Man Box: Laki-Laki Juga Terkena Toxic Masculinity di Dunia Kerja

Tak hanya perempuan, laki-laki juga mengalami toxic masculinity di dunia kerja. Mereka distereotipe kan dalam man box sebagai orang yang tak boleh lemah, harus kuat, tak boleh mengeluh dan hal-hal lain yang bersifat toksik dan tak manusiawi.

Di dunia kerja, pernah gak sih kamu mendengar beberapa kalimat sejenis ini terlontar dari rekan kerja atau bosmu? Atau justru kamu pernah mengalaminya langsung?

“Karena ini menyangkut kelangsungan perusahaan, laki-laki seharusnya bisa dong untuk memimpin”

“Pimpinan laki-laki itu harus berwibawa dan tegas”

“Pekerjaan ini berat, ya udah kamu aja laki-laki yang ngerjain ya!”

“Laki-laki dong yang angkat galon, perempuan gak akan kuat!”

Jika kamu menjumpai komentar dan perlakuan seperti ini di lingkungan kerja, artinya di tempat kerjamu masih ada normalisasi toxic masculinity. Kondisi ini menggambarkan tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara-cara tertentu. Biasanya, mereka dikaitkan dengan nilai-nilai (konstruksi sosial)  yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. Misalnya menunjukkan kekuasaan, kekuatan, sampai pantang mengekspresikan emosi. 

Sikap toxic masculinity ini juga bisa tergambar pada anggapan bahwa laki-laki tidak boleh mengerjakan apa yang selama ini seolah dilekatkan dengan aktivitas yang dilakukan perempuan. Seperti, mengerjakan pekerjaan domestik atau pengasuhan anak, memasak dan lainnya. 

Padahal kan, itu semestinya jadi keterampilan dasar (basic skill) untuk hidup yang semua gender perlu bisa. 

Seorang laki-laki pekerja, Iqbal (28), pernah mengalami kondisi toxic masculinity tersebut. Dia yang seorang ayah dari satu anak mengaku tak jarang diejek hanya karena dia pulang cepat dari kantornya. Padahal kala itu, dia perlu segera pulang karena anaknya yang masih bayi dan dia ingin bergantian menjaga anaknya bersama istri. 

“Suka diceng-cengin (diejek), alasannya (kata mereka), kan anak urusan istri,” ujar Iqbal menirukan rekannya ketika berbincang dengan Konde, Rabu (18/5/2022). 

Iqbal menyadari betul, apa yang diucapkan sekitarnya soal mengurus anak itu hanya urusan perempuan adalah stigma yang salah. Itu sama pula dengan pandangan bahwa mengerjakan pekerjaan domestik adalah tanggung jawab perempuan. Padahal, tidak benar. Laki-laki pun juga harus berperan. 

Bukan saja dirinya, laki-laki kelahiran 1994 itu bilang, normalisasi toxic masculinity yang menganggap laki-laki ‘tak seharusnya’ mengurus dan mengasuh anak itu, juga terjadi terhadap rekan kerja laki-lakinya yang lain. Terlebih, para pekerja muda yang baru menikah dan memiliki anak kecil. 

“Ini bukan ke gue doang yang gue liat, tapi ke teman-teman gue yang lain,” katanya. 

Laki-laki sebagai korban toxic masculinity juga bisa mengalami tekanan mental akibat konstruksi pada laki-laki yang seolah harus menahan ekspresi emosinya. Hal ini juga terjadi ke Iqbal. 

Meski tindakan toxic masculinity yang dia alami itu mempengaruhi kinerjanya bekerja, namun dia “tak diizinkan” untuk mengekspresikan emosinya. Dia lebih memilih untuk menghindar dan sebisa mungkin menarik diri dari situasi yang sudah toksik di lingkungan kerjanya. 

“Kalau bisa dihindari, ya hindari aja, namanya toxic pasti mempengaruhi kinerja, paling kusutnya ke mental,” kata laki-laki yang bekerja di kawasan Jakarta ini. 

Apa yang dialami Iqbal adalah satu dari segelintir bentuk-bentuk toxic masculinity yang selama ini masih terus terjadi di dunia kerja. Di lingkungan patriarki yang menganggap laki-laki “lebih superior”, banyak menyebabkan tuntutan-tuntutan terhadap laki-laki yang nyatanya juga merugikan dirinya. Sebab mesti mengikuti standar sosial yang toksik. 

Hasil Survei Perkumpulan Perusahaan untuk Pemberdayaan Perempuan di Indonesia atau Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) per Februari 2022 menemukan, tingginya toxic masculinity yang hingga kini masih langgeng di dunia kerja. 

Sebanyak 896 responden dari seluruh perusahaan di Indonesia terlibat dalam survei itu. Adapun komposisinya sebanyak 59,4% perempuan,  40% laki-laki dan 0,2% tidak menyebutkan. Mayoritasnya sebanyak 55% bekerja sebagai karyawan swasta. 

