Jika Kamu Perempuan Pekerja Freelance, Inilah Hak Yang Harus Kamu Tahu!

Apa saja hak pekerja freelance di Indonesia? Apakah hukum di Indonesia mengatur para pekerja freelance yang saat ini jumlahnya makin banyak di dunia sejak revolusi industri 4.0?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerjasama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya: Namaku Dewi kak, aku adalah perempuan yang punya anak. Bekerja secara freelance adalah hal paling memungkinkan yang bisa aku lakukan saat ini, karena aku bisa mengatur waktu menjaga anak. Sedangkan suamiku bekerja secara full time. Kita semua tahu jika beban bekerja domestik selama ini dibebankan pada perempuan, maka aku memilih untuk bekerja secara freelance. Tapi secara hukum, pekerja freelance ini sebenarnya bukan pekerja informal kan ya kak? Apa saja hak yang diakui secara hukum dari pekerja freelance seperti aku ini kak?

Jawab: Halo Kak Dewi, ini memang kondisi memprihatinkan dimana perempuan harus memilih bekerja di rumah, tidak bisa bekerja secara full time karena harus bertanggungjawab atas anak dan rumah. Dan saat ini kak Dewi memilih bekerja secara freelance. Semangat ya kak!

Sebelum masuk pada dasar hukum yang harus diketahui oleh pekerja freelancer, harus mengetahui terlebih dahulu, apa itu freelancer. Freelancer atau pekerja lepas adalah seorang pekerja yang menjalani sendiri perjanjian kerja tertentu.

Merujuk pada buku pedoman kontrak kerja freelancer yang diterbitkan oleh Serikat SINDIKASI dan LBH Pers di tahun 2019, adapun poin-poin yang mengidentifikasi freelancer secara praktiknya yaitu pertama, pekerja freelancer adalah pekerja yang bekerja pada waktu yang singkat yaitu kurang dari 21 hari dalam sebulan. Kedua, jenis pekerjaannya menuntut keterampilan individu pada bidang spesifik. Ketiga hubungan dengan pemberi kerja diikat dengan perjanjian baik lisan maupun tertulis. Lalu keempat, dapat bekerja dengan alat produksi milik sendiri maupun pemberi kerja. Dan kelima, pekerjaan tersebut  tidak selalu menuntut kehadiran fisik di lokasi kerja.  Keenam, upah tidak ditentukan kehadiran, tetapi oleh hasil kerja sesuai dengan perjanjian kerja.

Situasi pada hari ini, memang banyak sekali jenis pekerjaan freelance jika melihat statusnya. Jika dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada yang disebut dengan Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ada pula pekerjaan yang perjanjiannya melalui perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, yang disebut dengan outsourching atau alih daya.

Menurut Pedoman Kontrak Kerja Freelancer yang diterbitkan lembaga SINDIKASI dan LBH Pers, ada beberapa poin kerentanan yang dialami oleh para pekerja freelance, pertama freelancer tidak bekerja di suatu tempat kerja yang jelas seperti kantor atau yang lainnya, tetapi bekerja dalam durasi tertentu. Kedua, freelancer pada umumnya tidak memiliki jaminan kesehatan dan pensiun. Padahal, status pekerja sebagai freelancer tidak jauh berbeda dengan pekerja tetap. Ketiga, pekerja freelancer dihadapi dengan target oleh pemberi kerja sehingga pekerja freelancer tidak mendapatkan hak upah lembur dari pemberi kerja. Keempat, kerentanan yang dialami oleh freelancer beragam yaitu kontrak kerja yang tidak jelas, sehingga ada beberapa poin mengenai hak dan kewajiban penerima dan pemberi kerja cenderung kabur, kerja yang reproduktif, masalah mental pekerja, dan berserikat.  

Menjadi seorang pekerja freelancer wajib untuk mengetahui dasar hukumnya. Hal ini dapat merujuk pada Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal ini juga mengatur mengenai pekerja freelance.

Adapun ketentuan umum dalam melakukan hubungan kerja sebagai freelancer dengan syarat sebagai berikut: (1) perjanjian freelancer dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah yang didasarkan pada kehadiran; (2) perjanjian freelancer dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan; (3) dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian freelancer berubah menjadi PKWTT. Namun pada poin ketiga, pembaruan perjanjian kerja PKWT tidak lagi diatur, apapun yang diatur adalah ketentuan perpanjangan PKWT.

Ditengah situasi dan kondisi hukum hari ini yang dialami oleh para freelancer, adapun langkah-langkah untuk mendapatkan perlindungan hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Perjanjian kerja yang jelas;

2. Mengetahui besaran bayaran (upah) yang diterima, waktu pembayaran, dan cara pembayaran;

3. Mengetahui dateline dan timeline pekerjaan;

4. Kepastian hukum mengenai hak cipta atau karya yang dihasilkan.

Mengenai perjanjian kerja merupakan hal yang sangat penting, karena disinilah pemberi kerja dan penerima kerja sama-sama dapat ‘mengunci’ mengenai hak dan kewajibannya masing-masing. Kita harus mengetahui dasar-dasar hukum perjanjian yang ideal untuk para pihak. Adapun asas-asas hukum perjanjian yang dimaksud adalah sebagai berikut:

A. Asas konsensualisme yang diatur dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

B. Asas kebebasan berkontrak, yang dimana kedua belah pihak bebas melakukan hubungan kerja sama dalam membuat perjanjian.

C. Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati mempunyai kekuatan hukum.

D. Asas kepribadian, yang diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyebutkan, “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.”

Demikian Dewi, semoga ini bisa menjawab pertanyaanmu soal bagaimana aturan tentang pekerja freelance di Indonesia.

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!