Tradisi dan Budaya Bugis Mengakui Keberagaman Identitas Gender dan Seksualitas

Identitas gender dan seksualitas tidak berasal dari barat. Suku Bugis mengakui 5 jenis seksualitas dan gender dalam tradisi dan budayanya

Refleksi identitas gender dan seksualitas tidak harus melulu tentang dunia barat atau berasal dari barat. Mari kita tengok dari budaya Suku Bugis di Sulawesi Selatan, Indonesia.

Secara umum, dunia mendefinisikan gender menjadi dua status biologis saja, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun, hal itu tidak terjadi di tanah Bugis.

Setiap suku tentunya memiliki keunikan tersendiri, termasuk Suku Bugis yang mengakui 5 jenis seksualitas dan gender dalam tradisi dan budayanya. Urakne yang berarti laki-laki, Makkunrai yang berarti perempuan, serta tiga jenis gender lain yaitu Calalai, Calabai, dan Bissu.

Lantas, bagaimana Suku Bugis mengidentifikasi ketiga gender tersebut?

Calalaidiidentifikasi sebagai seseorang yang terlahir secara biologis adalah perempuan, namun mengambil peran, berpakaian seperti seorang laki-laki, dan melakukan pekerjaan laki-laki dalam praktik kehidupan sosial.

Yang kedua yaitu Calabai, merupakan kebalikan dari Calalai, seseorang yang terlahir laki-laki namun berperan, berpakaian, dan melakukan pekerjaan perempuan. Nah, uniknya Calalai tidak akan dianggap laki-laki dan tidak diharapkan menjadi laki-laki, dan Calabai juga tidak akan dianggap menjadi perempuan.

Gender terakhir yaitu Bissu, Bissu dianggap sebagai campuran gender laki-laki dan perempuan, namun klasifikasi Bissu sendiri menjadi sebuah perwakilan antara dua spektrum gender dan dianggap makhluk spiritual yang mampu menghubungkan manusia dengan para dewa.

Divergensi Norma, Agama, dan Perspektif Nilai Kebudayaan di Masa Mendatang

Masyarakat Sulawesi Selatan telah lama memiliki toleransi mengenai isu gender dan seksualitas, namun budaya dan tradisi ini kian memudar seiring dengan perkembangan zaman, perubahan nilai, pola pikir, penyebaran agama, serta persekusi dan stigma masyarakat terhadap LGBTQ+ di Indonesia dan membuat keberadaan 5 gender ini tidak diakui, ditolak, tidak mendapat fasilitas HAM yang kuat, membuat mereka tak jarang mengalami diskriminasi sosial dan bahkan pelecehan seksual.

Mulai dari kelompok mayoritas beragama, pemerintah, hingga komunitas sosial, menganggap tadisi Suku Bugis ini akan menjadi kutukan karena bertentangan dengan norma, agama, dan hukum alam.

Melansir dari penjelasan Profesor Sharyn Graham Davis, seorang antropolog dari Auckland University of Technology di Selandia Baru, sebenarnya konsep 5 identitas gender telah menjadi bagian dari Suku Bugis setidaknya selama 6 abad, tepatnya sejak tahun 17 Masehi. Sehingga, tradisi ini sudah ada bahkan sebelum konsep Islam masuk ke Indonesia pada awal tahun 1500-an Masehi.

Budaya Indonesia itu sangat unik, menarik, dan beragam, bukan? Walaupun status kebudayaan Suku Bugis ini menuai banyak pro dan kontra, isu ini tentu saja tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Indonesia sebagai negara non-sekuler yang mana menjunjung tinggi nilai Ketuhanan dan Keagamaan seperti yang tertulis dalam sila ke-1 Pancasila, serta keberadaan 5 jenis gender Suku Bugis sebagai warisan kuno yang sah dari nenek moyang merupakan dua aspek berbeda yang selamanya memiliki ideologi dan nilai sosial masing-masing.

Terletak di antara Samudera Hindia dan Pasifik membuat Indonesia menjadi negara oceania dengan lebih dari 16.000 pulau termasuk 6 pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Status geografis ini juga membuat Indonesia menjadi sebuah negara multikultural, mulai dari ras, suku, agama, budaya, serta adat istiadat. Mulai dari Suku Betawi, Jawa, Sunda, Badui, Batak, Bugis, Toraja, Maluku, ritual Hindu dan sembahyang sehari-hari di pulau Bali, penerapan syariat Islam di Aceh, hingga masyarakat Mentawai yang masih menerapkan berburu-meramu, dan masih banyak lagi.

Jika ditelisik dari sudut pandang sosial dan politik, masyarakat Indonesia memang memiliki keterikatan historis dengan dinamika interaksi antar budaya yang telah terbentuk sejak lama, yaitu pengaruh peradaban kerajaan Hindu, Budha, dan Islam di nusantara pada masa lampau.

Namun, dengan semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua dan 5 pilar  sebagai dasar negara apakah benar menggambarkan komposisi keanekaragaman budaya yang menjadi sebuah keniscayaan serta simbol persatuan di bumi Indonesia? Lalu bagaimana tafsir tersebut dilihat jika mengarah pada konteks isu gender?

Seiring berjalannya waktu, apakah nilai-nilai budaya ini akan bertahan atau kian terkikis dan hilang begitu saja karena dianggap bertentangan dengan norma dan agama. Padahal seharusnya ini harus selalu diberikan support dan ruang.

(Sumber: Plainmovement.id)

Adinda Jasmine

Penulis di plainmovement.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!