Kekerasan Seksual di Pesantren Jombang: Sulitnya Penyelesaian Kasus Karena Relasi Kuasa

Bechi atau MSAT, pelaku kekerasan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Jombang yang merupakan anak pemilik pondok pesantren berhasil kabur ketika akan ditangkap polisi. Kasus ini menunjukkan besarnya relasi kuasa di pondok pesantren dan terabaikannya nasib para korban

Aksi kejar-kejaran dari Tim Gabungan Polda Jatim dan Polres Jombang sampai dengan aksi massa sempat terjadi dalam proses penangkapan pelaku kekerasan seksual di Pondok Pesantren Jombang, Bechi. Namun nihil, Bechi (MSAT) pelaku kekerasan seksual yang merupakan anak dari pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyah, berhasil kabur. 

Sejak tahun 2020, Komnas Perempuan sudah melakukan pemantauan atas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada santriwati di pondok pesantren Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur. Anak pengasuh Pondok Pesantren itu, Bechi (MSAT), dilaporkan menjadi pelaku atas kasus perkosaan hingga ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sekitar enam bulan lalu. Namun sejak 2 tahun kasus terjadi, pelaku selalu berhasil kabur.

Terbaru dalam sebuah video yang viral di sosial media, Kyai Muchtar Mukhti —ayah Bechi, tampak melakukan pertemuan dengan Kapolres Jombang AKBP Muh Nurhidayat yang menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi adalah fitnah dan masalah keluarga. Singkatnya, dia meminta kasus ini untuk tidak ditindaklanjuti.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Jombang ini menunjukkan alotnya penangkapan Bechi dan banyaknya hambatan bagi korban kekerasan seksual dalam mengakses hak atas keadilan dan pemulihannya. Proses waktu yang berlarut-larut akibat relasi kuasa ini tak bisa dipungkiri terjadi. 

“Selain pada proses penyidikan yang memerlukan waktu, kerja keras dan kolaborasi dengan berbagai pihak, kasus ini juga menghadapi perlawanan pra-peradilan di Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Jombang,” ujar Siti Aminah kepada Konde.co, Rabu (6/7). 

Melihat perkembangan kasus ini, Siti Aminah menegaskan, saat ini merupakan pertaruhan bagi aparat penegak hukum, baik untuk kepolisian, kejaksaan ataupun hakim. Negara tak boleh kalah dengan orang atau kelompok yang memiliki kuasa dan massa dalam penegakkan kasus kekerasan seksual ini. Di samping, terus mengupayakan keadilan dan pemulihan bagi korban. 

“Negara harus hadir untuk korban,” katanya. 

Aparat penegak hukum menurutnya juga tak boleh ‘tebang pilih’ dalam kasus ini. Semisal, dikarenakan pelaku mempunyai pengaruh dan tokoh yang dihormati masyarakat, maka penegakkan hukum jadi melempem. Pun ketika ada pengistimewaan tertentu yang dilakukan untuk “melindungi” pelaku kekerasan seksual yang punya kuasa. Itu tak bisa terjadi.

“Karena semua warga negara memiliki kewajiban untuk taat pada aturan hukum dan mendukung langkah-langkah penegakkan hukum. Terkait pendapat bahwa kasus ini fitnah, mari buktikan melalui persidangan,” imbuhnya. 

Dua Tahun Korban Menunggu Keadilan, Mau Berapa Lama Lagi?

Kini korban–dengan trauma yang dialaminya–masih terus menunggu proses hukum yang adil baginya. Padahal, kekerasan seksual yang dialami para santriwati di Pondok Pesantren ini sudah dilaporkan ke polisi sejak Oktober 2019 atau lebih 2 tahun lalu. Namun, kekerasan seksual yang berlatar belakang relasi kuasa kuat ini, cukup terjal prosesnya. Mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren, serta pemilik pusat kesehatan ternama di sana. 

Kembali ke tahun 2020, kejadian kekerasan seksual bermula saat pondok pesantren di Jombang itu sedang melakukan rekrutmen tenaga kesehatan yang calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok. Sedangkan para korban adalah anak didiknya. 

“Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan. Demikian pula fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan di bawah ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya,” terang Siti Aminah Tardi dalam konpers awal Januari 2021 lalu. 

