Perusahaan Harus Berikan Cuti Ayah: Anak Tanggungjawab Perempuan dan Laki-laki

Perusahaan harus membuat cuti melahirkan tak hanya bagi ibu, tapi juga bagi ayah, karena tugas rumah tangga adalah tugas bersama perempuan dan laki-laki

Peran ibu dan ayah dalam dunia kerja kerap dibedakan dan seakan sudah dimaklumi oleh khalayak. Perbedaannya cenderung memberatkan dan mendiskriminasi peran perempuan dalam ranah profesional. Mengingat kebijakan berskala nasional masih sulit merangkul keadilan bagi ibu bekerja, perusahaan perlu ambil andil lebih besar dalam menghadapi dilema ini.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu dan Anak (RUU KIA) – yang mengikutsertakan pasal perpanjangan masa cuti melahirkan ibu menjadi enam bulan demi menjamin pemberian ASI eksklusif – seakan menambah panas perdebatan. Sebab, perpanjangan cuti justru bisa membuat perusahaan menganggap bahwa mempekerjakan perempuan seakan tidak produktif dan membebani.

Memang, dalam dunia kerja, laki-laki kerap dianggap pekerja ideal yang terpercaya dan bisa diandalkan. Mereka, terutama yang secara formal telah menyandang status ayah, bisa mendapatkan tawaran gaji yang lebih besar atau yang biasa disebut dengan “fatherhood wage premium” (gaji premium ayah).

Sementara, perempuan lebih susah mendapatkan pekerjaan karena dianggap berstatus rendah, apalagi jika mereka sudah menjadi ibu. Mereka seringkali dianggap kurang komitmen dan kurang punya kapasitas soal kerjaan, terutama ketika dihadapkan dengan tumpukan persoalan rumah tangga dan mengurus anak. Diskriminasi terhadap ibu sudah lama dikenal dengan istilah “motherhood penalty” (hukuman para ibu).

Menyikapi hal ini, perusahaan sebetulnya dapat mengambil peran lebih besar dalam mengakomodasi perempuan sebagai ibu dan pekerja. Apalagi, menjamin keragaman di tempat kerja terbukti membawa manfaat baik secara organisasi maupun keuangan.

Sudah waktunya perusahaan turun tangan, apa yang bisa dilakukan?

Salah satu kunci untuk mengurangi diskriminasi sebetulnya terletak di kebijakan perusahaan atau organisasi.

Temuan menunjukkan bahwa keragaman di tempat kerja – termasuk memberi kesempatan bagi perempuan dan ibu bekerja – akan meningkatkan kinerja keuangan dan pengambilan keputusan efektif bagi perusahaan.

Studi World Bank menunjukkan bahwa keragaman di tempat kerja meningkatkan produktivitas hingga 40%, sementara kajian Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) membuktikan bahwa keragaman bisa mendongkrak keuntungan perusahaan hingga 20%. Memberi kesempatan bagi ibu bekerja juga membantu meningkatkan inovasi, memastikan terjaganya kualitas talenta, dan menjawab tuntutan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).

Singkatnya, mengakomodasi ibu bekerja maupun perempuan secara umum juga memberikan keuntungan bagi perusahaan atau organisasi. Lantas, langkah apa yang bisa ditempuh untuk memberi ruang bagi ibu bekerja?

Pertama, perusahaan bisa mewajibkan adanya cuti melahirkan untuk ibu dan ayah.

Alih-alih menjadikannya sebagai opsi, perusahaan perlu membuat cuti melahirkan bagi ayah sebagai kewajiban. Pasalnya, jika hal ini tidak dilakukan, pekerja laki-laki yang melihat koleganya memilih untuk tidak mengambil opsi cuti melahirkan bisa jadi berpikir dua kali untuk mengambil cuti tersebut. Sangat mungkin, para pekerja laki-laki khawatir mendapatkan stigma buruk – seperti dianggap lemah – karena mengambil cuti ayah, serta kehilangan keuntungan dari bekerja penuh.

Kedua, perusahaan bisa menyediakan program bimbingan atau mentorship.

Perempuan yang kembali bekerja setelah cuti melahirkan harus menghadapi proses transisi, dan umumnya masih mengalami kelelahan pascamelahirkan dan karena mengurus bayi yang baru lahir. Christine Meritt, CEO dari perusahaan pemasaran Spool, berargumen bahwa mentorship dapat membantu proses transisi ini, memberikan dukungan psikologis, dan memastikan bahwa pekerja tidak mengundurkan diri. Melalui metode ini, ibu bekerja dan pekerja perempuan secara umum punya mentor yang bisa membimbing mereka untuk berkarier secara sukses dalam organisasi tersebut.

Ketiga, kebijakan yang ramah keluarga seperti fleksibilitas untuk bekerja dari rumah dan bekerja paruh waktu juga bisa membantu para ibu dan ayah.

Dengan memberikan kelonggaran tersebut, perusahaan tidak hanya memberikan peluang bagi orang tua untuk punya lebih banyak waktu untuk mengasuh anak – misalnya, dengan memotong waktu perjalanan ke kantor – namun juga akan membantu meningkatkan produktivitas pekerja dengan mengurangi stres dan memperbaiki manajemen waktu.

Mengapa kebijakan di skala nasional tak cukup melindungi ibu bekerja

Dalam menyikapi perlakuan terhadap ibu bekerja, berbagai negara berusaha mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi diskriminasi. Dari mulai cuti melahirkan sampai setahun di Inggris, cuti melahirkan untuk ayah di berbagai negara Skandinavia, sampai dengan wacana RUU KIA di Indonesia.

Namun demikian, hasil riset mengenai efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut sangat beragam. Sebab, sebuah kebijakan memakan waktu lama untuk bisa betul-betul efektif, perlu disertai dengan perubahan kebijakan lainnya, dan – terkhusus persoalan ibu bekerja – harus dibarengi dengan perubahan cara berpikir masyarakatnya.

Simpulan tersebut menunjukkan tidak ada satu kebijakan khusus di skala nasional yang dipastikan efektif untuk mengurangi diskriminasi terhadap ibu bekerja. Bahkan, risiko bahwa kebijakan yang terlalu banyak memberikan keringanan terhadap ibu bekerja justru dapat meningkatkan diskriminasi terhadap mereka. Misalnya, cuti melahirkan yang terlalu panjang bisa membuat perusahaan enggan menerima perempuan muda dan berimbas kepada ‘feminisasi kemiskinan’.

Oleh karena itu, peran perusahaan menjadi vital di sini.

Perusahaan yang betul-betul peduli tentang diskriminasi terhadap ibu bekerja (atau karakteristik lainnya seperti gender, agama, ras, dan lain-lain) juga harus sering merefleksikan diri.

Refleksi ini penting untuk mendorong perubahan cara berpikir di organisasi: Apakah mereka mempunyai cukup pegawai level senior yang merupakan ibu bekerja atau bahkan perempuan pada umumnya? Apakah sistem promosi di perusahaan sudah berlaku adil terhadap ibu bekerja? Apakah kebijakan yang ada untuk ibu bekerja hanya bersifat performatif tapi tidak pernah dipraktikkan? Apakah kultur organisasi cenderung menganggap ibu bekerja sebagai pekerja kelas dua?

Pertanyaan tentang bagaimana membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih inklusif bagi ibu bekerja adalah pertanyaan yang kompleks dan butuh usaha yang serius.

Mayoritas organisasi mungkin tidak punya keinginan untuk betul-betul melakukannya. Namun bagi mereka yang mau, ada berbagai cara yang dapat ditempuh dari perusahaan yang tidak harus menunggu kebijakan pemerintah. Kita, sebagai pegawai maupun pemilik usaha, bisa mengambil peran aktif agar perusahaan tempat kita bekerja bisa menjadi tempat yang lebih akomodatif terhadap keragaman.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Aulia Syakhroza

Assistant Professor of Strategy at Bayes Business School, City, University of London
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!