Seperti di Neraka: Para Buruh Migran Indonesia Disiksa dalam Penjara di Sabah Malaysia

Sepanjang tahun 2021-2022 Koalisi Buruh Migran Berdaulat menemukan bahwa sebanyak 10% buruh migran Indonesia yang dipenjara di Sabah, Malaysia meninggal karena disiksa dan tidak mendapatkan perlakuan manusiawi. Para aktivis menggambarkan bahwa kondisi di pusat tahanan di Sabah ini seperti dalam neraka.

Aris, seorang buruh migran Indonesia ditangkap bersama 2 anaknya, lalu di penjara di rumah tahanan Tawau, Sabah, Malaysia. Sebelum dibawa ke penjara, Aris dalam kondisi sehat.

Namun kondisi Aris terus memburuk selama di rumah tahanan. Akhirnya Aris dibawa ke rumah sakit. Namun hanya selang waktu 2 jam, Aris kemudian meninggal.

Orang yang membawa Aris mengatakan jika Aris sudah meninggal di dalam tahanan. Anaknya 2 orang berada di tahanan dan dibiarkan begitu saja ketika peristiwa itu terjadi

Nathan, seorang buruh migran Indonesia (40 tahun) juga meninggal di dalam penjara paska ia ditangkap. Nathan adalah penderita down syndrome yang masih dalam kondisi sehat sebelum ditahan di tahanan imigrasi Sabah, Malaysia.

Sejak berada di dalam tahanan itu kondisinya memburuk dan sakit. Ia adalah buruh migran yang ditahan dan dideportase ke Tawau, Malaysia. Selama di penjara ia merasakan sakit, kondisi ini sudah sering dilaporkan ke petugas penjara, tapi petugas tidak mau membawanya ke rumah sakit

Petugas penjara hanya bilang,” Sudah tahankah?.”

Nathan hanya dikasih obat sakit kepala, lalu karena tak dapat menahan sakit, Nathan meninggal. Ia meninggal di dalam penjara  di blok 6 karantina Tawau, Malaysia

Seorang tahanan perempuan menyatakan bagaimana para petugas dan tempat tahanan di Sabah memperlakukan mereka

“Di Tawau, Sabah, Malaysia kami mengalami kesengsaraan, saya merasakan di dalam penampungan, semua penderitaan ada di tempat itu.”

“Situasi di sekitar kematian itu seperti ini, misalnya ketika tahanan sudah mengeluh kesakitan dan mengeluh gatal dan minta obat, petugas menyuruh angkat tangan ke dada. Petugas lalu bilang garuklah ke dada, garuk ke perut, itu obatnya. Kalau sakit di sekitar mulut, tangannya disuruh masuk ke mulut, begitu obatnya, begitu kata petugas,” kata Abu Mufakhir, salah satu periset Koalisi Buruh Migran Berdaulat

Dalam konferensi pers yang mereka lakukan pada Sabtu, 25 Juni 2022, Abu Mufkahir mengatakan, kalau kondisi tahanan sudah sangat parah, mereka baru akan dibawa ke rumah sakit. Para petugas memang dengan sengaja menelantarkan tahanan yang sakit dan membiarkan.

“Tidak ada sarana kesehatan dan dengan sengaja tidak merujuk ke kesehatan, dengan sengaja tak memberikan fasilitas di dalam deportase. Mereka dengan sengaja tiddak memberikan tanggungjawabnya tahanan dan menutup akses dan fasilitas kesehatan.”

Buruh migran lainnya, Suardi Din Syamsudin yang ditahan di Tawau juga meninggal pada Januari 2022 dan keluarganya tidak mendapat penjelasan apapun dari petugas. Suardi meninggal karena disiksa.

Bahkan ada tulisan di surat yang menyatakan bahwa siapapun tidak akan menuntut jika terjadi sesuatu. Dan anehnya, surat ini ditandatangani oleh Suardi yang sudah meninggal.

“Dan yang menandatangani adalah Suardi Din Syamsudin sendiri disitu dinyatakan bahwa jika ia meninggal dia tidak akan menuntut. Orang yang meninggal tandatangan sendiri padahal sudah meninggal. Suardi mendapatkan penyiksaan dari petugas di deportase Tawau dan dipukul ramai-ramai oleh petugas di depan tahanan yang lain dan sengaja dipertontonkan. Almarhum kemudian ditimpuk dadanya dan dihempas batu merah di dadanya. Petugas selalu mengincar dada dan kepala dan mengenakan pipa besi yang dilempar ke tahanan. Suardi dibawa ke rumah sakit ketika badannya sudah tidak bergerak ,lagi,” kata Abu Mufakhir

2 tahun lalu penghukuman seperti ini selalu terjadi, dicambuk dengan rotan dilakukan 1-2 kali, ada yang sampai 6 kali, banyak yang jatuh pingsan di cambukan pertama, biasanya cambukan pertama langsung pingsan, lalu disuruh bangun lagi agar bisa dicambuk lagi.

