Diajak Kencan, Ditarik Tali BH, Diancam: Praktik Kekerasan Gender di Industri Fashion Kekinian

Para buruh dalam industri fashion kekinian mengalami kekerasan gender, mulai dari diancam, dikirim pesan bernada seksual hingga diajak kencan. Di luar itu ditarik tali BH nya dan ditahan untuk tak mengambil cuti melahirkan. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan fisik berupa dipukul, ditendang, dijambak. Kondisi ini banyak tersembunyi di pabrik-pabrik yang kebanyakan pekerjanya adalah perempuan

Sebuah Penelitian dilakukan oleh Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan Worker Rights Consortium (WRC) di tahun 2020-2021 mengungkap soal kekerasan berbasis gender di industri fashion

Penelitian yang dilaunching pada Juli 2022 ini juga mendapatkan hasil bahwa hanya 12% buruh yang berani untuk melawan. Kebanyakan buruh bersikap diam terhadap tindakan kekerasan atau pelecehan karena takut dengan atasan

Kejadian di Semarang

Lihat saja bagaimana perlakuan perusahaan terhadap para buruhnya, para buruh ini dimaki-maki seolah bukan manusia

“Kalau sebutan oleh atasan dengan jenis-jenis binatang, apalagi kalau marahnya pake bahasa Korea, kita anggap biasa. Atasannya itu bisa orang lokal atau asing, bisa laki-lak, bisa perempuan. Tapi paling menyakitkan kalau disebut ‘picèk matamu!’ (buta matamu, red.). Sakit sekali rasanya. Gak bisa apa-apa, paling nangis.”

Pernyataan itu dituturkan oleh Y,  satu dari buruh perempuan pembuat pakaian merek Fanatics, Adidas, H&M, Colombia Sport, Nike, V.F dan HEMA di Semarang Jawa Tengah, pada Maret 2021.

Kejadian di Subang

Perlakuan buruk lain terjadi pada para buruh di Subang, Jawa Barat. Mereka ada yang ditendang, beberapa buruh diminta mengganti uang ganti rugi sebesar Rp. 1 Miliar

Peristiwa ini dimulai pada awal Maret 2021 dimana telah tersebar video buruh yang ditendang. Di video tersebut tampak seorang laki-laki berdiri, berkacak pinggang disertai mulutnya yang tidak berhenti memaki, kemudian melayangkan tendangan ke arah kerumunan buruh yang tengah duduk. Kejadian tersebut terjadi di PT Taekwang Industrial Indonesia, Subang Jawa Barat, perusahaan pembuat sepatu merek Nike (DetikNews.com, 9 Maret 2021). 

Kasus tersebut berakhir dengan pemecatan terhadap tenaga kerja asal Korea Selatan. Namun, Manager Senior PT Taekwang Epi Slamet berdalih, peristiwa tersebut muncul karena buruh melanggar protokol kesehatan dan larangan makan minum di dalam pabrik (Sindonews.com, 6 Maret 2021). Sedangkan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Subang Yeni Nuraeni mengecam tindakan kekerasan di pabrik tersebut (Tribunnews.com, 6 Maret 2021).

Masih dari Subang Jawa Barat. Akhir 2021, sebanyak tujuh pengurus serikat buruh dituntut mengganti kerugian Rp 1 miliar oleh manajemen PT Pungkook One Indonesia, perusahaan pembuat tas merek The North Face. Manajemen merasa dirugikan dengan pengerahan massa buruh yang berdampak pada aktivitas produksi.

Manajemen PT Pungkook One Indonesia Subang mencabut gugatan kepada buruh, setelah FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) mengancam balik menuntut PT Pungkook sebesar Rp100 miliar, mengerahkan pemogokan dan akan melaporkan PT Pungkook ke Komite Kebebasan Berserikat Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). (Holopiscom, 6 Januari 2022).

Meski berakhir damai, melalui kuasa hukumnya manajemen PT Pungkook Subang menekankan bahwa perkara gugatan terhadap buruh karena serikat buruh melanggar kesepakatan untuk tidak mengerahkan lebih banyak massa buruh ketika melaksanakan demonstrasi menuntut kenaikan upah minimum (Jabarekspres.com, 12 Januari 2022).

Pola yang Digunakan Perusahaan

Dua contoh terakhir di atas memperlihatkan pola yang sama dari manajemen pabrik ketika berhadapan dengan kekerasan dan pelecehan berbasis gender, yaitu perusahaan-perusahaan hanya menyalahkan para buruh.

