Apa Arti Merdeka Bagi Perempuan? 9 Perempuan Bicara Soal Arti Merdeka

Apakah ini yang namanya merdeka jika memakai baju saja masih diatur-atur, boleh atau tidak boleh, seperti pemaksaan memakai jilbab. Apakah ini yang namanya merdeka jika perempuan belum aman jalan ketika tengah malam? Apakah ini yang namanya merdeka jika para pekerja mengalami diskriminasi di dunia kerja? Apakah ini yang disebut merdeka jika banyak perempuan dirampas haknya?

Pada 17 Agustus 2022 hari ini Konde melakukan wawancara pada 9 perempuan dengan berbagai macam aktivitas dan gender untuk meminta pendapat mereka soal: apa arti merdeka buatmu? Tulisan ini kami tuangkan dalam artikel berikut ini.

Mereka adalah para aktivis perempuan, aktivis buruh, PRT, aktivis keberagaman, pejuang lingkungan, jurnalis, penyandang disabilitas, perempuan muda

1.Ratna Batara Munti, Aktivis Perempuan

Bagi  Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jabar, perempuan di Indonesia sama sekali belum merdeka. Ratna punya banyak data dan bukti tentang itu. 

Lihat saja. Meskipun situasi sekarang dianggap sudah ada sejumlah kemajuan dibandingkan di zaman Kartini dulu, misalnya perempuan saat ini sudah punya akses atas pendidikan, sudah punya pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Tetapi perempuan masih menghadapi ancaman atas relasi sosial gender yang membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan. Bahkan perempuan tidak memiliki kontrol atas tubuh dan seksualitasnya. Ini bisa dilihat dari banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang ada di Indonesia. 

Ratna mencontohkan dalam hubungan pacaran, perempuan menghadapi ancaman kekerasan yang semakin canggih secara online. Ratna punya data, LBH APIK Jabar menerima sejumlah laporan kekerasan berbasis gender online yang dialami remaja perempuan terkait sextortion, yakni ancaman untuk membuat korban melakukan keinginan pelaku yang melibatkan tindakan seksual, berupa pengiriman foto atau video bernuansa seksual.  

“Merdeka itu harusnya bebas mengontrol tubuhnya, reproduksinya, menentukan kapan dia mau menikah, kapan dia mau punya anak, berapa jumlah anak. Ini mau aborsi mesti izin suami, udah gitu aborsi juga ditentukan harus sekian minggu di luar itu dianggap kriminal dan dipidana, padahal jangankan perempuan yang masih remaja atau anak-anak, yang dewasa pun belum tentu dia paham dia sedang hamil, sehingga dia telat untuk memeriksa dan ternyata kandungannya sudah lewat waktu untuk bisa aborsi dengan aman,” ungkapnya. 

Karena itu menurutnya penting bagi perempuan untuk berkumpul meneriakkan perlawanannya untuk memerdekakan dirinya. Karena perempuan sendiri yang semestinya  memiliki kontrol atas tubuhnya. Jika tak berjuang, maka sulit untuk merdeka.

2. Yatini Sulistyowati, Aktivis Buruh Migran

Sementara itu, Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI sekaligus Ketua Umum Serikat Buruh Migran dan Informal (Sebumi) mengungkapkan bagi perempuan buruh migran kemerdekaan mempunyai makna bahwa sebagai perempuan yang bekerja di luar negeri, mereka dihargai sebagai manusia. Artinya mereka mendapatkan jaminan perlindungan, didengar aspirasinya dan mendapat apresiasi yang layak. Sayangnya perempuan buruh migran belum merasakan kemerdekaan. Apresiasi apalagi perlindungan negara masih minim. 

Yatini menyoroti pidato presiden Jokowi dalam sidang tahunan MPR RI pada Selasa (16/8). “Ini tadi dalam pidato presiden nggak ada tuh ngomongin tentang buruh migran, padahal remitansi buruh migran itu sudah menjadi urutan kedua dalam ekonomi negara tapi itu tidak disebut sama sekali. Perlindungan kepada mereka juga masih pada tataran kata-kata, belum pada implementasi,” ujar Yatini.

Soal perlindungan Yatini bercerita pernah mendampingi perempuan buruh migran yang bermasalah dan justru dianggap mengumbar kejelekan negara ketika ia bersurat kepada banyak pihak dan berkoordinasi dengan NGO serikat buruh di negara tersebut serta menyuarakan kasus tersebut lewat tulisan di media. Sementara hal itu dilakukan karena respons yang diberikan perwakilan negara di luar negeri sangat lambat. 

Lebih jauh Yatini menyoroti hal dasar dalam perlindungan buruh migran yakni data yang hingga hari ini belum sinkron. “Ada data Sisko KTKLN-nya BP2MI, ada datanya BPS, ada datanya imigrasi terus ada lagi datanya Kemlu. itu nggak sinkron semua, nggak ada yang sama. Nah jika pendataan saja nggak bisa dilakukan oleh negara ini, bagaimana mau bicara bahwa perempuan pekerja migran merdeka? Belum. Mereka saja banyak yang tidak terdata,” kata Yatini.