Sabah adalan sebuah lahan perkebunan sawit di Malaysia dengan 89,5% total produksi di Malaysia yang berlokasi di perbatasan dan terdapat 400 ribu buruh migran yang terdapat disini.  

Dari data terdapat 101 warga Indonesia yang meninggal di tahanan di Sabah yang dideportase tahun 2021 jumlahnya 1262,  tapi ada 101 yang meninggal atau hampir 9-10% meninggal, dan sisanya dideportase. Kondisi ini menunjukkan bahwa pusat tahanan di Sabah, Malaysia sangat berbahaya dan telah membunuh banyak orang.

Koalisi Buruh Migran Berdaulat menemukan dalam risetnya, bahwa sepanjang Maret 2020-Juni 2022 terdapat 10 kali peristiwa deportase masal dan terdapat 2991 buruh migran yang terdeportase . Sebanyak 80% adalah laki-laki, dan 9% adalah anak-anak di bawah umur atau ada 57 anak-anak yang dideportase dari Sabah ke Nunukan. Peneliti dalam riset ini menemui dan bicara dengan 94 deportan dan melakukan aktivitas psikososial juga pertemuan dengan Konsulat Jenderal (Konjen) di Tawau.

Sejumlah tahanan ditahan di deportase di wilayah Sabah ini karena sejumlah alasan seperti mereka menjadi buruh migran yang tidak berdokumen, atau menjadi saksi bagi tahanan lain yang tidak berdokumen. Karena disuruh jadi saksi sama majikan, maka mereka harus mau melakukannya, namun ternyata kondisinya berbalik, mereka harus terus-menerus berada dalam penjara selama menjadi saksi dan tidak dibayarkan haknya oleh majikan.

“Kami juga menjumpai beberapa kasus yang spesifik, ada ibu dan anak yang ditahan lebih dari 4 tahun karena majikan memintanya bersaksi untuk kasus lain TKI yang tidak punya paspor, namun dia kemudian tiba-tiba ditahan dan gaji tidak dibayar, seharusnya 3 tahun itu cukup. Ada juga yang ditahan 2 tahun.  Ada juga yang vonis 14 hari karena PSBB Covid-19, namun dia malah ditahan selama 1 tahun 7 bulan dengan tidak adanya kejelasan. Semua deportan dibebaskan tapi tidak dilepaskan, setelah masa tahanan selesai tapi tetap dipenjara padahal vonis hakim mereka harus keluar,” kata Abu Mufakhir

Kondisi Buruk Tahanan Deportase Perempuan dan Anak

Yang dialami tahanan perempuan tak kalah buruknya. Seorang tahanan perempuan berinisial DPI, di Papar Kimanis, Sabah mengalami keguguran pada 2 Februari 2022. Ia  mengalami pendarahan hebat pada kehamilan 9 bulan.

Ia lalu di bawa ke rumah sakit dan langsung janinnya diangkat. Dan DPI tidak diberitahu apa-apa soal keputusan ini. Ia mengalami trauma yang sangat mendalam

Koordinator Solidaritas Perempuan nasional, Dinda Nissa Yura mengatakan, ada seorang ibu hamil yang sedang hamil 7 bulan. Malam-malam ia pergi ke kamar mandi, kondisi kamar mandi dalam kondisi berlumut,  ia terjatuh dan keguguran.

Ada juga perempuan yang kehamilanya berumur 3 bulan, ia mengalami keguguran, tiba-tiba kakinya sulit untuk digerakkan.

Beberapa perempuan yang ditangkap dalam kondisi hamil lalu melahirkan di rumah sakit, namun ia hanya diberikan waktu 2 hari di rumah sakit, setelah itu ia dibawa ke penjara bersama bayi yang baru lahir.

