Kesehatan Mental: Bullying Bisa Sebabkan Depresi Fatal Pada Anak

Kematian seorang anak yang dipaksa melakukan sodomi adalah satu bullying yang berakibat fatal pada anak.

Sebuah ironi terjadi di Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 lalu. Seorang anak di Jawa Barat baru saja meninggal dunia. Dia dikabarkan sebelumnya mengalami depresi akibat perundungan (bullying) yang dilakukan teman-teman sebayanya. 

Anak laki-laki itu mendapatkan kekerasan seksual atau dipaksa untuk melakukan sodomi terhadap seekor kucing sambil direkam menggunakan ponsel. Video bullying yang dialami korban itu pun tersebar ke media sosial. Korban mengalami sakit selama seminggu usai bullying itu, dia mengeluhkan sakit tenggorokan yang membuatnya kesulitan makan dan minum. 

Para terduga pelaku dari bullying itu adalah empat teman sepermainan korban. Bukan hanya kekerasan fisik, korban mengalami kekerasan seksual dan juga psikologis. 

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, menyatakan sangat prihatin dengan kasus kekerasan dan bullying yang terus terjadi pada anak. Termasuk dengan adanya kasus di Jawa Barat ini. Situasi ini tentu saja suatu hal yang tidak mudah terutama bagi keluarga korban. 

“Kita prihatin. Semoga ini jadi berita terakhir soal perundungan, bahkan sampai menyebabkan korban meninggal dunia,” ujar Rita ketika dihubungi Konde.co, Senin (25/7/2022).  

Rita mengatakan, pihaknya mendesak harus terus dilakukannya edukasi di kalangan masyarakat. Terlebih para orang tua yang memiliki anak, sekolah, hingga lingkungan sosial sebagai “benteng” bagi perlindungan anak yang terakhir. Menurutnya, sosialisasi dan edukasi bukan hanya sebatas bersifat klasikal–bersama di sekolah– namun harus diinternalisasikan nilai-nilainya sebagai teladan sehari-hari. 

Terlebih di kalangan keluarga atau orang dewasa dalam lingkup sosial: harus bisa memberikan contoh yang baik, saling menghormati dan tidak melakukan bullying ataupun kekerasan yang bisa menjadi sebab anak-anak menirunya.

Hal ini juga berlaku termasuk di sosial media atau daring: stop normalisasi bullying dan kekerasan dalam bentuk apapun. 

“Internalisasi ini, anak agar melihat bagaimana orang mempraktikkan saling menghargai,” katanya. 

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kekerasan pada anak di 2019 ada sekitar 11.057 kasus, tahun 2020 ada 11.279 kasus dan terus meningkat per November 2021 jumlahnya mencapai 12.566 kasus. Jumlah paling banyak mencakup kasus kekerasan seksual sebesar 45%, kekerasan psikis 19% dan kekerasan fisik 18%. 

Per tanggal 1 Januari hingga 22 Juli 2022 saja, ada sebanyak 2.715 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat di KemenPPPA. Termasuk, bullying. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Cegah, Deteksi, Pulihkan

Rita Pranawati menekankan, upaya pencegahan yang harus semakin digencarkan. Agar potensi kekerasan termasuk bullying terhadap anak bisa dihindarkan. Hal penting yang harus ditanamkan adalah mengajarkan sikap saling respect atau menghargai satu sama lain. Utamanya di lingkungan keluarga, sekolah, dan sosial. 

Sebagai orang tua atau dewasa yang berada di dekat anak, komunikasi yang baik dan asertif (jujur tegas dan tetap menghargai perasaan) pun juga perlu dibangun. Pola komunikasi seperti ini mesti dibangun dari pengasuhan yang tidak menyudutkan anak-anak. 

Hal tersebut juga menurutnya perlu didorong kaitannya dengan ranah media sosial. Anak-anak yang sudah aktif terpapar perkembangan zaman digital, juga harus diawasi dan disikapi dengan bijak. 

“Bagian penting kemudian, pelajaran yang dia terima juga harus dikomunikasikan. Ini tidak akan dipraktikkan jika orang tua tidak dapat membangun komunikasi yang baik dengan anak,” terangnya. 

Tak kalah penting, orang tua juga harus mengasah kepekaan untuk mendeteksi perubahan sikap anak. Termasuk kaitannya dengan bullying yang dialaminya seperti jadi pendiam, murung, dan-lain.

“Ini balik lagi tergantung pada pola pengasuhan dan komunikasi. Kayak, kalau anak mengadu malah dimarahi kan gak harusnya gitu. Makanya, ini pola komunikasi menjadi bagian penting agar anak-anak terbuka untuk bercerita (dengan aman–red),” imbuhnya. 

Lalu, bagaimanakah jika anak sudah mengalami bullying? Apa yang bisa dilakukan kemudian?

Rita melanjutkan, proses pemulihan secara menyeluruh (holistik) pada anak korban kekerasan termasuk bullying harus dilakukan. Bantuan ahli pun bisa dilibatkan jika membutuhkan. Di samping, proses komunikasi dan dukungan kepada anak terus dilakukan sebagai support system dalam proses pemulihan secara fisik dan psikis.

“Ini perlunya dukungan. Dari sekolah ini bisa juga bullying terjadi karena sistem yang tidak jelas (normalisasi bullying), permasalahan di sekitar dan termasuk paparan dari internet,” kata dia. 

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily juga sempat menyoroti kasus perundungan anak di Tasikmalaya beberapa waktu lalu. Dia menegaskan bahwa perkara ini begitu mengkhawatirkan dan harus dihindari terulang kembali karena dampaknya yang serius bagi tumbuh kembang anak. Dia menekankan, lembaga di daerah termasuk Dinas Perlindungan Anak di daerah harus tanggap dan aktif terlibat. Di samping peran orang tua.

“Harus menelusuri mengapa peristiwa ini bisa terjadi pada seorang anak. Kasus ini harus dijadikan pelajaran bagi keluarga dan sekolah agar lebih memiliki kewaspadaan dalam pemantauan perkembangan anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat,” ujar Ace dalam siaran resmi di Parlementaria, Jumat (22/7). 

Lebih lanjut, Ace mengingatkan juga agar lembaga perlindungan anak di daerah memberikan pendampingan kepada keluarga korban. Termasuk juga kepada sejumlah terduga pelaku yang juga masih anak-anak. 

“Apalagi kasus ini sudah masuk ke dalam ranah hukum. Sesuai peraturan, khususnya UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terduga pelaku anak perlu mendapat pendampingan khusus,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!