Ratna Asmara Di Tengah Maskulinitas Film: Kiprah Sutradara Perempuan Pertama

Ratna Asmara jarang disebut-sebut dalam sejarah dunia perfilman Indonesia, tidak seperti sutradara laki-laki lainnya. Namun Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna Asmara menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih sangat maskulin dan didominasi laki-laki

Bicara soal perfilman nasional, tak hanya sutradara Usmar Ismail yang menjadi tonggak penting. Ada seorang sutradara perempuan yang karyanya berpengaruh dan menjadi tonggak sejarah di Indonesia

Perempuan itu adalah Ratna Asmara. Kesaksian sejarah film nasional mencatat, Ratna Asmara menjadi pelopor sutradara perempuan yang menggarap film pertamanya Sedap Malam (1950). Di tahun-tahun berikutnya, dia juga produktif menampilkan karya seperti Musim Bunga Selabintana (1951), Dokter Samsi (1952), Nelajan (1953) dan Dewi dan Pemilihan Umum (1954). 

Ratna Asmara jarang disebut-sebut, tidak seperti Usmar Ismail atau sutradara laki-laki lainnya. Namun Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna cukup menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih maskulin. Perempuan juga minim mendapatkan dukungan dari kalangan perfilman sendiri. Ratna termasuk yang “beruntung”, sebab dia mempunyai support system yang kuat dari suaminya, Andjar Asmara, yang juga aktif di dunia seni peran sekaligus wartawan. 

Sebelum menjadi sutradara, Ratna pernah aktif di dunia sandiwara dan membintangi Kartinah (1940) besutan Andjar. Ratna juga membintangi film yang digarap oleh Andjar yaitu Djauh di Mata dan Anggrek Bulan (1948). Hingga setahun kemudian, Andjar berjasa dalam membukakan karier Usmar Ismail sebagai asisten sutradara film Gadis Desa (1949). 

Ratna: Penyanyi, Penari Rombongan hingga Sutradara 

Ratna Asmara, lahir dengan nama Suratna. Kata Asmara diambil setelah menikah dengan Andjar Asmara. Ratna dan Andjar merupakan bagian dari grup pertunjukan Dardanella pada 1930-an. Di sana, Ratna menjadi penyanyi dan penari rombongan. 

Dilansir dari Lini Masa, saat grup Dardanella melakukan pertunjukan lintas benua pada tahun 1935, Andjar dan Ratna sempat ikut serta. Tapi mereka berdua memilih untuk pulang saat rombongan mereka tiba di Bombay India. Sepulang ke Hindia Belanda, Ratna dan Anjar mendirikan Tinil Bulero. 

Pada 1940, mereka kemudian dikontrak oleh perusahaan film Java Industrial Film. Ratna mengawali perannya di perfilman sebagai film Kartinah diduetkan dengan Astaman, mantan koleganya di Dardanella. Di film ini, Andjar bertindak sebagai sutradara. Film ini disebut-sebut menjadi film perang pertama di Indonesia. Film ini banyak dikagumi pada masanya karena menampilkan adegan dahsyat dengan membakar 50 rumah di sebuah desa. 

Selanjutnya, Ratna bermain di film Noesa Penida, bersama Astaman dan Ismail. Pembuatan film ini hampir terkendala ketika Jepang hampir sampai ke Indonesia. Namun, dua film ini bisa dirilis pada tahun 1941 atau awal 1942. Dua film ini diputar ke bioskop. 

Selain memiliki kemampuan berakting, Ratna juga bernyanyi. Nyanyiannya direkam dalam piringan hitam label His Master Voice atau HMV beredar 1942. Ada 4 lagu dinyanyikan Ratna di bawah label itu. Di antaranya, Tanahku Indonesia, Terang Bulan di Malaya, Nasib Perempuan dan Sebatang Kara. 

Pada 1950-an, Ratna merilis film Terang Bulan di Malaya yang diproduksi perusahaan film Malaya, Keris Film. Film ini menceritakan aktor dan aktris Indonesia seperti Raden Mochtar dan Sukarsih. Saat masa pendudukan jepang pada 1945, Ratna dan Andjar membentuk grup sandiwara angkatan muda matahari. 