Menurutnya pemerintah sudah menyediakan akses seperti Safe Travel juga Peduli WNI, tetapi tidak tersosialisasi dengan baik.

3.Noer Kasanah, Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Pendapat senada disampaikan Noer Kasanah, Koordinator Serikat PRT Merdeka. Menurutnya perlindungan negara terhadap perempuan pekerja merupakan aspek penting bagi kemerdekaan perempuan.  

“Arti kemerdekaan bagi saya sebagai perempuan PRT adalah PRT mendapatkan jaminan sosial dan diakui sebagai pekerja dengan memberikan dan melindungi melalui UU PPRT,” ungkapnya.

Namun hingga kini undang-undang bagi perlindungan PRT belum disahkan. Noer menambahkan kemerdekaan juga berarti terbebas dari sistem patriarki yang selama ini masih membudaya. Termasuk merdeka dari diskriminasi, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, dimanapun dan apapun pekerjaannya. Sebagai perempuan, kemerdekaan sesungguhnya adalah merdeka atas tubuh dan sistem reproduksinya. 

4.Devi Anggraini (Aktivis Perempuan dan Lingkungan)

Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) memaknai kemerdekaan sebagai pemenuhan kehidupan yang otoritasnya berada di tangan perempuan adat. 

“Bagi Perempuan Adat, kemerdekaan itu adalah kebebasan mempraktikkan, mengembangkan dan mewariskan pengetahuan perempuan adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang menjadi dasar kemandirian kehidupan komunitas baik secara ekonomi maupun budaya yang telah teruji lintas generasi,” kata Devi.

5.Puji Astuti, Penulis isu Disabilitas

Perempuan penulis isu disabilitas, Puji Astuti, mengungkapkan makna kemerdekaan baginya adalah ketika Ia bisa terlepas dari belenggu kekerasan yang pernah dirinya alami kemudian bangkit dan berdaya serta menemukan makna kehidupan berupa passion, hobi serta greget untuk bersama-sama membantu perempuan lain untuk bangkit.  

Kemerdekaan bagi Astuti harus disuarakan karena tidak setiap perempuan mampu untuk meraihnya. Terutama mereka yang masih mengalami diskriminasi, stigma dan kerentanan, seperti yang dialami para perempuan dengan disabilitas. Sehingga  tak hanya double bahkan triple kerentanannya. 

“Banyak hal menghadang di depan sebagai PR yakni mendidik setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan dan ragam gender lainnya untuk menjunjung tinggi nilai harkat martabat manusia dengan menghormati dan saling melindungi  dengan mencegah terjadinya tindakan kekerasan,” ucap Astuti. 

Astuti kini aktif mengadvokasi orang dengan disabilitas dan baru saja mendapatkan anugerah penghargaan S.K. Trimurti Award 2022 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dia mengadvokasi isu disabilitas yang merupakan salah satu isu minoritas yang paling kerap terlupakan. Ia juga secara konsisten mendampingi penyandang disabilitas. Ibu tunggal dua anak ini menjadi relawan untuk membantu anak dengan penyakit kelainan darah dan komunitas peduli skizofrenia.

6.Jessica Ayudya Lesmana, Seniman dan Penulis Isu Transpuan

Seniman dan penulis, Jessica Ayudya Lesmana mengungkapkan arti kemerdekaan baginya adalah saat kelompok minoritas termasuk dari ragam gender dan seksualitas bisa mempunyai ruang aman bersuara. Salah satunya melalui karya seni. Selama ini para transpuan masih harus merasakan ketakutan. Mau berkarya saja takut dilarang. Baginya, ini belum merdeka.

“Kemerdekaan untuk transpuan secara pribadi masih ada ‘di balik selimut’ seperti yang telah kutulis karya ‘Di Balik Selimut’. (Transpuan) bisa menuliskan diary (tulisan) dan menceritakan semuanya tanpa rasa takut apapun, keluar dari selimut dan membuka pintu rumah harus menghadapi realita yang masih berjarak dan penuh stigma terhadap kelompok transpuan,” kata Jessica. 

Transpuan yang biasa menulis isu perjuangan hak-hak minoritas hingga kekerasan berbasis gender itu mengatakan, karya seni semestinya bisa menjadi ruang berekspresi dan bersuara. Sehingga, kemerdekaan haruslah menjadi milik semua warga negara tanpa terkecuali. 

“Karya seni dapat dilihat publik, dan menceritakan perspektif yang beragam. Bonusnya, dapat menikmati keindahannya.” 

7.Khalida Zia, Aktivis Muda Aceh

Aktivis perempuan muda asal Aceh, Khalida Zia, Hari kemerdekaan itu bermakna sebagai momentum untuk merenung. Tentang seberapa Negara ini telah memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi, melindungi keberagaman dan mendukung kesetaraan bagi perempuan. 