Korban yang melaporkan kekerasan seksual itu pun, mesti melalui proses panjang. Butuh waktu lebih dari dua tahun penyidikan sebelum kemudian ditingkatkan ke tingkat penuntutan. Polisi juga harus tujuh kali bolak-balik melengkapi berkas pemeriksaan agar bisa dinyatakan P21. Selain itu, intervensi dari pihak-pihak tertentu juga sangat kuat dirasakan, baik oleh para korban, saksi, pendamping hingga pihak Polres Jombang yang menangani kasus ini.  

“Faktanya para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah diberhentikan. Relasi kuasa demikian pula yang mengakibatkan para korban takut melapor dan kekerasan seksual berlangsung dalam kurun waktu lama dan makin meluas terjadi pada santriwati lain,” tambah Aminah. 

Menurut Siti Aminah, hal ini juga tak lepas dari perspektif aparat penegak hukum dalam memaknai ‘kekerasan’ dan ‘ancaman kekerasan’ yang harus bersifat fisik, kesalahan penulisan hasil visum dan barang bukti yang dimintakan telah hilang HP. 

Penanganan kasus ini kian pelik, dengan terjadinya tindak penganiayaan, ancaman kekerasan pada seorang Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang tergabung dalam Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS) pada 9 Mei 2021.

Peristiwa penganiayaan tersebut adalah salah satu akibat dari penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual serta pada ketidakpastian hukum, impunitas pelaku kekerasan seksual, dan risiko pelanggaran hukum yang berkelanjutan. 

Polisi harus bertindak ekstra hati-hati karena pelaku memobilisasi massa untuk membela dirinya. Mereka menghalangi petugas masuk ke lingkungan pondok pesantren untuk menggelandang pelaku. 

“Bahkan sempat ada upaya membelokkan kasus ini menjadi pencemaran nama baik Pondok Pesantren,” terang Siti Aminah Tardi.

Proses penanganan yang rumit

Penanganan kasus ini memang sangat rumit, mengingat MSAT sebagai tersangka memiliki pengaruh yang kuat di Jombang. Polisi harus bertindak ekstra hati-hati karena pelaku memobilisasi massa untuk membela dirinya. Mereka menghalangi petugas masuk ke lingkungan pondok pesentren untuk menggelandang pelaku. 

“Bahkan sempat ada upaya membelokkan kasus ini menjadi pencemaran nama baik Pondok Pesantren,” terang Siti Aminah Tardi.

Lemahnya koordinasi antara Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim membuat proses hukum kasus kekerasan seksual ini menjadi lambat. Celah ini dimanfaatkan MSAT untuk mengajukan permohonan praperadilan. 

Setelah ditetapkan menjadi tersangka, MSAT juga tetap melakukan perlawanan. Ia mengajukan permohonan ke pengadilan agar status tersangkanya dicabut dan meminta Polda Jatim didenda Rp 100 juta. Namun, pada 16 Desember lalu hakim Pengadilan Negeri Surabaya menolak permohonan ini. 

Namun gugatan praperadilan yang diajukan tersangka MSAT ini berdampak kepada korban untuk menjadi kembali menjadi korban secara berulang-ulang (reviktimisasi) saat proses pembuktian di pengadilan.

Naiknya kasus ini ke penuntutan tak lepas dari sinergi yang erat antara lembaga-lembaga terkait, yakni Kompolnas, Komnas Perempuan, LPSK, organisasi masyarakat sipil dan juga media.

Lemahnya koordinasi antara Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim membuat proses hukum kasus kekerasan seksual ini menjadi lambat. Celah ini dimanfaatkan MSAT untuk mengajukan permohonan praperadilan. 

Namun gugatan praperadilan yang diajukan tersangka MSAT ini berdampak kepada korban untuk menjadi kembali menjadi korban secara berulang-ulang (reviktimisasi) saat proses pembuktian di pengadilan.

Upaya yang pernah dilakukan oleh pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) per Januari 2020 kala itu, memberikan perlindungan kepada 7 saksi dan/atau korban untuk kasus Kekerasan Seksual dan 4 saksi dan/atau korban untuk kasus penganiayaan pada saksi. Hal ini karena adanya tingkat ancaman yang tinggi dalam kasus ini sehingga membahayakan keselamatan saksi dan korban

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!