Dari survei itu, toxic masculinity terhadap peran laki-laki dalam pekerjaan ditemukan masih tinggi terjadi. Sebanyak 53% laki-laki setuju dan 63% setuju bahwa laki-laki dirasa lebih aman untuk bekerja lembur dan pulang larut malam bahkan sampai dini hari. Sementara, 66% laki-laki setuju dan 59% perempuan setuju bahwa laki-laki lebih pantas untuk melakukan pekerjaan berat atau kerja fisik. 

Ada pula anggapan bahwa laki-laki harus selalu bisa mengambil keputusan dalam pekerjaannya. Sebanyak 75% laki-laki setuju dan sebanyak 69% perempuan setuju atas hal itu. 

Secara lebih luas, sikap laki-laki di lingkungan yang toxic masculinity itu, juga dituntut untuk selalu kuat fisik dan mental. Sebanyak 86% laki-laki setuju dan 77% perempuan juga setuju. 

Laki-laki Perlu Keluar dari ‘Man Box’

Scientific American mengibaratkan toxic masculinity itu paling tepat digambarkan sebagai sebuah ‘kotak’. Kotak laki-laki (man box) ini kemudian diidentikkan dengan situasi yang sempit, kaku dan laki-laki harus menempatkan diri agar muat di dalam box itu. 

Laki-laki itu dibentuk sedemikian rupa mengikuti box yang selama ini menjadi seperangkat standar dan keyakinan sosial. Bahwa laki-laki harus berperilaku begini-begitu yang menunjukkan sisi maskulinitasnya. Laki-laki juga seringkali ditekan untuk tak dapat mengekspresikan emosinya dengan dalih “laki-laki gak boleh cengeng, laki-laki harus kuat”. 

Maka untuk bisa mengikis toxic masculinity dari diri laki-laki, maka kesadaran laki-laki untuk bisa keluar dari ‘Man Box’ itu bisa dibangun. Hingga akhirnya, bisa membuat perubahan lebih luas lagi di lingkungan sosial laki-laki itu ada. 

Hal itu sejalan dengan ulasan soal Toxic Masculinity #takeaway di Healthline bahwa sebetulnya tidak ada jawaban tunggal untuk mengatasi masalah maskulinitas yang beracun itu. Perubahan sosial harus lebih dulu dijalankan dengan kesadaran diri dan upaya menghapus segala bias serta stigmatisasi terhadap identitas gender sampai kesehatan mental. 

“Jangan menyalahkan diri sendiri tentang tindakan masa lalu, fokuslah pada posisi saat ini dan bagaimana bergerak maju,” tulisnya. 

Selain itu, laki-laki juga mulai bisa membangun komunikasi dan dialog di lingkungannya soal toxic masculinity yang barangkali selama ini tak disadari berlangsung. Lakukan dengan komunikasi asertif (jujur dan tegas), alih-alih bersikap defensif (menyangkal). 

Perlu diingat, hal tersebut bisa jadi tidak bisa langsung dilakukan dalam waktu singkat. Sebab butuh proses untuk membangun kesadaran hingga mengubah perilaku. Lakukan dengan konsisten dan jangan menyerah. 

Pekerja laki-laki level menengah di perusahaan Jakarta, Hasyim (30), memberikan rekomendasi bahwa pekerja juga perlu mendorong kebijakan kantor agar tidak toksik. Menurutnya, kondisi  masih melanggengkan toxic masculinity di lingkungan kerja bisa dikikis dengan aturan dan budaya perusahaan.  

Dia mencontohkan, perusahaan semestinya bisa mengakomodir kebijakan pencegahan atas segala tindakan stereotip dan diskriminasi gender. Termasuk, edukasi soal toxic masculinity di kalangan laki-laki. 

Pekerja laki-laki ataupun perempuan menurutnya, sudah seharusnya pula diberikan kesempatan peluang dan dukungan setara di dunia kerja. Kebijakan yang afirmatif untuk mendorong perempuan bisa optimal berkarya di dunia kerja juga perlu dilakukan. Pasalnya, salah satu yang melanggengkan toxic masculinity selama ini juga bisa disebabkan oleh stigma bahwa perempuan tidak lebih cakap bekerja dan memimpin dibandingkan laki-laki. 

Satu contoh paling sederhana, kata Hasyim, kebijakan haid bagi perempuan di perusahaan yang sampai kini ada yang belum baik dijalankan. Perempuan yang tak dapat jatah cuti haid, tetap dituntut untuk bekerja dengan produktivitas tinggi. Padahal, apa yang dialami perempuan dan laki-laki tentu tidak bisa disamakan. 

“Pas lagi haid terus masuk kerja produktivitasnya dianggap menurun dibandingkan hari biasa, ini kan gak fair kalau dibandingkan sama laki-laki. Makanya harus ada kebijakan khusus (afirmatif) biar pekerja perempuan gak berguguran (resign) juga,” pungkasnya. 

Maka, semua pekerja harus memperjuangkan untuk stop maskulinitas toksik di dunia kerja, ini harus dilakukan dari sekarang

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari VOICE”)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular