Ironi Penyandang Disabilitas: Diabaikan di Kota Ramah Disabilitas

Meski sudah memiliki payung hukum yang melindungi, penyandang disabilitas di sejumlah kota di Sulawesi Utara masih sering mengalami diskriminasi baik dalam mengakses fasilitas publik maupun dalam pemenuhan hak-hak mereka. Aturan yang ada masih sebatas di atas kertas.  

Bagi Allan Zefo Umboh keterbatasan sensor motorik tubuh yang disandangnya, harusnya tidak menjadi halangan untuk beraktivitas dan berkarya layaknya warga non disabilitas pada umumnya.

Namun, pada kenyataannya cap sebagai penyandang disabilitas, membuat Allan seakan menjadi warga kelas dua meskipun sudah ada aturan jelas untuk melindungi haknya di Sulawesi Utara (Sulut) sekelas UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulut nomor 8 tahun 2021 tentang Pelindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas.

Penyandang disabilitas fisik atau keterbatasan gerakan tubuh asal Desa Talawaan Kabupaten Minahasa Utara (Minut) ini mengaku kerap mengalami pelecehan, penolakan dan cemooh dari  warga yang bertemu dengannya. Salah satu contoh harian yang ditemui adalah kekerasan verbal. Tidak sedikit warga yang menertawakan ketidakseimbangan cara berjalan Allan. Ia juga kerap diolok-olok karena cara bertuturnya.

Untuk penggunaan fasilitas publik dan angkutan umum, Sarjana Sastra (SS) dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan Sarjana Ilmu Pendidikan Khusus dari Universitas Manado (Unima) ini kerap mengalami penolakan dan pengabaian.

Para pengemudi angkutan kota atau angkot di Kota Bitung menolak Allan, karena mereka menganggap penumpang seperti Allan akan menjadi beban yang menyita lebih banyak waktu dan tenaga mereka.

“Mereka pikir, saat turun saya harus dipapah atau dijaga khusus. Padahal saya tidak seperti itu, saya juga tidak mau dikasihani, saya mampu berjalan, walau tertatih,” tutur Allan yang kesehariannya bekerja sebagai guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Bitung, Manado, Tomohon dan Minut.

Perlakuan diskiminatif ini mendorong Allan untuk terlibat aktif dalam memengaruhi pengambil kebijakan. Ia kecewa dan merasa UU Penyandang Disabilitas dan Perda Perlindungan Penyandang Disabilitas belum tersosialisasi dengan baik dan menjangkau masyarakat luas, terutama warga Kota Bitung. Padahal Kota Bitung saat ini sedang menuju Kota Ramah Disabilitas.

Allan berharap pemerintah daerah gencar melakukan sosialisasi UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Daerah (Perda) Sulut Nomor 8 tahun 2021 tentang Disabilitas, agar tidak ada lagi penolakan seperti yang dialaminya. Harapan ini terutama agar jangan sampai dialami para penyandang disabilitas yang belum berusia dewasa, karena akan berdampak mendalam dan merusak kesehatan mental mereka.

Penulis lima buku ini, kemudian mengutip pasal 4 dari Perda Sulut Nomor 8 Tahun 2021 yang mengamanatkan, “pelindungan hak disabilitas, meliputi keadilan dan pelindungan hukum, kesehatan, politik, kesejahteraan sosial, infrastruktur,  pelayanan publik, pelindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, dan keagamaan.”

Allan lantas mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sayang ia belum berhasil merealisasikan mimpinya. Meski ia berhasil meraih 8.000 suara, tetapi peraturan KPU mensyaratkan 70 ribu sebagai suara batas minimal untuk lolos sebagai anggota DPR RI di Senayan, Jakarta.

Allan mengaku akan kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, dalam pemilu mendatang. Berkaca, dari perjalanannya yang mampu meraih ribuan suara tanpa mengeluarkan uang sedikitpun. Ia bertekad untuk tetap menekuni dunia politik selain kesibukannya saat ini mengajar. Ini bertujuan agar kelompok disabilitas di Sulut mendapat perlakuan yang semestinya dan kesempatan yang sama dengan kelompok nondisabilitas.

Karena disabilitas Riyani Tak Diberi Kesempatan

Kejadian yang hampir serupa, juga dialami oleh Riyani Saray Riung, seorang penyandang disabilitas fisik asal Kota Manado. Riyani, mengaku dirugikan saat penerimaan calon aparatur sipil negara (ASN) di Pemerintah Kota (Pemkot) Manado tahun 2021 lalu.