Perempuan yang juga Direktur The Leader itu pernah menuliskan catatan kritisnya terkait keberagaman dalam artikel yang tayang di Konde.co berjudul ‘Terpaksa Pakai Jilbab walau Bukan Muslim: Hidup Memang Penuh dengan Kompromi”. Dia menceritakan sosok perempuan bernama Annisa yang bukan Muslim, yang harus berkompromi saat berhadapan dengan situasi adat dan agama yang memaksanya untuk berjilbab di Aceh. Ini artinya ada perampasan hak bebas memilih untuk ada pemaksaan dalam penggunaan baju. Khalida Zia melihat, ketika ada pemaksaan, ini artinya perempuan belum merdeka.

“Suara perempuan nyaris tidak terdengar. Karena adanya anggapan ruang publik adalah ruang laki-laki. Aku bersama tim The Leader terus mengajak para perempuan di Indonesia untuk merdeka. Dan berani cerita terhadap apapun yang dialaminya. Tahun ini kami membuat buku #Aku Berani Cerita yang menceritakan kisah dan pengalaman pemuda di aceh merebut rasa dan ruang aman di Aceh,” ujar Zia. 

8.Siti Aqidatul Izza, Pengurus Pondok Pesantren

Perempuan pengurus Pondok Pesantren di Yogyakarta, Siti Aqidatul Izza, menyampaikan makna kemerdekaan baginya adalah institusi pendidikan harus menjadi ruang aman dari pelecehan dan kekerasan seksual termasuk di pondok pesantren. Aturan tegas dan upaya preventif untuk melindungi perempuan dan anak perempuan harus diterapkan dengan optimal. 

“Jangan sampai merusak kepercayaan orang tua yang telah menitipkan anaknya, yang semestinya mendapatkan pendidikan bukan pelecehan ataupun kekerasan,” kata Izza.  

9.Cheta Nilawaty, Jurnalis dan Penyandang Disabilitas

Perempuan jurnalis dan penyandang disabilitas netra, Cheta Nilawaty mengatakan makna kemerdekaan bagi dirinya adalah independensi diri untuk ikut dalam suatu hal aktivitas, terus mengambil keputusan partisipatif, keterlibatan, peran serta, menciptakan sebuah kondisi yang aksesibel, inklusif, dan dukungan aturan-aturan yang afirmatif. Sebagai penyandang disabilitas tentu berbeda dengan mereka yang bukan disabilitas karena kebutuhannya juga berbeda. Apalagi selama ini penyandang disabilitas sudah sering terstigmatisasi.

“Merdeka itu maknanya kami ingin punya independensi yang bisa mengikutsertakan kami dalam kehidupan masyarakat pada umumnya sehingga kedisabilitasan kami hanya dianggap sebagai keragaman biologis bukan sebagai kekurangan, kecacatan atau hal yang akan menghambat kami di segala bidang,” ujar Cheta.

Karena itu menurutnya menciptakan kemerdekaan bagi difabel adalah dengan menyediakan akses yang sesuai dengan kebutuhan jenis ragam disabilitas atau kebutuhan masing-masing individu disabilitas itu sendiri. Ini analoginya sama dengan setiap individu yang punya kebutuhannya masing-masing.

Penyediaan akses yang sesuai kebutuhan akan memungkinkan penyandang disabilitas untuk mengambil peran dan berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan.

“Kami juga ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dimanapun kami berada,” kata Cheta.

Sebagai warga negara, perempuan sebenarnya memiliki hak konstitusi yang sama dengan warga negara lainnya. Komnas Perempuan dalam catatan Indonesia merdeka di tahun 2020, menuliskan 40 hak konstitusional perempuan yang terdiri dari 14 rumpun yang harus mendapatkan perlindungan, antara lain

1.Hak Bebas dari Ancaman, Diskriminasi dan Kekerasan (Pasal 28G)

 2.Hak atas Rasa Aman dan Perlindungan dari Ancaman Ketakutan untuk Berbuat Atau Tidak Berbuat Sesuatu Yang Merupakan Hak Asasi (Pasal 28G (2)), 

 3.Hak untuk Bebas Dari Penyiksaan Atau Perlakuan Yang Merendahkan Derajat Martabat Manusia (Pasal 28I (2)), 

 4.Hak Untuk Bebas Dari Perlakuan Diskriminatif Atas Dasar Apa pun (Pasal 28H (2))

Pada kenyataannya, angka kekerasan terhadap perempuan angkanya meningkat setiap tahun. Ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh budaya patriarki, kebijakan dan regulasi  yang tidak adil terhadap perempuan maupun politik, serta hukum yang tidak berperspektif perempuan. Banyak perjuangan yang sudah dilakukan perempuan, namun perempuan saja yang berjuang itu tidak cukup, semua orang harus memperjuangkannya, di tingkat keluarga, lingkungan, juga pemerintah yang mengambil kebijakan untuk perempuan. 

Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan mendiskriminasi perempuan dan tak mengikutsertakan suara perempuan. Jika kondisinya terus seperti ini, ini artinya Indonesia belum merdeka.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!