Walaupun terjadi pemecatan terhadap pelaku kekerasan dalam kasus kedua dan mencabut gugatan dalam kasus ketiga, pengelola pabrik membuat dalih bahwa tindakannya dapat dibenarkan. Peristiwanya sendiri dianggap sebagai peristiwa parsial yang terpisah dari struktur sosial.

Tiga kasus di atas, memperlihatkan praktik kekerasan dan pelecehan terhadap buruh di tempat kerja, yaitu di Kabupaten Semarang Jawa Tengah dan Kabupaten Subang Jawa Barat. Dua wilayah yang mewakili industri baru.

Pada Januari 2020 hingga Januari 2021, DPP SPN (Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional) dan WRC (Worker Rights Consortium) dan LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) mempelajari, mendokumentasikan dan membandingkan mengenai praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender di pabrik pembuat pakaian jadi pemasok merek-merek internasional di wilayah lama dan baru. Wilayah baru merupakan daerah-daerah yang menjadi tujuan relokasi dan ekspansi pabrik dari wilayah lama, yang mulai dibentuk pada 2010.

Kekerasan Gender di Wilayah Lama: Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Serang dan Semarang

Wilayah lama merupakan daerah yang dibentuk pada kurun 1980-an hingga awal 2000-an. Ciri utamanya, wilayah industri tersebut dibiayai negara atau penetapan status kawasan berikat terhadap sebuah pabrik. Sedangkan wilayah baru dibentuk sejak 2010-an.

Ciri utama kawasan industri dibentuk oleh swasta, atau kerja sama pemerintah pusat atau daerah dengan swasta atau menjadikan kawasan industri swasta sebagai obyek vital nasional.

Di periode kedua tersebut penyelenggara negara mempersilakan, memfasilitasi dan mengarahkan pabrik pakaian jadi ke wilayah baru. Penyelenggaran negara memberikan berbagai kemudahan perizinan, potongan pajak, hingga pemastian ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah industri.

Pabrik pakaian jadi dalam penelitian ini beroperasi di Kantor Berikat Nusantara /KBN Cakung Jakarta, Bogor Jawa Barat, Sleman Yogyakarta, Serang Banten serta Kabupaten Semarang, sebagai wilayah lama. Sedang pabrik-pabrik yang beroperasi di wilayah baru terletak di Subang dan Majalengka Jawa Barat Brebes dan Grobogan Jawa Tengah.

Pabrik pakaian jadi dalam penelitian ini mengerjakan pesanan dipasarkan ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Ada pula yang dipasarkan di Indonesia. Merek yang diproduksi di antaranya; Adidas yang dibuat di lima pabrik; Nike, Reebok, H&M, TNF, Under Armour, Mizuno, dan Fanatics, masing-masing dibuat di dua pabrik. Merek-merek lain, seperti GAP, Eastpack dibuat di satu pabrik.

Dengan melakukan survei dan wawancara mendalam kepada 141 orang buruh tidak berserikat, buruh anggota serikat dan pengurus serikat buruh. Penelitian ini dilengkapi dengan studi dokumen, pengamatan terlibat dan diskusi terfokus. Data-data lain diperoleh melalui kliping media massa, pernyataan resmi pemerintah, pengusaha, pemilik merek dan riset-riset yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.

Tiga Jenis dan Bentuk Kekerasan dan Pelecehan

Dari 141 responden sebanyak 86 persen memberikan keterangan mengenai pengalaman serta kesaksian kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Rata-rata buruh mengalami tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan lisan (78 persen), fisik (58 persen) dan jenis kekerasan lainnya (32 persen).

Dari satu jenis kekerasan buruh dapat mengalami atau menyaksikan tiga bentuk kekerasan sekaligus. Singkatnya, saat bekerja buruh dilempar bahan material disertai makian dan dipaksa menyelesaikan target hingga melebihi jam kerja normal tanpa dibayar lembur.

Bentuk-bentuk kekerasan lisan meliputi teriakan, panggilan kasar, ancaman, dikirim pesan bernada seksual melalui media sosial atau telepon genggam hingga ajakan kencan. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan fisik berupa dipukul, ditendang, dijambak, dilempar, ditunjuk dengan jari. Bentuk-bentuk kekerasan lainnya berupa disentuh, dipeluk, diintip, ditepuk pantat dan dijepret/ditarik tali BH, dihukum berbaris, berjemur, penambahan target produksi atau jam kerja dan menahan cuti melahirkan dan haid. Secara terpecah dan tidak teratur penelitian ini menangkap pula bentuk-bentuk eksploitasi seksual terhadap buruh perempuan agar diterima bekerja atau tidak diputuskan kontrak. Ketika terjadi interview penerimaan calon tenaga kerja pelamar perempuan diminta untuk berjalan lenggak-lenggok seperti model. Ketika kontrak kerja akan berakhir buruh perempuan diminta untuk ‘mendekati’ atasannya.

Praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja memperlihatkan pola yang spesifik, yakni terjadi pada waktu, tempat dan pelaku tertentu.

Dari 81 persen buruh, 50 persen menyebutkan peristiwa kekerasan terjadi pada saat jam kerja, 9 persen saat masuk kerja, 8 persen menyebut saat target tidak terpenuhi. Jika target tidak terpenuhi akan mendapat ancaman penambahan target produksi, ancaman pemecatan atau mutasi. Jika target tercapai pun tidak diberikan bonus. Hanya buruh di bagian leader ke atas yang mendapat tambahan pendapat ketika berhasil mencapai target.

Sebanyak 73 persen menyebut bahwa lokasi kekerasan terjadi di area kerja, 4 persen terjadi di area kerja dan lapangan parkir. Responden mengungkapkan rata-rata kekerasan dilakukan oleh supervisor (29 persen), teman kerja (12 persen), Atasan Langsung (10 persen), personalia dan petugas keamanan (6 persen).

Penelitian ini pun mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Begitu pula penyintas kekerasan dan pelecehan dapat dialami oleh perempuan atau laki-laki. Karena pabrik pakaian jadi lebih banyak mempekerjakan perempuan, mayoritas penyintas adalah perempuan.

Di wilayah lama maupun baru, perusahaan-perusahaan pemasok pakaian jadi merek internasional memiliki karakter yang sama, yakni bergantung pada bahan baku internasional dan jenis produksi yang berdasarkan order dan kualitas barang internasional. Hal ini ditambah dengan pembagian kerja dalam rantai pasok yang semakin spesifik. Maka, terdapat kesamaan cara bekerja yakni menuntut pemenuhan target dengan menghindari sekecil mungkin kegagalan produksi. Karakter industri ini menyaratkan pengawasan yang ketat yang bersifat harian. Karena itu, untuk mencapai target dan kualitas produksi, terjadi kekerasan dan pelecehan harian yang dialami buruh-buruh di tingkat operator. Para pelaku kekerasan dan pelecehan adalah supervisor dan atasan dalam struktur produksi atau menempati posisi lebih tinggi dalam struktur sosial, yang diwakili oleh jenis kelamin laki-laki. Sehingga praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender berkaitan dengan kepentingan mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan melipatgandakan akumulasi keuntungan.

Jika di wilayah lama usia rata-rata buruh operator 27 hingga 46 tahun, di wilayah baru pabrik mempekerjakan buruh usia muda antara 21 sampai 24 tahun. Jika di wilayah lama buruh operator berasal dari Jawa Tengah dan Sumatera, di wilayah baru buruh berasal dari wilayah sekitar pabrik.

Namun di wilayah baru, level atasan dan supervisor berasal dari pabrik sebelumnya, yang telah bertahun-tahu berhadapan dengan buruh yang bekerja serba cepat.

Buruh di wilayah baru seringkali dianggap lambat dalam bekerja karena tidak mampu mencapai target produksi seperti di wilayah lama. Dalam narasi harian perwakilan perusahaan biasanya mengungkapkan kesulitan mendapat tenaga kerja terampil dengan bahasa ‘orang Jawa bekerja lelet’.

Relokasi memperluas dan meningkatkan bentuk kekerasan dan pelecehan

Jenis dan bentuk kekerasan berbasis gender di wilayah baru lebih tinggi ketimbang di wilayah lama. Perbandingannya 42,22 persen di wilayah lama dan 37,50 persen di wilayah baru.

Di wilayah lama kekerasan lebih banyak terjadi di area kerja (67,71 persen), di wilayah baru kekerasan terjadi di area kerja (84,44 persen). Bentuk dan jenis kekerasan di wilayah lama maupun baru terjadi pada saat jam kerja. Masing-masing 41,67 persen dan 68 persen.

Dengan melihat perbandingan tersebut dapat ditafsirkan; jika di wilayah lama buruh mengalami kekerasan secara terus menerus agar mematuhi disiplin target produksi, sementara di wilayah baru buruh mengalami kekerasan agar dapat mencapai target produksi. Mekanisme pendisiplinan tersebut berkaitan dengan kepentingan mempertahankan jumlah dan kualitas produksi agar tetap sama bahkan lebih baik dari wilayah lama. Sebagai gambaran jika di wilayah lama buruh dapat mencapai target produksi 3000 pieces kaos per hari maka buruh di wilayah baru akan dipaksa mencapai target yang sama. 

