja. Dwi Pertiwi menggugat ke Mahkamah Konstitusi sampai Musa kemudian meninggal dunia.

Sebagai ibu dan orangtua tunggal, Dwi Pertiwi punya momok besar ketika anaknya, Musa Ibn Hassan Pedersen divonis terkena cerebral palsy.

Musa bisa kejang, kondisi kejang ini layaknya stroke pada orang dewasa yang hampir selalu menimbulkan kerusakan atau bahkan kematian sel-sel tubuh termasuk sel otak. Itu sebabnya, setelah kejang, Musa seperti kehilangan sebagian memorinya atau fungsi otaknya.

Pada orang biasa mereka punya banyak memori sehingga setelah stroke maka masih akan ada memori yang tersisa. Sementara pada anak dengan cerebral palsy sejak lahir, maka memori itu semakin sedikit. Sehingga butuh terapi.

“Sehabis kejang, semua apa yang telah kita latih jadi hilang,” ujar Dwi.

Parahnya, pada penderita cerebral palsy kejang ini sangat sering terjadi. Bahkan bisa satu minggu sekali dan setiap habis kejang ada sel-sel otak yang mati. Sehingga makin lama kondisinya makin turun.

Dwi mengisahkan, awalnya Musa masih bisa duduk, tapi makin lama kondisinya semakin turun, hingga akhirnya menyerupai bayi yang hanya bisa tergolek di tempat tidur. Dwi lantas menggunakan terapi ganja untuk Musa.

Sebelumnya, Dwi bingung karena belum menemukan obat yang bisa mencegah agar penyintas cerebral palsy tidak kejang. Yang ada hanyalah obat untuk mengatasi saat anak sudah kejang, padahal seperti yang telah ia ceritakan sebelumnya, efek dari kejang ini sangat buruk bagi kondisi sang anak.

Obat-obatan ini juga memiliki efek samping terhadap anaknya. Dari pengalaman selama 1,5 bulan Musa menggunakan obat kimia, efek buruk yang dilihatnya sangat terasa.

“Gusinya sampai bengkak. Dan jika sering digunakan, bisa mengakibatkan kecanduan. Obat-obat itu juga tidak mengurangi intensitas kejang, padahal yang dibutuhkan adalah obat yang mampu mengontrol kejang,” tegas Dwi.

Dwi lantas mencari-cari informasi kemungkinan adanya zat-zat yang bisa membantu mengobati penyakit Musa. Dari browsing sana-sini, Dwi akhirnya menemukan zat bernama cannabinoid.  Zat ini sebenarnya juga diproduksi tubuh secara alamiah untuk membantu mengatur konsentrasi, nafsu makan, gerak tubuh, rasa sakit hingga sensasi pada panca indra.

Di alam, zat ini dapat ditemukan pada ganja. Varian cannabinoid yakni THC (Delta-9-tetrahydrocanibol) dan cannabidol/CBD bisa ditemukan dalam daun, batang dan biji ganja. THC merupakan senyawa yang bisa membuat seseorang mabuk atau high, dan ini dipercaya bisa membantu penyintas cerebral palsy.

Tapi hingga kini pemerintah masih melarang penggunaan ganja baik untuk kepentingan rekreasi ataupun medis. Sehingga Dwi tidak bisa menggunakan ganja untuk menerapi Musa.

Dwi ketika itu memutuskan untuk tinggal sementara di Australia karena Pemerintah Australia melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis sejak tahun 2016. Pada tahun yang sama Dwi memboyong Musa kesana. Di sana, Musa menjalani terapi dengan menggunakan ganja.

“Aku bikin semacam incent, aku smoke saja kamarnya. Dengan cara ini Musa bisa tidur lebih nyenyak. Sebelumnya dalam semalam, Musa bisa terbangun 2-3 kali. Dengan terapi ini, Musa bisa tidur sampai pagi,” terangnya.

Terapi ganja ini juga membuat kondisi Musa membaik. Dahak di dalam paru-parunya berkurang signifikan, periode kejangnya semakin jarang dan muscle tone (ketegangan otot yang biasa dialami penyintas cerebral palsy) juga berkurang atau semakin rileks.  

Namun saat Dwi kembali ke Indonesia, metode ini tak bisa dilanjutkan karena penggunaan ganja dilarang. Meski sudah berulang kali mengajukan permohonan, upayanya menemui jalan buntu. Ia tetap tak bisa menggunakan ganja untuk terapi Musa, meski manfaatnya nyata terlihat.  

Perjuangan Merawat Anak dengan Celebral Palsy

Dwi Pertiwi adalah orang tua tinggal yang harus berjuang sendirian merawat anaknya. Ia juga distigma bahwa cerebral palsy terjadi karena karma dari perbuatan Dwi di masa lalunya. Kondisi itu, membuat anaknya, Musa, mengalami hambatan tumbuh kembang.  

Seperti ribuan orang tua lainnya dengan anak cerebral palsy, Dwi menyatakan tak mudah menjalani hidup. Kualitasnya hidupnya menurun drastis. Bagaimana tidak, sepanjang waktu perhatiannya tak boleh lepas dari Musa 

“Mereka (orang tua) harus siap bangun kapanpun selama 24 jam. Mereka harus sabar merawat anaknya yang hampir seluruh hari dan kegiatannya butuh bantuan orang lain,” ujar Dwi yang ditemui Konde dalam diskusi film dokumenter ‘Atas Nama Daun’ di kawasan Bintaro,  pada Selasa (19/4) lalu. 

Dwi mengisahkan, saat berusia 40 hari Musa menderita pneumonia. Tapi, dokter yang merawat salah mendiagnosa sehingga pneumonia ini menyebar ke otak Musa. Musa akhirnya terserang meningitis yang lantas memicu cerebral palsy.

