Gerakan Feminis Milenial di Media Sosial: Gelombang Baru Feminisme di Indonesia

Perjuangan para feminis milenial di media sosial memberikan catatan penting dalam gerakan sosial di Indonesia. Para feminis menyebut ini sebagai gerakan baru dalam gelombang baru feminis, yaitu feminisme di internet.

Aneu Damayanti, aktivis Jaringan Muda Setara menyatakan bahwa ketika ia memulai melakukan kampanye feminisme di media sosial, ia langsung mendapatkan stempel sebagai perempuan berdosa karena punya pemikiran beda, dianggap menunggangi gerakan politik, dan dianggap sok feminis.

Kondisi ini ternyata membuat Aneu kemudian menjadi takut dan was-was: apakah yang ia lakukan selama ini sudah di rel benar atau tidak? Pertanyaan lain apakah jika ia dimaki di media sosial karena kampanyenya ini, apakah ada orang yang akan membelanya?

“Saya kadang mensensor diri dengan anggapan ini. Padahal sebutan feminis ini sangat penting dan mengubah pola pikirku yang selama ini mungkin masih patriarki untuk memperjuangkan masa depan feminis, tapi begitu baru mulai kampanye, langsung distempeli seperti  ini.”

Hal ini terpapar dalam diskusi yang digelar LETSS Talk dan Konde.co dengan judul “Feminis Milenial di Media Sosial” pada 10 Juli 2022

Kalis Mardiasih, feminis muslim mengaku mulai ingin berkampanye feminisme di media sosial sejak ia menjadi panitya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 5 tahun silam di tahun 2017. Sejak itu ia punya keyakinan tentang pentingnya kampanye soal Islam frame work di digital platform.

“Karena saya sejak dulu memang mempunyai ruang untuk bekerja pada sesuatu yang mendomestifikasi perempuan di Islam dan seluruh kemanusiaan perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah yang membahayakan keimanan laki-laki dan eksistensi seluruh dunia.”

Kalis kemudian mendapatkan bahan bacaan dari buku-buku tulisan feminis muslim yang dibacanya seperti buku-bukunya Fatima Mernisi dan para perempuan feminis timur seperti Nawaal Saadawi untuk belajar lebih lanjut tentang apa itu feminisme. Dari buku-buku inilah keinginannya untuk berkampanye di media sosial tumbuh karena pengetahuan seperti ini harus disebarkan ke anak-anak muda.

“Aku belajar dari cerita-cerita ini semua. Literatur Indonesia untuk muslim muda ini sedikit dan terbatas dan yang memegang adalah dunia akademia, dosen-dosen UIN yang bisa mengakses. Maka aku mencoba membacanya.”

Feminisme di Indonesia mengalami perkembangan sangat dinamis akhir-akhir ini. Hal ini tidak terlepas dari dua hal, yaitu situasi sosial-politik yang semakin memberi ruang kebebasan berekspresi dan akses internet termasuk media sosial yang memfasilitasi berbagai artikulasi kebebasan tersebut. 

Salah satu yang paling “muncul” dan berkembang adalah feminisme generasi baru yang merepresentasikan feminisme milenial. Intensitas mereka pada internet dan sosial media berkontribusi pada semakin populernya ide-ide feminisme.

Meski demikian, banyak kelompok yang secara kritis melihat proses pembentukan kesadaran feminis milenial yang terlalu fokus pada internet membuat feminisme  generasi baru dianggap tidak punya basis politik yang solid. Apalagi, kehadiran mereka tidak dalam konteks sejarah opresi yang melibatkan aparatus negara otoriter.

Bagaimana melihat perkembangan feminisme kontempoer yang diwarnai feminisme milenial tersebut? Bagaimana mengkontekstualisasi feminisme milineal dalam sejarah feminisme Indonesia yang panjang sehingga tidak terjadi historical gap yang tidak produktif bagi konsolidasi gerakan feminisme? Diskusi ini menjadi penting di tengah gerakan feminis yang terus berubah dan dinamis.

Dalam feminisme, gerakan internet merupakan gerakan baru. Cyberfeminism menyatakan bahwa perempuan berhak atas hak digital dan diperjuangkan secara digital baik dalam konten maupun akses.

Sebuah manifesto cyborg feminis menjadi jawaban yang melegakan setelah datang berbagai pertanyaan: apakah teknologi sebenarnya membebaskan perempuan atau justru menjerat perempuan?. Donna Haraway, seorang feminis kemudian menuliskan bahwa tekonologi seharusnya membebaskan perempuan, menyongsong masa depan dan memberikan akses kepada perempuan dan kaum marjinal untuk membebaskan kehidupannya.

Mengapa Memilih Kampanye di Media Sosial?

Mengapa para feminis muda kemudian memilih berkampanye di media sosial, jawabannya karena ini merupakan ruang sehari-hari yang mudah mereka jangkau.