Kekerasan di Masa Covid-19

Selama pandemi Covid-19 terjadi bentuk kekerasan lain yaitu perampasan hak kesehatan dan keamanan ketika bekerja. Saat Covid-19 para responden tetap bekerja normal tanpa perlindungan memadai mencapai 51,16 persen, tanggungan tes reaksi Covid-19 ditanggung perusahaan hanya 12 persen. Karena industri pakaian jadi mayoritas mempekerjakan perempuan maka korban utama kebijakan Covid-19 menyengsarakan perempuan.

Dengan demikian, program pencegahan penularan Covid-19, sebenarnya, diabaikan oleh para pemilik pabrik. Pemilik pabrik lebih menyayangi dan mengamankan jumlah keuntungan ketimbang kesehatan buruh.

Seandainya buruh mendapat program gilir kerja, dirumahkan atau penghentian sementara produski bukan karena untuk melindungi kesehatan buruh tapi karena pesanan barang menurun atau kesulitan bahan baku atau mendapat teguran pemerintah. Ketika mengalami pengurangan jam kerja atau terkena gilir kerja upah buruh 50 persen dari UMK dan pemotongan tunjangan kehadiran dan cuti tahunan, 45 persen dirumahkan dengan pembayaran upah yang dicicil dan 62 persen upahnya tidak dibayar penuh dengan 33 persen THR tidak tepat waktu, 26 persen mengalami pemutusan kontrak, 33 persen buruh yang putus kontrak tidak dibayar sisa kontraknya dan 14 persen mengalami pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi tidak sesuai aturan (20 persen). Respons-respons tersebut tidak dimusyawarahkan dengan serikat buruh atau buruh (11 persen), bahkan 20 persen mengatakan tidak tahu-menahu tentang kebijakan tersebut.

Ketidakefektifan Peraturan Pencegahan Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Tempat Kerja

Kode etik para pemilik merek semuanya menyaratkan para pemasok agar menjamin tidak ada tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dan mematuhi hukum nasional.

Dalam kode etik pun dinyatakan bahwa para pemasok harus menghormati dan melindungi hak dan martabat para buruh. Under Armour, Adidas, Converse, Reeboks, TNF (FV), Eastpak, Nike, GAP, Polo Lauren, Volcom, Champion, Asics, New Balance, OshKosh,  Carter’s, ZARA (Inditex), Uniqlo (Fast Retailing), Timberland, Tommy Hilfiger (PVH), Calvin Klein (PVH), Kohl’s, O’Neill memiliki kode etik yang diumumkan melalui laman website dalam bahasa Inggris. Merek-merek seperti GAP, Adidas dan Nike, menyediakan kode etik berbahasa Indonesia. Kode etik tersebut ditempel dinding pengumuman di pabrik. Merek lainnya, seperti Polo dan TNF, tidak menerjemahkan kode etiknya apalagi menempelkan kode etiknya di pabrik pemasok. Untuk memantau pelaksanaan kode etik tersebut disediakan kotak pengaduan, hotline pengaduan, bidang complaint yang mewakili merek tertentu.

Dari 12 pabrik, 7 pabrik memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama), 5 pabrik menggunakan PP (Peraturan Perusahaan). Dari seluruh PKB, lima pabrik tidak memiliki kebijakan khusus yang melarang kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja. PKB dan PP tersebut kemudian disebarluaskan kepada para pekerja.

Rata-rata isi PKB dan PP mendefinisikan pencegahan dan larangan kekerasan berbasis gender beserta jenis sanksinya. Namun, tidak menyediakan mekanisme pengaduan yang memadai, seperti jaminan keamanan, kerahasiaan dan rehabilitasi bagi pelapor.

Secara rinci tergambar bahwa definisi pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender merujuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan memunculkan kembali Pasal Kesalahan Berat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. ‘Pasal Kesalahan Berat’ melanggar prinsip pembuktian, asas praduga tak bersalah dan kesamaan hak di depan hukum. Pasal tersebut telah dicabut kekuatan hukumnya oleh Mahkamah Konstitusi (Hukumonline.com, 5 Februari 2020). KUHP maupun Pasal Kesalahan Berat merupakan pasal-pasal yang bertujuan mendisiplinkan buruh dan memecat buruh tanpa melalui proses pengadilan ketimbang menjamin keamanan bekerja.

Kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi di ruang dan waktu yang spesifik, yaitu di lini produksi pada saat jam kerja. Peraturan pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja berupa CoC, PKB, PP plang ‘kawasan bebas pelecehan seksual’ tidak dapat mengurangi tingkat kekerasan karena gagal ‘melindungi keamanan dan menguatkan penyintas’ alih-alih mengalami kepincangan konseptual dan praktis.