Pada tahun 1953, Ratna bersama Mochtar Lubis dan Wildan Djafar, pun mendirikan perusahaan filmnya sendiri bernama Ratna Film. Saat itu, produksi pertamanya adalah Film Nelajan (1953), yang diadaptasikan dari karya Mochtar Lubis. Setahun kemudian, Ratna memimpin pembuatan film Dewi dan Pemilihan Umum (1954) yang dibintangi oleh Titien Sumarni dan Raden Ismail. 

‘Sedap Malam’ Film Pertama Indonesia seputar Pekerja Seks

Jurnal Ruang pernah mengulas film Sedap Malam yang disutradarai oleh Ratna Asmara. Sedap Malam mengisahkan tentang dunia pekerja seks, yang pertama kali ada di perfilman Indonesia. Film ini dimainkan oleh para tokoh seperti Pandji Anom, Raden Mochtar, Komalasari, dan Sukarsih. 

Seorang perempuan, Patmah, merasa dirinya telah ‘rusak’ karena dipaksa menjadi geisha–pekerja seks di zaman Jepang– oleh tentara pendudukan Jepang. Patmah mengidap penyakit kelamin menular hingga dia menghembuskan napas terakhirnya. Apa yang dialami Patmah seolah memotret situasi pekerja seks perempuan yang selama ini lekat dengan stigma-stigma yang menghantui, rentan terhadap berbagai risiko penyakit menular dan minim perlindungan. Dia akhirnya ‘dipaksa’ menyerah. 

Film Sedap Malam itu pada masanya meledak dan meraih sukses di pasaran. Meskipun mendapatkan beberapa kritik. Seperti, film tersebut belum memenuhi standar sebagai seni karena dianggap ‘belum memuaskan’ dan belum ‘meninggalkan kesan’. 

Beberapa bagian yang menjadi sorotan misalnya, ketika gadis anak tukang kopi (Komalasari) yang sebenarnya anak Tamin (Pandji Anom) dan Istrinya yang sudah dicerainya (Sukarsih) dan menjadi pekerja seks, dianggap kurang mengesankan. Di sisi lain, ada adegan yang dirasakan janggal dalam film ini seperti kondisi seorang pekerja seks yang hanya digambarkan ketika dia meminta api dari korek seorang laki-laki di tengah jalan yang lalu ditangkap polisi. 

Meski begitu, film Sedap Malam karya Ratna ini mendapatkan banyak apresiasi pada masanya. Film ini telah menjadi sebuah kemajuan bagi perfilman Indonesia. Dikarenakan disutradarai oleh seorang perempuan dan isu yang dibawanya yang pada saat itu belum banyak dibahas: pekerja seks. 

Ratna juga telah menjadi inspirasi bagi para sutradara perempuan di masanya. Salah satunya, Roostijati yang melewati jalan yang telah dirintis oleh Ratna. Dia menggarap film berjudul Genangan Air Mata (1995). Sebelumnya, dia memulai debut akting dalam film Kenangan Masa (1951). 

Ada pula Sofia WD yang sepanjang kariernya telah menjadi sutradara sebanyak 7 film. Dibanding Roostijati, dia lebih dulu malang melintang di perfilman dengan judul film pertama yang diperankannya Air Mata Mengalir di Tjitaroem (1948). Selain bergelut sebagai aktris dan sutradara, Sofia juga mempunyai rombongan pertunjukkan bernama Libra Musical Show yang pentas di berbagai daerah di Indonesia.  

Libra Musical Show ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya perusahaan film milik Sofia yaitu Libra Film (1970). Produksi pertamanya ialah Si Bego Menumpas Kutjing Hitam. Sewindu sebelum itu, Sofia bahkan mampu menorehkan prestasi karena menjadi film Indonesia pertama yang masuk seleksi kompetisi Festival Film Internasional Berlin. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!