Faktor Kultur Hambat Perempuan Jadi Kepala Sekolah

Studi di Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama dengan program INOVASI pada tahun 2021 menunjukkan persentase guru perempuan di jenjang sekolah dasar (SD) mencapai 70% – tapi kepala sekolah perempuan hanya mencapai 45%.

Ketersediaan guru perempuan yang memadai tidak diiringi dengan kehadiran mereka pada posisi kepala sekolah. Bahkan, angka kepala sekolah perempuan terus menurun seiring naik jenjang. https://flo.uri.sh/visualisation/10773847/embed

Hal ini selaras dengan kajian-kajian kami sebelumnya. Di ranah publik, ada ketimpangan jumlah pejabat perempuan dibandingkan laki-laki – dari birokrasi di kementerian hingga struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di partai politik.

Di sini, kami mengamati suatu pola yang konsisten: keseimbangan gender cukup baik pada tahap penerimaan atau rekrutmen, namun merosot drastis pada jabatan atau posisi kepemimpinan strategis.

Dalam konteks pendidikan, riset kami bersama INOVASI melihat barrier atau hambatan yang dialami perempuan saat hendak menjadi kepala SD atau MI (madrasah ibtidaiyah).

Pada proses pemilihan kepala sekolah, misalnya, setiap individu menghadapi tahapan proses seleksi yang mengedepankan kompetensi. Tahapan ini diatur masing-masing dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2018 untuk SD dan Permenag No. 58 Tahun 2017 untuk MI.

Aturan-aturan ini dianggap ‘netral gender’ dan berbasis bakat, kemampuan, dan prestasi calon kepala sekolah.

Tapi, dengan demikian, regulasi tersebut justru menjadi buta terhadap berbagai kondisi kultural yang menghambat guru perempuan di Indonesia.

Hambatan multidimensi yang dihadapi calon kepala sekolah perempuan

Studi CWI menunjukkan perempuan menghadapi hambatan multidimensi yang saling berhubungan.

Hambatan utamanya terletak pada budaya. Hal ini bersifat tidak kasat mata dan jauh tersembunyi di ruang privat. Hambatan ini bersumber dari beragam norma gender dan merupakan wujud dari tradisi kultural dan interpretasi agama yang dampaknya nyata bagi perempuan.

Ini muncul sejak ruang lingkup terkecil yaitu keluarga. Misalnya, temuan CWI menunjukkan bahwa guru perempuan yang sudah menikah kerap memerlukan izin suami sebelum dapat berkarir menjadi kepala SD/MI. Mendapatkan izin suami dianggap penting karena berdampak terhadap pemenuhan ekspektasi peran domestik mereka.

Ekspektasi peran domestik ini pun berdampak pada kurangnya rasa percaya diri guru perempuan terhadap kemampuannya meniti karir sebagai kepala sekolah.

Studi CWI tentang birokrasi representatif juga menunjukkan kecenderungan serupa. Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan enggan mengikuti promosi jabatan karena merasa sangat kesulitan memenuhi tanggung jawabnya di rumah.

Selain itu, ada juga faktor waktu yang berkaitan erat dengan ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan – seperti melahirkan dan mengasuh anak.

Pemenuhan peran tersebut dianggap berpotensi “mengganggu” produktivitas perempuan di sekolah. Peran domestik yang kerap dilekatkan sebagai tanggung jawab utama perempuan, memengaruhi alokasi dan distribusi mereka. Akibatnya, mereka umumnya perlu waktu lebih panjang dalam meniti karir sebagai kepala sekolah.

Regulasi ‘netral gender’ yang tidak peka

Berbagai hambatan yang dihadapi guru perempuan tersebut seakan tidak dikenali dalam aturan pemilihan kepala SD/MI.

Sistem seleksi ini mengedepankan kompetensi, sehingga memang sifatnya netral gender. Tapi, ini berarti regulasi tersebut berasumsi bahwa terdapat peluang yang sudah setara antara guru perempuan dan laki-laki untuk menunjukkan capaian terbaik mereka.

Kurangnya prestasi kemudian dinilai sebagai kelemahan kompetensi, dan seakan tidak ada kaitannya dengan norma masyarakat tentang peran gender.

Dalam Permendikbud dan Permenag yang mengatur pemilihan kepala sekolah dan madrasah, ada enam tahapan; pengusulan, seleksi administrasi, seleksi substansi, pendidikan dan pelatihan (diklat), pengangkatan, dan penugasan.

Untuk ranah SD, studi kami menemukan bahwa guru dan kepala sekolah perempuan paling besar merasakan hambatan ini pada tahap pengusulan, diklat, serta penugasan.

Pada tahap pengusulan, misalnya, Permendikbud mengatur bahwa guru mulai dipertimbangkan jadi calon kepala sekolah setelah ditunjuk – biasanya oleh atasan atau guru “senior” – dan tidak bisa mengajukan diri secara otonom.

