Aktivis Kecam Dugaan Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri di Yogyakarta

Pemaksaan jilbab pada siswi kembali terjadi. Kali ini diduga terjadi pada siswi di SMA Negeri 1, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Pemaksaan mengakibatkan siswi tersebut menjadi depresi berat.

Jaringan masyarakat sipil yang fokus pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan mengecam dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banguntapan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang membuat siswi merasa depresi.

Peristiwa itu bermula ketika guru bimbingan konseling, wali kelas, dan guru agama diduga telah memaksa siswi itu memakai jilbab di ruangan guru Bimbingan Konseling/ BK pada Selasa pagi, 26 Juli 2022. Guru BK tersebut memakaikan jilbab ke siswi saat menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah.

Setelah itu, siswi tersebut mengurung diri dan menangis di toilet selama satu jam. Kini, siswi itu depresi, lebih banyak mengurung diri di kamar, dan tidak mau ke sekolah.

Dugaan sementara menyebut, pemaksaan pemakaian jilbab untuk siswi baru terjadi di semua tingkatan sekolah.

Pada 2017, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 7 dan SMPN 11 mengeluarkan surat edaran yang isinya mengharuskan siswi Muslim mengenakan jilbab dalam penerimaan siswa siswi baru. Tapi, mereka berdalih pemakaian jilbab itu bukan paksaan, hanya imbauan.

Pemaksaan pemakaian jilbab di Sekolah Dasar Negeri Karangtengah III Kabupaten Gunung Kidul terjadi pada 2019. Sekolah tersebut mengeluarkan surat edaran yang berisi kewajiban siswa kelas I mengenakan seragam Muslim untuk tahun pelajaran 2019/2020.

Setelah mendapatkan protes dari masyarakat dan ditangani Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY, surat edaran SD Negeri tersebut dicabut. Terulangnya peristiwa tersebut menggambarkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak serius menangani praktek intoleransi di sekolah.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Yogyakarta, Shinta Maharani menyatakan dalam pernyataan sikap yang diterima Konde.co, bahwa para aktivis yang tergabung dalam Masyarakat sipil yang fokus terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, tersebar di berbagai komunitas, organisasi non-pemerintah, dan individu menyatakan sikap untuk mendesak Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta membuat aturan tegas tentang larangan pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri.

“Mendesak Dinas Pendidikan menerapkan sanksi yang berat bagi sekolah negeri yang terbukti memaksa siswanya memakai jilbab. Dan juga mendesak Pemerintah DIY untuk menyediakan layanan pendampingan psikologi hingga pulih untuk siswa karena mengalami depresi.”

Lalu mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk turun tangan mengatasi pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri Yogyakarta.

“Kami juga mengecam pemaksaan berjilbab di sekolah-sekolah negeri  karena bertentangan dengan kedaulatan perempuan atas pikiran, tubuh, ruang gerak, ekspresi dan keyakinan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E dan pasal 29, Piagam Deklarasi HAM, Deklarasi HAM 1948, ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Against Women).”

Lalu para aktivis menyatakan agar semua pihak melakukan stop pada kontrol tubuh para siswa (khususnya perempuan) dengan dalih apapun, termasuk dalih  memperkuat  moralitas, serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan  para siswa di sekolah-sekolah negeri.

“Meminta Dinas Pendidikan menghentikan surat edaran  berisi kewajiban siswa mengenakan jilbab pada tahun ajaran baru. Surat edaran itu kerap sekolah jadikan alasan sebagai imbauan bukan pemaksaan dan mendorong sekolah ramah anak dan menghargai prinsip keberagaman dan inklusivitas.”

Lalu mendesak Balai Pendidikan Menengah untuk melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap pegawai/guru sekolah  yang melakukan pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri

Lembaga dan individu yang terlibat dalam jaringan masyarakat sipil ini antaralain Youth, Interfaith, and Peace (YIP) Center, Solidaritas Perempuan Kinasih, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI Yogyakarta), Yusnita Ike Christanti dan Seknas Jaringan Gusdurian

Pelajar Menderita Di Bawah Aturan Wajib Jilbab

Kondisi dan situasi ini sama dengan temuan Human Rights Watch (HRW) yang merilis laporan terbarunya pada 21 Juli 2022. Laporan HRW menyebut tentang banyaknya pelajar, guru, dokter dan pegawai negeri perempuan yang dipaksa mengenakan jilbab. Mereka menghadapi tekanan sosial, ancaman dan sanksi jika tidak mematuhi aturan ini

Sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memang telah memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras kepada perempuan dan anak perempuan.

HRW menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, yang mengawasi kinerja pemerintah daerah, harus membatalkan berbagai keputusan daerah tersebut, jumlahnya lebih dari 60, yang berlaku di seluruh negeri.

Pemerintah pusat memang tak memiliki kewenangan hukum untuk mencabut peraturan daerah, seperti peraturan daerah Aceh soal “busana Muslim” buatan tahun 2004, yang diilhami dari Syariat Islam. Namun hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif lokal yang bertentangan dengan undang-undang nasional dan konstitusi.

“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch.

“Keputusan-keputusan ini merugikan dan bermasalah, praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”

Berbagai pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan keputusan wajib jilbab mulai tahun 2001 di tiga kabupaten yaitu Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat). Aturan daerah yang membatasi tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, menekan jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab- penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Para pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut berpendapat jilbab wajib bagi perempuan Muslim untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap rambut, lengan, dan kaki, kadang juga bentuk tubuh perempuan. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi peraturan.

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami intimidasi, kekerasan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan itu dan memasukkannya sebagai lampiran sebuah laporan terbitan 2021. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang paling baru mengadopsi keputusan ini pada Agustus 2021.

Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka memakai jilbab serta tekanan psikologis mendalam yang dapat ditimbulkannya.

Setidaknya di 24 dari total 34 provinsi di tanah air, anak perempuan yang tidak patuh terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.

Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook. Wawancara Human Rights Watch mengungkapkan bahwa pesan intimidasi dan ancaman juga telah dikirim melalui aplikasi perpesanan, seperti WhatsApp.

Zubaidah Djohar, penyair, dan alumnus Pesantren di Padang Panjang, Sumatra Barat, mendapat ancaman pembunuhan yang menjanjikan “peretasan” dan “peracunan” setelah adu argumentasi teologis soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021.

Rekannya Deni Rahayu juga mendapat ancaman pembunuhan, kebanyakan dari anggota grup Facebook alumni sekolah. Keduanya melaporkan ancaman tersebut kepada polisi, namun belum ada indikasi polisi telah melakukan penyelidikan yang berarti atas pengaduan tersebut.

Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.

Pada tahun 2012 dan 2014, Pramuka, gerakan kepanduan nasional yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “siswi Muslim” dari kelas 1 hingga kelas 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka.

Peraturan nasional Pramuka dan Kementerian Pendidikan ini semakin memperkuat dan menegakkan keputusan daerah. Sekolah biasanya mewajibkan para pelajar untuk memakai seragam Pramuka seminggu sekali.

Pada tahun 2006, Asma Jahangir, mendiang pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan metode paksaan dan sanksi yang diterapkan pada individu yang tidak ingin mengenakan pakaian keagamaan atau simbol tertentu yang dianggap disetujui oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang biasanya tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”

“Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat biasa yang berani membahas masalah jilbab secara terbuka dan menyuarakan keprihatinan tentang bagaimana peraturan daerah ini melanggar hak,” kata Pearson.

“Pemerintah harus menyelidiki setiap insiden tersebut dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab sehingga setiap perempuan dewasa dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.”

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!