Menderita Di Bawah Aturan Wajib Jilbab: Cerita Pelajar dan Pegawai Negeri Perempuan di Indonesia

Human Rights Watch merilis laporan terbarunya hari ini, 21 Juli 2022 tentang banyaknya pelajar, guru, dokter dan pegawai negeri perempuan yang dipaksa mengenakan jilbab. Mereka menghadapi tekanan sosial, ancaman dan sanksi jika tidak mematuhi aturan ini

Sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras kepada perempuan dan anak perempuan.

Laporan Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada 21 Juli 2022 hari ini menyebutkan tentang dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan pribadi para perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan dalam laporan ini.

HRW menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, yang mengawasi kinerja pemerintah daerah, harus membatalkan berbagai keputusan daerah tersebut, jumlahnya lebih dari 60, yang berlaku di seluruh negeri.

Pemerintah pusat memang tak memiliki kewenangan hukum untuk mencabut peraturan daerah, seperti peraturan daerah Aceh soal “busana Muslim” buatan tahun 2004, yang diilhami dari Syariat Islam. Namun hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif lokal yang bertentangan dengan undang-undang nasional dan konstitusi.

“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch.

“Keputusan-keputusan ini merugikan dan bermasalah, praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”

Berbagai pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan keputusan wajib jilbab mulai tahun 2001 di tiga kabupaten yaitu Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat). Aturan daerah yang membatasi tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, menekan jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab- penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Para pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut berpendapat jilbab wajib bagi perempuan Muslim untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap rambut, lengan, dan kaki, kadang juga bentuk tubuh perempuan. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi peraturan.

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami intimidasi, kekerasan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan itu dan memasukkannya sebagai lampiran sebuah laporan terbitan 2021. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang paling baru mengadopsi keputusan ini pada Agustus 2021.

Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka memakai jilbab serta tekanan psikologis mendalam yang dapat ditimbulkannya.

Setidaknya di 24 dari total 34 provinsi di tanah air, anak perempuan yang tidak patuh terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.

Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook. Wawancara Human Rights Watch mengungkapkan bahwa pesan intimidasi dan ancaman juga telah dikirim melalui aplikasi perpesanan, seperti WhatsApp.

Zubaidah Djohar, penyair, dan alumnus Pesantren di Padang Panjang, Sumatra Barat, mendapat ancaman pembunuhan yang menjanjikan “peretasan” dan “peracunan” setelah adu argumentasi teologis soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021.

Rekannya Deni Rahayu juga mendapat ancaman pembunuhan, kebanyakan dari anggota grup Facebook alumni sekolah. Keduanya melaporkan ancaman tersebut kepada polisi, namun belum ada indikasi polisi telah melakukan penyelidikan yang berarti atas pengaduan tersebut.

Mereka juga melaporkan ancaman tersebut ke Facebook tetapi tidak mendapat tanggapan. Human Rights Watch kemudian mengirim dokumentasi lengkap tentang perilaku kasar daring itu ke Facebook pada April 2021.

Facebook menanggapi pada Agustus 2021 dengan mengatakan bahwa mereka “melaporkan ujaran itu ke salah satu saluran eskalasi [mereka],” tetapi tidak memberikan informasi tentang hasilnya. Pada April 2022, setelah beberapa permintaan pembaruan dari Human Rights Watch, seorang staf Facebook yang berbasis di Singapura menawarkan untuk bertemu dengan Djohar, saat liburan di Jakarta, namun ditolak Djohar. Facebook belum menyampaikan apa yang mereka lakukan dengan ancaman itu.

Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.

Pada tahun 2012 dan 2014, Pramuka, gerakan kepanduan nasional yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “siswi Muslim” dari kelas 1 hingga kelas 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka.

Peraturan nasional Pramuka dan Kementerian Pendidikan ini semakin memperkuat dan menegakkan keputusan daerah. Sekolah biasanya mewajibkan para pelajar untuk memakai seragam Pramuka seminggu sekali.

Pada Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lainnya mengamandemen Peraturan Menteri Pendidikan 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah, yang menetapkan bahwa para pelajar perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Makarim mengatakan peraturan itu digunakan untuk merundung para siswi dan guru.

Namun pada Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan amandemen peraturan tersebut, yang secara efektif memutuskan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka sendiri. Keputusan itu mengakhiri upaya pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada para anak perempuan dan guru Muslim untuk memilih apa yang mereka kenakan.

Lebih dari 800 tokoh masyarakat menandatangani petisi publik yang mengecam keputusan tersebut dan meminta Komisi Yudisial untuk meninjau kembali keputusan tersebut, menyebut aturan wajib jilbab inkonstitusional dan diskriminatif. Pada Juni 2021, Komisi Yudisial menolak permohonan tersebut karena alasan teknis.

Aturan hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas memanifestasikan keyakinan agama seseorang, untuk kebebasan berekspresi, dan untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dewasa dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dewasa dan anak laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan atas hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.

Perlindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab juga melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk bebas “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.

Pada tahun 2006, Asma Jahangir, mendiang pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan metode paksaan dan sanksi yang diterapkan pada individu yang tidak ingin mengenakan pakaian keagamaan atau simbol tertentu yang dianggap disetujui oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang biasanya tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”

“Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat biasa yang berani membahas masalah jilbab secara terbuka dan menyuarakan keprihatinan tentang bagaimana peraturan daerah ini melanggar hak,” kata Pearson.

“Pemerintah harus menyelidiki setiap insiden tersebut dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab sehingga setiap perempuan dewasa dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.”

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!