Lulusan S1 Psikologi dari Universitas Manado (Unima) ini kemudian menceritakan bahwa fomasi CPNS lalu, ada satu kursi yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Saat pendaftaran, Riyani menjadi satu satunya penyandang disabilitas yang ikut untuk formasi tersebut. Namun, saat kelulusan diumumkan namanya tidak keluar di formasi yang dikhususkan untuk warga dengan disabilitas tersebut.

Awalnya, perempuan asal Talaud ini mencoba memahami dan berpikiran positif. Namun saat mencari tahu nama yang berhasil lulus, Riyani kaget dengan hasil pencariannya.

“Alangkah kagetnya, saat tahu yang mengisi posisi formasi tersebut adalah warga umum yang nondisabilitas,” ungkap Riyani.

Ia enggan menyebut nama warga nondisabilitas yang berhasil lulus di seleksi CPNS formasi penyandang disabilitas di tahun 2021 itu. Namun Riyani menegaskan, kejadian ini adalah sebuah pelanggaran UU tentang Penyandang Disabilitas yang mengamanatkan agar pemerintah menyediakan 2% dari posisi yang tersedia untuk disabilitas.

Saat ditanya bagaimana mengatasi kekecewaannya Riyani menegaskan bahwa kejadian ini tidak akan membuatnya mundur. Dia tidak akan menyerah dengan mudah. Ia akan terus belajar, banyak membaca dan membangun ruang terbaik untuk mengatasi kondisi ini.

Saat ini Riyani banyak melakukan kegiatan untuk meningkatkan kemampuannya. Salah satunya, pelatihan menjahit pakaian jadi bersama komunitas disabilitas di Sentra Tumou Tou Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) di Manado.

Perempuan yang memiliki disabilitas ejak lahir di kedua kakinya ini, juga menyebut pendidikan yang didapat dari orang tua dan perguruan tinggi membantunya mengatasi rasa kecewa akibat penolakan yang membuatnya tidak lolos seleksi CPNS tersebut.

Riyani dengan lugas menegaskan akan kembali mengikuti tes CPNS kembali jika dibuka lagi tahun depan. “Kali ini, saya akan lebih tegas bersuara jika hal serupa terjadi lagi, tentu dengan berdasarkan UU dan Perda Disabilitas yang telah ada,” tandas pengurus rohani GMIM ini dengan tersenyum.

Penyintas Disabilitas Tuli yang Terlupakan.

Kondisi yang tidak kalah menakutkan juga pernah dialami oleh perempuan penyandang disabilitas sensorik, Vanessa Grace Helena Warbung. Ia hampir kehilangan nyawa saat bencana banjir dan tanah longsor melanda Manado pada 1 Februari 2019 lalu. Ia sempat terlupakan oleh warga di sekitar rumahnya yang lebih dahulu mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Saat ditemui, di sebuah rumah kopi di Manado, perempuan 22 tahun ini mengaku belum mampu menghilangkan trauma atas kejadian nahas yang menimpanya. Pegawai di salah satu mini market nasional di Manado ini mengungkapkan, kejadian tersebut melalui bahasa isyarat lewat gerakan tangannya yang lantas diterjemahkan oleh sang Ibu, Adeline Kotambunan.

Adeline yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, mengatakan bahwa Vanessa menjadi salah satu korban bencana tanah longsor yang melanda Kota Manado pada awal Februari 2019 lalu. Putri bungsunya ini, selama hampir enam jam tertimbun longsoran tanah dan kayu dari rumah utama keluarga mereka yang memang berada di kawasan rawan longsor Kelurahan Teling Atas, Kota Manado.

Selama enam jam, Vanessa yang tuna rungu harus berjuang sendirian tanpa ada orang lain di dekatnya. Saat evakuasi warga berlangsung di Teling Atas, beber Adelin, masyarakat dan aparat di kelurahan tidak memikirkan keberadaan putrinya. Walau, mereka tahu rumah Adelin terdampak bencana.

Saat kejadian, Vanessa berada di rumah seorang diri. Keberadaan Vanessa baru diketahui setelah kakak Vanessa, Ken Warbung (24 tahun) yang mula-mula bingung karena ketidakhadiran Vanessa di rumah aman tempat evakuasi yang disiapkan kelurahan untuk mengungsi.

Ken, kemudian mengingatkan ibunya tentang keberadaan Vanessa yang diyakini masih terjebak di rumah mereka dan menjadi korban bencana yang terjadi pada pagi hari sekira pukul 09.00 waktu Indonesia tengah (Wita).