Vica Larasati, Direktur Qbukatabu, sebuah platform untuk keberagaman gender dan seksual dalam diskusi ini menyatakan proses panjang yang dialaminya untuk menjadi feminis. Dulu ia pernah tanya bisa gak jika ia jadi presiden? Dijawab, kayaknya enggak bisa karena Vica perempuan, bukan Jawa dan bukan Muslim. Jadi ada banyak tantangan untuk menjadi feminis atau untuk menjadi pemimpin. Lalu di media sosial, ia melihat banyak kampanye yang menyatakan bahwa kita bisa menjadi sesuatu yang kita inginkan. Ia mendapatkan informasi baru soal perjuangan salah satunya di media sosial. Gambaran inilah yang kemudian memberikannya informasi tentang pentingnya kampanye yang dilakukan di media sosial

“Kita sebenarnya sering bertanya, kita feminis gak sih?. Kayaknya kita bukan aktivis terkenal yang turun ke jalan. Diskusi soal feminis apakah penting atau tidak, sampai kesimpulan mendeclare diri sebagai feminis jadi hal penting, dan menginternalisasi feminis dalam diri ini rasanya lebih penting, yang penting menjalankan nilai feminis.”

Noval Auliady, aktivis Jakarta feminist menyatakan senang ketika ia bisa bergabung dengan para feminis muda yang sebagian diketahuinya lewat media sosial. Dari medsos juga, ia bisa memvalidasi orang-orang yang beda-beda dan bisa berdiskusi dengan banyak perbedaan disini, jadi ia kemudian belajar untuk berempati dan menerima perbedaan untuk bagaimana melihat berbagai macam keberagaman ini, dari networking ini, Noval merasa kehadirannya menjadi penting disana

Kalis Mardiasih menyatakan, media sosial terbukti bisa mengkampanyekan isu-isu baru seperti kawin tangkap yang orang lain belum tahu, juga isu kekerasan berbasis gender yang dulu tidak banyak yang tahu. Dari sini ternyata banyak sekali perempuan lain yang jadi follower di media sosialnya. Para follower ini juga bercerita, bahwa mereka jadi bisa punya keputusan penting di hidup mereka setelah mereka membaca poster-poster yang dibaca di medsos. Ini berarti bahwa kampanye yang dilakukan di media sosial bisa memberikan perubahan bagi banyak orang yang hanya kita kenal di dunia maya.

Selain itu lewat kampanye di medsos, para feminis bisa menjaring orang-orang baru yang sebelumnya belum pernah terpapar ide-ide feminisme, kini menjadi terpapar, hal-hal yang sulit dilakukan ketika dilakukan di dunia nyata karena keterbatasan ruang dan waktu

Kampanye Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ RUU TPKS merupakan contoh praktik baik dimana semua bisa disatukan dan mengetahui apa yang dilakukan gerakan lain lewat media sosial

“Dengan advokasi level atas di fraksi balkon dan feminis muda di internet dan yang ada di lapangan menggerakan lapangan untuk demonstrasi, petisi, jadi semuanya merasa bahwa ini adalah isu kita bersama, bukan isu liberal, isu muslim, queer saja, tapi kita disatukan secara universal bahwa ini adalah isu bersama stop kekerasan seksual dan kita sadar bahwa kita tidak bisa sendiri, dan media sosial menyatukan ini.”

Kampanye bersama ini tentunya tidak hanya pada isu ketubuhan, tapi juga isu yang lain seperti isu perubahan iklim, buruh dan isu kehidupan kita sehari-hari.

“Isu tubuh ini bukan isu populer, tapi isu darurat. Isu tubuh ini pertamakali diperjuangkan karena penting karena kita harus merasa aman, jika tidak aman maka kita tidak bisa bergerak. Jadi benar ini diperjuangkan lebih dulu. Seharusnya sekarang kita sudah bekerja karena ini sudah ada aturan yang aman.”

Vica Larasati menyatakan bahwa jika ada ramai-ramai di medsos yang menyatakan bahwa gerakan di medsos ini tanpa basis real, menurut Vica ini salah besar karena bangunan internet ini bangunannya dari dunia nyata dan kemudian dinaikkan ke dunia maya untuk mempercepat. Jadi media sosial lalu berfungsi untuk membuka ruang agar semua orang bisa mengakses dan menyebarkan, jadi fungsinya adalah melakukan konsolidasi yaitu bisa mempertemukan dengan orang-orang baru yang tak sama.

Kalis Mardiasih menambahkan bahwa ini membuktikan jika di dunia maya para feminis bisa melakukan kerja-kerja pengorganisasian dengan menggaet publik untuk membaca ide-ide feminisme

“Jadi perlu kita tahu siapa yang terpapar dan siapa yang sudah kerja-kerja di advokasi pengetahuan dan jaringan. Dari kerja-kerja kita ini kita jadi belajar ekosistem baru, publik baru di internet yang seharusnya diorganisir. Tantangannya yang sebetulnya berat karena tidak saling mengenal, tapi justru ini tantangannya,” kata Kalis Mardiasih

Sejumlah ahli internet memang menyatakan bahwa internet bisa berfungsi sebagai alat komunikasi, konsolidasi, alat untuk mempertemukan bahkan untuk perubahan. Sejumlah gerakan sosial menggunakannya untuk kampanye perubahan seperti melakukan protes atas kebijakan yang tidak memberikan suara pada publik.

Gerakan para feminis muda menjadi salah satu contoh bagaimana perubahan dilakukan dari ide-ide dan informasi agar publik semakin banyak terpapar soal gerakan, feminisme dan problem besar yang dialami perempuan

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!