Klinik Hukum Perempuan: Apakah Pelaku Kekerasan Dalam Pacaran Bisa Dihukum?

Jika kamu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, apakah hukum di Indonesia bisa menyelesaikannya? Apa yang bisa kamu lakukan untuk menuntaskan perlakuan mantanmu yang menjadi pelaku kekerasan?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerjasama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. Untuk edisi ini akan dibahas soal Sanksi hukum bagi pelaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Tanya: Hallo kak, saya baru saja menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Pacar saya sering kasar dan terakhir ia meninggalkan saya dan berselingkuh. Apakah ada hukumnya untuk mengurus kekerasan dalam pacaran di Indonesia kak? Apa yang harus saya lakukan? (Rina, Jakarta)

Jawab: Halo Rina, terkait dengan permasalahan kekerasan dalam berpacaran (KDP), kamu bisa melaporkan mantan pacar yang melakukan KDP ke polisi. Apa dasar hukum yang dapat digunakan untuk menjerat mantan pacar anda tersebut? Karena kamu tidak menjelaskan bentuk kekerasan yang dialami secara mendetail, maka saya akan menjabarkan beberapa bentuk KDP yang secara umum banyak dialami oleh perempuan muda/dewasa, misalnya kekerasan fisik, psikis dan seksual. 

Jika kekerasan fisik yang kamu alami, maka kamu bisa melaporkan mantan kamu ke polisi dengan dugaan penganiayaan, jika kekerasan psikis yang kamu alami, maka kamu bisa melaporkan mantan pacar kamu dengan dugaan perbuatan tidak menyenangkan (sekarang: pemaksaan dengan kekerasan dan ancaman) dan juga bisa secara perdata dengan mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) sebagai Penggugat di Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili/tempat tinggal pelaku selaku Tergugat, dan untuk kekerasan seksual, maka dapat dilaporkan dengan dugaan tindak pidana kekerasan seksual.

Sebelum membuat laporan polisi terkait dengan KDP yang kamu hadapi, siapkan terlebih dahulu kronologis kejadian dan bukti-bukti. Selain itu, sebaiknya kamu juga membangun support system terlebih dahulu sehingga mendapatkan dukungan dan pendampingan. Support system yang dibutuhkan adalah dukungan dari pihak-pihak lain untuk menguatkan kamu baik secara psikologis, keamanan diri dan substansi laporan pada saat berhadapan dengan polisi dan juga kemungkinan ancaman dari pelaku. Hal ini penting karena kebanyakan polisi belum memiliki perspektif gender dan masih melihat KDP sebagai persoalan personal dan secara hukum, KDP belum diatur secara khusus sehingga masuk dalam delik aduan yang artinya hanya bisa dilaporkan/dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. 

Lalu siapakah pihak-pihak yang dapat memberikan dukungan dan bantuan untuk membantumu dalam menyelesaikan persoalan KDP secara hukum? Pihak-pihak yang dapat menjadi support system adalah (misalnya) keluarga, sahabat dekat, guru/dosen, lembaga layanan konseling bagi perempuan korban kekerasan, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang juga secara khusus memberikan pendampingan hukum bagi perempuan korban kekerasan. 

Jika kamu ingin mendapatkan bantuan pendampingan hukum dari kantor hukum professional pun tentu saja bisa, tetapi pastikan terlebih dahulu bahwa advokat/ kantor hukum yang kamu pilih untuk mendampingi kamu harus memiliki perspektif gender mengingat nantinya kamu harus berhadapan dengan aparat penegak hukum yang kebanyakan masih bias gender dan mengabaikan pengalaman perempuan.

Terkait dengan pertanyaan kamu apakah ada aturan hukum yang mengurus KDP? Dapat saya jelaskan bahwa secara khusus hingga sekarang, belum ada aturan hukum yang mengatur KDP. Namun, ada banyak dasar hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pacar kamu yang suka melakukan KDP sebagai berikut:

1.Penganiayaan 

Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penganiayaan dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia. Dalam Pasal 351 KUHP, disebutkan oleh R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, bahwa undang-undang tidak memberi pengertian tentang “penganiayaan”. Tetapi menurut yurisprudensi, yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh mengenai apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”, yakni:

1.“Perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2.“Rasa sakit” misalnya mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3.“Luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

4.“Merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

Penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP ini dinamakan “penganiayaan biasa”. Diancam hukum lebih berat, apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “luka berat”, kita merujuk pada komentar R. Soesilo terhadap Pasal 90 KUHP. Luka berat atau luka parah ialah antara lain:

1.Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat;