“Maka disana kondisinya buruk, kamar mandi buruk, makanan buruk dan banyak perempuan dan anak terkena malnutrisi. Ada yang sama sekali tidak mengalami menstruasi di dalam penjara, ada yang sedang mensturasi lalu karena tidak ada pembalut, ia disuruh memakai pakaian yang sobek dan dijadikan pembalut karena tidak diberikan pembalut disana,” kata Dinda Nissa Yura

“Ada anak yang lahir di dideportase, setelah umurnya 4 tahun baru ia bisa keluar bersama ibunya, mereka tidak diberikan susu dan mengalami malnutrisi.”

Kematian paling banyak terjadi di Tawau. Air bersih sedikit, terjadi pengurangan tidur, para tahanan hanya tidur 2-3 jam sehari tidur, buang air besar hanya bisa dilakukan 2-3 kali dalam seminggu karena kondisi air yang sangat terbatas.

“Hampir seluruh deportan dalam riset juga menyatakan bahwa mereka mendapatkan makanan dengan porsi yang sangat sedikit, rasanya hambar, sering basi. Makanan pagi hanya dikasih roti yang sangat kecil, makan siang nasinya kadang basi, lauk tidak ada rasa dan dikirim jam 2 atau 3 sore, para tahanan berada disana agar mereka tetap bertahan karena bertahan hidup,” kata Abu Mufakhir

Praktek ini umum terjadi dan sulit dihindari karena tahanan kekurangan makanan dan kebutuhan dasar inilah yang dimanfaatkan petugas tahanan.

Harga kebutuhan dasar di dalam penjara ini sangat mahal dan tahanan tidak mungkin membelinya. Mie instan dijual dengan harga 50 RM atau Rp. 180 ribu dengan isinya hanya 5 bungkus, padahal di luaran harganya hanya 3,8 RM atau Rp. 24 ribu.

Biskuit dijual dengan harga 40 RM atau Rp. 144 ribu, padahal di luar hanya 6 RM atau Rp. 21 ribu. Begitu juga obat yang harganya 10 kali lipat. Seperti ada kesengajaan bahwa tahanan hanya boleh makan makanan di dalam penjara agar mereka tidak sehat dan cepat meninggal.

Jerald Joseph, aktivis Hak Asasi Manusia Malaysia menanggapi dengan serius soal banyaknya kematian dan dalam jangka waktu yang pendek ini

“Data ini harus dimasukkan ke kedutaan karena ini adalah tugas kedutaan yang harus report apa yang dilakukan polisi dan harus diusut tuntas oleh keduataan.”

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani yang hadir dalam konferensi pers secara daring menyatakan bahwa seluruh situasi yang disampaikan ini masuk ke dalam bentuk penyiksaan, tidak hanya fisik, namun seluruh kondisinya merupakan kondisi yang merendahkan martabat kemanusiaan

“Dan situasi ini buruk yang seharusnya telah dijamin bahwa tidak boleh ada penyiksaan dalam kondisi apapun itu. Situasi bagi perempuan yang dideportase yang tidak tahu kapan keluarnya ini menambah rumit, situasi perempuan lebih rumit lagi yang membutuhkan sanitasi yang tidak diperoleh, belum lagi keguguran dan kondisi melahirkan anak yang tumbuh bersama dengan usia tahanan ibunya dan ada yang dalam kondisi sendirian karena ayah atau ibunya tidak ada lagi di dalam penjara,” kata Andy Yentriyani

Sudah hampir 25 tahun konvensi menentang penyiksaan diratifikasi, namun dari waktu ke waktu kondisi ini masih terus terjadi, perempuan masih menderita dan disiksa di pusat-pusat deportase dan ini akan menjadi isu yang disampaikan ke Komnas Perempuan untuk Pemerintah Indonesia.

Dari riset ini, Koalisi Buruh Migran Berdaulat menyatakan bahwa pemerintah Malaysia harus bertanggungjawab atas semua ini dan Pemerintah Indonesia membantu untuk stop penyiksaan dan pembunuhan ini

“Kepada Pemerintah Sabah kami menyadari bahwa yang ditahan harus diperlakukan manusiawi. Kepada pihak berwenang agar legal dan SDM yang diperlukan agar tidak ada penangkapan yang sewenang -wenang, harus ada azaz pradua tak bersaah dan bantuan hukum bagi tahanan, bantunana makanan dan perlakuan yang layak dan waktu yang harus dipatuhi. Lalu perbaikan fasilitas air, semua mencegah kematian dan penyiksaan. Memberikan kesempatan agar tahanan bisa komunikasi dengan keluarganya dan kesempatan agar bisa komuniaksi dengan keluarga dan bantuan hukum,” kata salah satu aktivis Koalisi Buruh Migran Berdaulat mengakhiri konferensi pers

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!