SINDIKASI: Holywings Tak Boleh Cuci Tangan dan Harus Tanggung Jawab Pada Pekerjanya

Ditetapkannya 6 pekerja Holywings sebagai tersangka setelah mengunggah promosi minuman keras memperlihatkan pihak perusahaan Holywings mau cuci tangan atas kasus ini. Serikat Sindikasi menuntut perusahaan Holywings untuk bertanggungjawab atas nasib pekerjanya

Kasus Holywings terjadi ketika pihak Holywings melakukan promosi minuman keras  beralkohol untuk pemilik nama Muhammad dan Maria. Promosi itu diunggah oleh akun Instagram @holywingsindonesia.

Unggahan ini dikecam oleh berbagai pihak. Namun buntut dari kecaman ini justru merugikan pekerjanya, karena setelah ini 6 staf Holywings kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Mereka adalah staf yang bekerja di bagian kampanye, production house, graphic designer, dan media sosial.

Setelah enam staf jadi tersangka, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lantas melakukan penyegelan secara serentak terhadap 12 cabang Holywings yang lain

Usai dikecam, Holywings kemudian menyampaikan permintaan maaf terbuka melalui akun Instagramnya, @holywingsindonesia, pada Kamis, 23 Juni 2022 dengan beralasan bahwa pihak promosi lah yang membuat promosi tersebut tanpa sepengetahuan manajemen

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan SINDIKASI wilayah Jabodetabek mengecam keras atas sikap manajemen Holywings yang dinilai tidak bertanggung jawab terhadap kasus dugaan penistaan agama yang membuat enam pekerja kreatif restoran dan bar ini ditahan polisi.

Keenam pekerja yang terdiri atas direktur kreatif, kepala tim promosi, tim kampanye, tim rumah produksi, desainer grafis, dan admin media sosial di atas dijerat dengan “pasal karet” yakni Pasal 14 ayat 1 dan 2 serta Pasal 156A KUHP tentang penodaan agama karena konten promosi Holywings di media sosial.

Terhadap perkembangan penanganan kasus tersebut, SINDIKASI dan SINDIKASI wilayah Jabodetabek melalui Ketua Serikat Sindikasi, Nur Aini dalam pernyataan sikapnya mengecam sikap manajemen bar Holywings yang “cuci tangan” dalam kasus ini.

“Menyebut keenam pekerjanya sebagai “oknum” adalah bukti jika Holywings cuci tangan dan menolak bertanggung jawab. Para pekerja tersebut melakukan tindakannya untuk promosi program perusahaan, bukan untuk kepentingan pribadi. Maka seharusnya pihak perusahaan yang bertanggung jawab, bukan malah lepas tangan.”

Nur Aini juga menyatakan bahwa dalam struktur organisasi perusahaan, apalagi untuk aktivitas kreatif, umumnya berlaku alur kerja sangat ketat dan melalui pengawasan berlapis-lapis, mulai dari proses brainstorming, planning, eksekusi, hingga evaluasi. Sehingga, aktivitas kreatif promosi semestinya diketahui oleh pihak manajemen perusahaan. Hal ini sama sekali tidak disinggung oleh Holywings dalam pernyataan mereka.

“Pihak perusahaan seharusnya tidak boleh membujuk, menyuruh, atau memaksa para pekerjanya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sesuai UU CK Pasal 154 A ayat 2, pekerja yang diminta melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, boleh mengajukan permintaan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan besaran pesangon sesuai ketentuan UU.”

Selanjutnya, perihal tanggung jawab perusahaan. Sesuai dengan PP Nomor 35 Tahun 2021, pengusaha wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja atau buruh yang menjadi tanggungannya ketika dijerat pasal pidana.

“Ketentuan mengenai besaran dari bantuan yang dimaksud tertera dalam peraturan tersebut. Sementara, bantuan tersebut diberikan untuk paling lama 6 bulan sejak hari pertama pekerja atau buruh ditahan pihak berwajib.”

Selain itu, Holywings seharusnya memberikan bantuan hukum kepada para pekerja untuk melepaskan mereka dari segala tuntutan. Dan Holywings juga harus bertanggung jawab pasca-dicabutnya izin usaha terhadap nasib pekerja apabila perusahaan tutup dengan memberikan pesangon yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.

“Terpenting, kami menegaskan sudah saatnya para pekerja kreatif untuk bergabung dalam serikat pekerja. Kasus ini adalah bukti bahwa kelas pekerja adalah pihak paling rentan di sebuah industri, khususnya industri kreatif.”

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!