Dalam beberapa kasus, cerebral palsy juga menyerang anak-anak yang sebelumnya tumbuh normal. Cerebral palsy juga bisa terjadi saat anak masih dalam kandungan. Tapi, hingga saat ini dunia medis belum mampu menguak bagaimana cerebral palsy ini menyerang janin yang masih dalam kandungan. 

Musa meninggal akibat komplikasi cerebral palsy satu tahun lalu. Saat itu usia Musa baru 16 tahun. Kehilangan Musa menjadi salah satu momen terberat dalam hidup Dwi. Ia butuh waktu enam bulan sebelum akhirnya bisa move on dan bangkit kembali seperti sediakala.

Namun demikian, Dwi merasa beruntung saat Musa meninggal ia berada di samping anak semata wayangnya. Ia juga merasa bersyukur telah melakukan segala upaya terbaik untuk Musa yang menderita cerebral palsy.

Dwi yang sehari-hari berprofesi sebagai petani dan guru permakultur ini mengatakan, tak semua perempuan dengan anak cerebral palsy seberuntung dirinya. Merawat anak dengan cerebral palsy, lanjutnya, tak hanya menyita energi ekstra tapi juga membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Mengapa bisa demikian? Penderita cerebral palsy biasanya akan mengalami gangguan pada otak dan fungsi saraf. Sehingga mereka akan mengalami gangguan fungsi otot, koordinasi gerak tubuh, gangguan intelektual, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan dan kemampuan berbicara.

Cerebral palsy juga dapat menyebabkan penderitanya tidak bisa berjalan dan menggerakan bagian tubuhnya dan butuh peralatan khusus untuk bisa beraktivitas. Pada kondisi terburuk, cerebral palsy dapat menyebabkan kelumpuhan sehingga butuh perawatan seumur hidup.  

Penyintas cerebral palsy sebenarnya bisa tumbuh mendekati normal jika diintervensi sedini mungkin. Namun, dalam banyak kasus, penyintas cerebral palsy terlambat mendapatkan penanganan sehingga mereka tidak bisa disembuhkan.

Santi Warastuti

Kondisi inilah yang membuat berat para orang tua dengan anak penderita cerebral palsy, karena anaknya butuh didampingi setiap hari selama 24 jam. Selain itu harga alat dan biaya pengobatan bagi penyintas cerebral palsy tidaklah murah, padahal banyak anak dengan cerebral palsy terlahir di keluarga kurang mampu.

“Banyak perempuan lain yang harus meninggalkan anaknya sendirian di rumah, karena mereka tak mampu membayar pengasuh. Sementara mereka harus tetap bekerja untuk melanjutkan hidupnya dan tidak ada keluarga yang bisa dititipi anaknya. Tak sedikit anak dengan cerebral palsy meninggal saat ditinggalkan sendirian,” lanjut Dwi.

Tantangan lainnya, adalah stigma masyarakat yang masih menganggap cerebral palsy adalah akibat karma dari kedua orang tuanya. Sehingga tidak sedikit orang tua dengan cerebral palsy yang harus berjuang sendirian tanpa dukungan dari masyarakat sekitar atau bahkan dari keluarganya sendiri.

Minimnya sarana pengobatan dan mahalnya alat bantu hidup seperti walker, kursi roda, dan tempat mandi menjadi tantangan lain yang harus dihadapi para orang tua dengan anak penyintas cerebral palsy.

“Kursi roda Musa harganya sama dengan harga satu mobil, siapa yang mampu beli” cetus Dwi.

Gagal Gugat ke MK, Bukan Berarti Perjuangan Usai

Pada 2020, Dwi bersama dua perempuan lain yang juga memiliki anak dengan cerebral palsy mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk merevisi Undang-undang Narkotika (UU nomor 35 tahun 2009) agar melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan.

Sayang, tanggapan dari pengadilan kurang memuaskan. Yang bikin dirinya kecewa, saat wakil pemerintah bilang, orang tua itu tahu apa kok tiba-tiba menggunakan ganja. 

Dwi menegaskan, para ibu yang setiap hari selama 24 jam mendampingi anaknya yang menderita cerebral palsy lah yang lebih tahu perubahan-perubahan yang dialami anak-anaknya.

“Tahu apa mereka tentang efek samping dari obat-obatan yang diresepkan dokter kepada anak-anak kami. Yang tahu side effect dari obat-obatan itu kami. Yang aku belum lihat itu side effect dari ganja. Mereka tak punya hak ngomong seperti itu karena mereka belum mengalami punya anak seperti Musa,” tegasnya.

Ia menyayangkan sikap abai para pengambil kebijakan ini. Dwi menilai pemerintah telah merampas hak asasinya sebagai warga untuk mendapat kehidupan yang layak yang seharusnya dijamin UUD. 

Haknya sebagai ibu untuk mengupayakan kehidupan yang layak dalam hal ini pengobatan terbaik untuk anaknya yang menderita cerebral palsy sudah dirampas Negara. Orang-orang yang seharusnya melindungi dan menjamin hal itu malah menutup mata dan bahkan menghalangi pengobatan untuk anaknya.

Meski tidak membuahkan hasil, Dwi bertekad akan terus berjuang. Meski Musa sudah tiada, masih ada ribuan nasib anak penyintas cerebral palsy yang membutuhkan pengobatan.

“Selama ganja belum mendapatkan hak yang setara dengan tanaman lain di bumi, aku tidak akan berhenti berjuang. Ini untuk teman-temannya Musa,” pungkasnya.

(Foto: Facebook)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!