Ini membuat guru perempuan umumnya kesulitan untuk sewaktu-waktu menerima instruksi menjadi calon kepala sekolah. Ini terutama terjadi ketika guru perempuan sedang hamil atau memiliki anak balita, mempunyai beban pengasuhan anggota keluarga lain, atau tidak mendapatkan izin dari suami.

Selain itu, potensi penugasan di wilayah sulit juga menjadi disinsentif yang signifikan bagi calon kepala sekolah perempuan. Ini kerap jadi pertimbangan utama yang membuat mereka enggan mengikuti seleksi.

Kadang situasi ini disorot sebagai ketidaksiapan perempuan untuk keluar dari zona nyaman atau menghadapi segala situasi.

Padahal, keengganan tersebut muncul karena pengalaman khas mereka, yaitu ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan, kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dalam relasi keluarga, hingga ekspektasi sosial untuk selalu mendahulukan tanggung jawab domestik.

Tantangan mobilitas fisik seperti ketidakmahiran berkendara motor dan kondisi geografis yang menantang juga berkontribusi membuat beberapa guru perempuan kesulitan memenuhi penugasan sebagai kepala sekolah.

Lain halnya dengan pemilihan kepala MI Negeri (MIN), yang mana merupakan kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) di level provinsi. Sedangkan, untuk pemilihan kepala MI Swasta (MIS) merupakan otoritas pimpinan yayasan.

Dalam konteks pemilihan kepala MIN, diklat merupakan tahapan yang dianggap menyulitkan guru dan kepala MIN perempuan. Ini karena ketidakpastian penetapan lokasi yang kerap jauh dari domisili, dan durasi diklat yang cukup lama. Akibatnya, guru perempuan enggan mengikuti pemilihan kepala MIN karena perlu memperhitungkan waktu yang sesuai dengan kebutuhannya.

Proses pengangkatan kepala MIN juga dipengaruhi subjektivitas Kemenag dan tidak selalu dibarengi dengan ukuran penilaian yang jelas. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan bias terhadap perempuan.

Pemangku kebijakan terkait, misalnya, cenderung memilih kandidat laki-laki walaupun pengalamannya lebih sedikit daripada perempuan karena masih kuatnya pandangan umum bahwa perempuan tidak siap ditugaskan sewaktu-waktu.

Khusus pemilihan kepala MIS, otoritas penuh pemilihan kepala madrasah dipegang oleh pimpinan yayasan.

Studi CWI menemukan perempuan kepala MIS dengan potensi kepemimpinan yang baik, sulit mengembangkan karirnya akibat cara pandang yayasan yang masih skeptis terhadap kepemimpinan perempuan. Dalam konteks ini, mereka bisa saja dianggap “mengancam” tatanan tradisional sebagian MIS yang cenderung patriarkis dan biasanya dipertahankan turun temurun.

Mendorong seleksi yang berperspektif kesetaraan

Terbitnya Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah yang menggantikan Permendikbud Nomor 6 tahun 2018 hanya menambah sertifikat guru penggerak sebagai prasyarat guru untuk menjadi kepala sekolah.

Lagi-lagi, ini merupakan peraturan netral gender yang tidak memedulikan pengalaman calon kepala sekolah perempuan.

Sejumlah perbaikan sebenarnya dapat terjadi jika ada komitmen meningkatkan partisipasi kepemimpinan perempuan. Salah satunya, mengumumkan kejelasan cakupan wilayah penempatan calon kepala sekolah sejak awal proses pemilihan, yakni pada tahap pengusulan.

Dinas Pendidikan di daerah perlu menerbitkan informasi publik tentang daftar calon kepala sekolah yang dibutuhkan, berikut zonasi wilayah sekolah yang memerlukan kepala sekolah.

Segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan regulasi pemilihan kepala sekolah juga perlu mengenali tantangan mobilitas sebagian besar guru perempuan.

Mereka bisa membuka peluang penempatan calon kepala sekolah perempuan menggunakan sistem zonasi. Artinya, memprioritaskan wilayah yang dekat domisili dan relatif aman bagi calon kepala sekolah perempuan.

Seleksi netral gender memang terdengar sebagai hal yang baik. Tapi, hambatan multidimensi yang dialami perempuan – keterbatasan mobilitas fisik, beban tanggung jawab domestik, hingga alokasi ketersediaan waktu – sangat memengaruhi “kemampuan” mereka memenuhi seleksi tersebut.

Heru Poppy Samosir, Researcher, Cakra Wikara Indonesia; Anna Margret LG, Lecturer in Political Science and Researcher of Gender and Politics, Cakra Wikara Indonesia, dan Mia Novitasari, Research Officer, Cakra Wikara Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Anna Margret dkk

Lecturer in Political Science and Researcher of Gender and Politics, Cakra Wikara Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!