“Keluarga kami, akhirnya sepakat untuk mencari Vanessa di reruntuhan rumah  kami yang telah roboh. Saat itu, untuk menuju ke rumah sudah tidak ada jalan aman dan jam sudah menunjukkan pukul 15.00 Wita dan hujan masih turun,” tutur istri dari Ferdinand Warbung dengan suara lirih.

Adelin mengungkapkan pihak kelurahan sempat melarang mereka mendekati rumah, selain karena faktor keselamatan juga karena mereka yakin Vanessa sudah berada di tempat yang aman. Namun, Ferdinand bersikeras untuk menyelamatkan Vanessa yang adalah lulusan dari Sekolah Luar Biasa (SLB) B GMIM Damai Tomohon itu.

Benar saja, Ferdinand Warbung yang dibantu beberapa warga lainnya menemukan Vanessa dalam kondisi yang mengenaskan. Setengah tubuhnya tertimbun oleh tanah longsor dan reruntuhan rumahnya. Saat ditemukan, Vanessa juga sudah mulai mengalami gejala hipotermia atau kehilangan panas tubuh akibat terlalu lama terendam dalam longsoran tanah bercampur air.

Vannesa menuturkan, selama enam jam dia berjuang sendirian, puluhan kali dia berdoa Bapa Kami dalam hati sambil menangis. Sebisa mungkin Vanessa berusaha mencoba bertahan dengan menggapai barang atau benda yang bisa menyelamatkan diri. Ia juga berusaha membuat suara nyaring agar keberadaan dirinya diketahui oleh petugas SAR. Namun, karena ia tidak bisa bersuara, maka upayanya tidak membuahkan hasil.

“Keterbatasan ini, membuat saya dilupakan saat bencana terjadi. Ini menakutkan saya, semoga kejadian ini membuat pemerintah setidaknya sadar keberadaan penyandang disabilitas di kawasannya,” kata mantan ketua Tim Matematika Sulut dalam Kompetisi SLB se Indonesia di Palembang pada 2015 lalu, seperti diterjemahkan sang ibu.

Ditanya soal kesempatan kerja, Vanessa mengakui amat sulit bagi penyandang disabilitas seperti dirinya untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagaimana kelompok nondisabilitas. Tak sekali ia mendapatkan penolakan dan kemampuan kerja sering dipertanyakan. Padahal, secara akademik, Vanessa memiliki nilai yang hampir sempurna.

Walau kini telah bekerja sebagai staf di perusahaan swasta nasional, Vanessa masih menyimpan keinginan untuk  melanjutkan pendidikan.

“Disabilitas tidak membuatnya kehilangan mimpi untuk sekolah. Dia ingin sekali bisa mengajar matematika yang menyenangkan untuk anak-anak, Vanessa sangat suka dengan anak-anak,” tutur ibunya mengakhiri pertemuan ini.

Kota Ramah Disabilitas Masih Jauh dari Kenyataan

Pengakuan Allan, Riyani dan Vannesa terkait perlakuan dan kejadian yang mereka alami menunjukkan pelindungan dan aksesibilitas serta kesempatan kerja untuk kelompok disabilitas masih sangat berjarak.

Fakta ini dibuktikan dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara (BPS Sulut). Kepala BPS Sulut, Asim Saputra menguraikan hasil survei pada tahun 2020 lalu, di 15 kabupaten dan kota, penyandang disabilitas yang berusia dewasa di atas 18 tahun berjumlah 22.899 penduduk. Dari data tersebut yang bekerja hanya sebanyak 3.666 penduduk penyandang disabilitas. Data ini mengungkapkan ada sekira 19.233 penyandang disabilitas usia produktif belum memiliki pekerjaan tetap.

“Ini artinya hampir 85 persen penyandang disabilitas di Sulawesi Utara tidak memiliki pekerjaan,” ujar Asim.

Asim juga mengungkap bahwa di era digital ini, terbuka peluang yang lebih besar bagi penyandang disabilitas. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan penyandang disabilitas bekerja di sektor ekonomi berbasis IT.

“Perusahaan berperan penting untuk membuka kesempatan bagi mereka yang memiliki kemampuan unggul walau punya keterbatasan fisik,” jelasnya.

Seperti diketahui, UU 8 Tahun 2016 mengamanatkan agar perusahaan swasta menyediakan 1% posisi di perusahaan untuk penyandang disabilitas. Menanggapi hasil ini, Ketua Gerakan Kepedulian Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Sulut, Sujito Talare menginginkan bukti nyata pengaplikasian UU dan Perda tentang Penyandang Disabilitas di masyarakat.

Ia mendesak serangkaian program yang bersahabat disesuaikan dengan amanat UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Perda Sulut nomor 8 tahun 2021 sendiri. Selain meningkatkan aksesibilitas Jito juga mendesak peluang kerja bagi penyandang disabilitas.

Jito menekankan bantuan tepat sasaran di masa pandemi, yang disebutnya bisa melalui produk binaan bagi penyandang disabilitas yang memiliki usaha mikro kecil menengah (UMKM), atau bantuan kesempatan kerja sesuai dengan isi Perda yang ada.  

“Ini perlu kerja sama dan kerja keras, kami bukan menjadi sampah masyarakat. Banyak dari kami yang memiliki kemampuan dan prestasi, namun sayangnya pengakuan dan penghargaan sangat minim,” sebut Jito, panggilan akrabnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Bitung, Lady Ambat yang dihubungi melalui telepon seluler, mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki dalam mengimplementasikan ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabitas, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2021 tentang disabilitas.

Kejadian yang menimpa Allan, Riyani dan Vanessa, disebut Lady sebagai masukan bagi Dinas Sosial Bitung agar bekerja lebih keras dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum untuk lebih menghormati keberadaan dan hak yang sama bagi para penyandang disabilitas.

Ambat mengaku, usai menerima laporan dari Allan atas sikap tak bersahabat dari para pengemudi, pihaknya langsung turun lapangan dan coba menyelesaikannya. Ia menegaskan, pemerintah akan menindak tegas jika kejadian seperti itu masih terjadi. Ia mengatakan pemkot Bitung masih terus berbenah dan melengkapi fasilitas public agar lebih ramah bagi para penyandang disabilitas.

“Wali Kota amat peduli dengan keberadaan para sahabat penyandang disabilitas,” tuturnya.

Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Sindroma Indonesia (YAPESDI) Agus Hasan Hidayat mengingatkan setiap individu termasuk para penyandang disabilitas memiliki kesempatan dan hak yang sama pada semua aspek, baik pekerjaan, kesehatan, pendidikan.

Semua ini dijamin dalam Konvensi dari International Labour Organization (ILO) 159 dan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Agus mengatakan UU itu menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dan menjadi payung hukum bagi penyandang disabilitas agar terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Secara garis besar, UU ini mengatur ragam penyandang disabilitas, hak penyandang disabilitas, penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak mereka, mulai dari hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang lebih baik dan kemudahan mengakses fasilitas umum.

Jika dirunut, ada empat ragam disabilitas yaitu fisik, sensorik, mental dan intelektual,  yang harus mendapatkan kesempatan dan hak yang setara untuk menggunakan fasilitas publik, kesempatan kerja dan perlindungan hukum.

Pada kenyataannya, kata Agus, walau telah terlindungi undang-undang masih banyak diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas. Salah satu penyebab, adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat akan keberadaan dan hak yang sama dari penyandang disabilitas.

“Saat penyandang disabilitas mencari pekerjaan amat sulit, walau kemampuan mereka di atas rata-rata namun banyak perusahaan yang memandang fisik semata hingga menyulitkan mereka,” terangnya saat Training dan Fellowship, Isu Gender dan Inklusi Sosial (GESI), yang digelar oleh Konde.co dan Voice Juli lalu.

Agus menambahkan minimnya aksesibilitas seolah memposisikan warga kelas dua. Ia mengajak jurnalis untuk berperan mensosialisasikan hal ini melalui tulisan, agar semakin banyak masyarakat yang memperlakukan penyandang disabilitas sebagaimana seharusnya.  

Hal ini diamini, pemimpin redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti. Menurutnya, media punya peran penting dalam mengupayakan pengarus-utamaan perspektif GESI di berbagai sector, termasuk di dunia kerja.

Gambaran yang dilakukan jurnalis terhadap gender dan inklusi, lanjut Luvi, berperan besar dalam menggugah kesadaran publik untuk ikut menghapus ketidakadilan gender dan memperjuangkan inklusi, termasuk bagi para penyandang disabilitas.

Artikel ini telah tayang di Manadones.com dan merupakan hasil dari Program Training dan Fellowship Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI) yang didukung VOICE dan Konde.co.

Grace Wakary

Jurnalis Manadones.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!