2.Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat;

3.Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera, misalnya penglihatan, pencium, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit. Orang yang menjadi buta satu mata atau tuli satu telinga, belum masuk dalam pengertian ini, karena dengan mata dan telinga yang lain ia masih dapat melihat dan mendengar;

4.Kudung (rompong) dalam teks bahasa Belandanya “verminking”, cacat sehingga “jelek” rupanya, karena ada sesuatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya rompong, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya;

5.Lumpuh artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya;

6.Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikiran terganggu, kacau, tidak dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya haris lebih dari empat minggu, jika kurang, tidak masuk pengertian luka berat;

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

Selain ketujuh macam tersebut di atas, menurut yurisprudensi termasuk pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut “luka berat”. Dalam hal ini tiap-tiap kejadian harus ditinjau sendiri-sendiri oleh hakim dengan mendengarkan keterangan orang ahli (dokter), yang dalam prakteknya keterangan itu disebut “visum et repertum”.

Luka berat atau mati di sini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud si pembuat (orang yang menganiaya). Apabila “luka berat” itu dimaksud maka dapat dipidana dengan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat):

(1)Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Akan tetapi, jika perbuatan yang dilakukan oleh pacar anda tidak menjadikan sakit atau berhalangan melakukan pekerjaan anda, maka perbuatan pacar Anda dapat dipidana sebagai penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP):

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

2.Perbuatan Tidak Menyenangkan

Disebutkan oleh kamu bahwa mantan pacar kamu sering kasar, jika kasar yang dimaksud adalah perkataan kasar seperti makian, ancaman ataupun kata-kata yang merendahkan sehingga menimbukan luka batin atau berdampak secara psikologis kepada kamu seperti perasaan marah, sedih, takut, merasa direndahkan, merasa terteror dan lain-lain, maka apa yang dilakukan oleh mantan pacar anda itu telah melanggar hukum, berupa bentuk perbuatan yang tidak menyenangkan. 

Terkait perbuatan tidak menyenangkan ini, kamu dapat melaporkan ke polisi dengan menggunakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Rumusan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP yang tadinya mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan menjadi berbunyi: Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, Denda pada pasal ini dilipatgandakan 1000 kali sehingga menjadi maksimal Rp4,5 juta sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Perlu kamu ketahui, perbuatan tidak menyenangkan ini merupakan delik aduan, oleh karenanya, perbuatan mantan pacar kamu hanya dapat dituntut atas pengaduan kamu sebagai pihak yang dirugikan.

Sebagai tambahan informasi, jika perbuatan mantan pacar kamu tersebut dilakukan melalui sosial media atau secara elektronik, maka mantan pacar anda dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan pasal-pasal sebagai berikut:

1.Pasal 29 jo. Pasal 45B. Pasal 29 UU ITE. 

-Pada pasal 29 disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”. 

-Pada pasal 45B disebutkan bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Dalam kasus ini, kiamu dapat melaporkan mantan pacar kamu ke Polisi dengan data-data yang ada di dalam media sosial atau secara elektronik. Misalnya data screenshoot dari whatsappfacebookInstagramtwitter, dan lain-lain.

3.Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022, maka korban kekerasan seksual dalam relasi pacaran dapat menggunakan UU TPKS ini untuk menjerat pacar pelaku kekerasan seksual. Lingkup relasi kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS ini meliputi peristiwa Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya. Dalam konteks kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi pacaran, masuk dalam lingkup relasi personal.

Terkait dengan definisi kekerasan seksual istilah hukum yang digunakan dalam UU TPKS ini adalah “Tindak Pidana kekerasan Seksual” yang dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual adalah: 

“Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.”

Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dimaksud atau diatur dalam UU TPKS ini disebutkan pada Pasal 4 ayat (1) huruf a-i, yakni: 

  1. pelecehan seksual nonfisik; 
  2. pelecehan seksual fisik;
  3. pemaksaan kontrasepsi; 
  4. pemaksaan sterilisasi; 
  5. pemaksaan perkawinan; 
  6. penyiksaan seksual; 
  7. eksploitasi seksual; 
  8. perbudakan seksual; dan 
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik. Sedangkan yang dimaksud dengan korban tindak pidana kekerasan seksual dijelaskan pada Pasal 1 ayat (4), yakni:

“…… adalah orang yang mengalami penderitaan frsik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial yang diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

Demikian Rina penjelasan saya, semoga penjelasan ini dapat membantu kamu di dalam mencari keadilan atas tindakan KDP yang dilakukan oleh mantan pacar kepada kamu

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) 

Referensi: R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!