Secara teknis peraturan pencegahan kekerasan di tempat kerja menghadapkan penyintas dengan pelaku: “Korban melapor kepada atasan, atasannya adalah pelaku kekerasan”. Lebih jauh, upaya-upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual tidak melibatkan buruh operator sebagai pihak yang sehari-hari menghadapi bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan.

Apa Saja Perlawanan Buruh terhadap Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender?

Ketika peristiwa kekerasan menimpa buruh, sebanyak 43 persen bersikap diam, bahkan cenderung tidak memberikan jawaban sebanyak 40 persen. Namun sebanyak 12 persen buruh menyatakan bentuk-bentuk perlawanan harian yang bersifat defensif.

Rupa-rupa perlawanan diperlihatkan dengan membalas teriakan, pura-pura bernyanyi atau melapor ke serikat buruh. Rata-rata yang dilaporkan adalah tindakan kekerasan fisik dan lisan. Perkembangan laporan terkadang tidak ada penyelesaian; atau jika diselesaikan dengan cara musyawarah dan persoalan dianggap selesai; atau pelaku mendapat sanksi 58 persen dari total yang dilaporkan. Sebanyak 18 persen responden merasa tidak mengetahui sanksi terhadap pelaku kekerasan, 10 persen pelaku mendapat sanksi berupa dikeluarkan dari pekerjaan.

Alasan buruh bersikap diam terhadap tindakan kekerasan atau pelecehan bersikap diam atau tidak melapor atau tidak melawan karena merasa takut. Jenis ketakutannya karena berhubungan dengan pekerjaan atau karena yang dihadapi adalah atasannya. Kemudian, sebanyak 9 persen menganggap tindakan kekerasan sebagai kejadian wajar, percuma melakukan perlawanan, atau dipersepsikan ‘bercanda’. Diam sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan pekerjaan. Namun tindakan kekerasan dan pelecehan berbasis gender akan menjadi bahan obrolan sesama buruh di satu lini produksi. Mekanisme tersebut akan mengucilkan pelaku kekerasan dari lingkungan pergaulan.

Penelitian ini menandai pentingnya membuat ‘penghubung’ perlawanan harian buruh operator dengan serikat buruh sebagai institusi yang absah dan memiliki pengalaman mengatasi persoalan di tempat kerja. Namun, terdapat kesan kuat bahwa para pengurus serikat buruh menganggap peristiwa kekerasan dan pelecehan sebagai peristiwa personal dan bersifat wajar yang tidak memiliki kaitan dengan kepentingan akumulasi keuntungan dan menegakan supremasi patriarki. Peristiwa kekerasan akan diselesaikan ketika dianggap ‘sudah keterlaluan’. Definisi ‘keterlaluan’ jika terdapat tindakan fisik berupa pemukulan.  Sehingga diperlukan peningkatan kapasitas serikat buruh agar dapat merespons isu-isu kekerasan di tingkat lini produksi.

Pengamatan memperlihatkan bahwa pengurus serikat buruh tingkat pabrik 90 persen adalah laki-laki, tidak memiliki program khusus perempuan dan kesulitan menjangkau dan melibatkan anggota dalam kegiatan-kegaitan organisasi. Beberapa opsi yang dapat ditempuh adalah memperkuat peer grup perempuan di lini produksi, memperbanyak media yang dapat menghubungkan perempuan dengan serikat buruh, termasuk kemungkinan mengadukan kekerasan dan pelecehan seksual berbasis gender dengan anonim, membentuk tim investigasi kekerasan dan pelecehan berbasis gender, memperbanyak ruang diskusi atau memperbanyak pengurus perempuan dan  pelibatan anggota perempuan lebih luas dalam merumuskan klausul-klausul PKB.

Jika penyelenggara negara di tingkat pusat maupun daerah bersedia menjanjikan tenaga kerja melimpah, muda dan terampil kepada investor, masuk akal jika disertai dengan ketersediaan kerangka hukum untuk mencegah kekerasan dan pelecehan berbasis gender.

Pada akhirnya, pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender membutuhan norma hukum yang umum, yaitu ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

(Tulisan ini merupakan ringkasan laporan penelitian dengan judul, Tendangan, Saekkia (새끼), Picek Matamu!: Riset Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Pabrik Pakaian Jadi di Wilayah Industri Lama dan Industri Baru (Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah) 2020-2021. Penelitian dilaksanakan oleh LIPS, DPP SPN dan WRC. Laporan lengkap dapat diunduh di laman berikut ini)

Syarif Arifin

Peneliti LIPS, Lembaga Informasi dan Perburuhan Sedane.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular