Menaikkan Posisi Tawar: Kiprah para Ibu Negara dalam Ruang Diplomasi

Praktik diplomasi ibu negara memiliki sejarah dan tradisi panjang dalam hubungan internasional di banyak negara. Di AS, sejumlah ibu negara – mulai dari Eleanor Roosevelt, Jacqueline Kennedy, Laura Bush, Hillary Clinton, hingga Michelle Obama telah berperan aktif dalam diplomasi publik.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo cukup menyedot perhatian global ketika berkunjung ke Ukraina dan Rusia bulan lalu. Kunjungannya dianggap sebagai salah satu upaya untuk mendamaikan kedua negara yang sedang berkonflik itu.

Namun, sepertinya tidak banyak pengamat dan publik yang menaruh perhatian pada istrinya, Ibu Negara Iriana Widodo, yang ikut menemani beliau dalam kunjungan tersebut – termasuk ke Kyiv, kota yang kini dianggap sebagai salah satu wilayah paling berbahaya di dunia karena sedang aktif menghadapi perang.

Iriana menjadi ibu negara kedua yang mengunjungi Ukraina setelah Jill Biden, istri Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bulan Mei lalu.

Selama beberapa dekade, ibu negara dari seluruh dunia telah menunjukkan bahwa mereka memiliki peran penting dalam misi diplomatik. Mereka dianggap mampu menawarkan pendekatan yang berbeda dari gaya kepemimpinan tradisional negara yang selama ini masih cenderung maskulin. Mereka juga dianggap mampu menciptakan citra yang lebih baik bagi negara mereka di mata global.

Kiprah para Ibu Negara dalam diplomasi

Praktik diplomasi ibu negara memiliki sejarah dan tradisi panjang dalam hubungan internasional di banyak negara.

Di AS, sejumlah ibu negara – mulai dari Eleanor Roosevelt, Jacqueline Kennedy, Laura Bush, Hillary Clinton, hingga Michelle Obama telah berperan aktif dalam diplomasi publik.

Kunjungan Ibu Negara Ukraina, Olena Zelenska, ke kantor Kongres AS (US Capitol) untuk menyerukan pengiriman lebih banyak senjata ke tanah airnya, juga menunjukkan kekuatan ibu negara dalam menguatkan posisi tawar negaranya.

Di Asia, Ibu Negara Cina, Peng Liyuan, juga telah berperan aktif dalam diplomasi untuk mendukung kebijakan luar negeri Presiden Xi Jinping sejak 2013. Bagi Cina, kehadiran Liyuan yang ramah dan kharismatik dalam diplomasi Cina merupakan hal yang penting untuk menciptakan persepsi tandingan atas gaya diplomasi Xi yang asertif.

Banyak juga ibu negara yang tidak hanya menemani suaminya dalam kunjungan ke luar negeri, tapi juga melakukan kunjungan seorang diri ke sejumlah negara untuk menjalankan misi diplomatik. Kunjungan Michelle Obama ke Cina pada 2014 mendapatkan pujian karena dianggap berhasil menunjukkan niat baik AS di tengah kompleksnya hubungan AS-Cina.

Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo saat tiba di Kyiv, Ukraina. Laily Rachev/Sekretariat Presiden

Secara umum, riset akademik terkait dengan diplomasi ibu negara memang masih terbatas. Studi-studi mengenai perempuan dan perannya dalam urusan-urusan internasional lebih banyak membahas tentang figur diplomat dan menteri luar negeri perempuan, khususnya dalam hal kemampuan diplomasi dan negosiasi mereka.

Upaya dan dampak dari diplomasi ibu negara serta jasa mereka untuk kepentingan nasional negaranya belum banyak diakui dan dipublikasikan. Kondisi ini dapat dipahami mengingat ibu negara biasanya tidak memainkan peran-peran konstitusional dan lebih pada menjalankan peran-peran seremonial.

Menurut sebuah studi pada tahun 2012 yang ditulis oleh Keith V. Erickson dan Stephanis Thomson, dosen studi komunikasi asal AS, paling tidak terdapat tiga aspek peran diplomasi dari ibu negara.

Pertama, mereka mengelola kredibilitas Presiden, seperti berperan sebagai pendamping dan pengganti. Kedua, mereka mendorong hubungan internasional, khususnya melalui diplomasi budaya. Ketiga, mereka juga terlibat dalam aktivisme sosial, seperti mempromosikan isu-isu kemanusiaan.

Kehadiran ibu negara dalam kegiatan diplomatik menunjukkan adanya norma-norma feminin di tengah arena politik internasional – yang saat ini masih didominasi laki-laki dan bercorak maskulin. Gaya feminin dan keibuan ibu negara dianggap dapat membantu “melembutkan” gaya garis keras suami mereka.

Ibu negara juga berkontribusi dalam membangun konstruksi citra nasional suatu negara. Beberapa studi mengatakan bahwa kemampuan intelektual dan pesona ibu negara diyakini dapat membawa sosoknya menjadi lebih dekat dengan publik internasional.

Sejumlah ibu negara telah berperan besar dalam memajukan isu perempuan dan HAM di kancah internasional. Eleanor Roosevelt, misalnya, seusai menjadi ibu negara, ia menjadi ketua komite perancang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Michelle Obama juga memimpin kampanye global melalui program “Let Girls Learn” untuk memberdayakan perempuan-perempuan muda di seluruh dunia agar mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Pengalaman mereka menunjukkan bahwa ibu negara dapat bertindak melebihi peran-peran seremonial dan menciptakan dampak besar bagi masyarakat.

Peran Iriana: apa maknanya bagi diplomasi Indonesia?

Kehadiran Ibu Negara Iriana mendampingi Presiden Jokowi ke zona perang dan memberikan bantuan kemanusiaan ke sebuah rumah sakit di Ukraina dielu-elukan oleh banyak warga Indonesia di media sosial.

Ibu Negara Iriana Widodo memberikan bantuan kemanusiaan kepada rumah sakit di Ukraina. Laily Rachev/Sekretariat Presiden

Banyak pengamat Hubungan Internasional dan Hukum menilai kehadiran Iriana sebagai pesan simbolis bahwa Indonesia dapat membawa harapan persahabatan, yang dapat menjadi langkah awal untuk memulai dialog perdamaian.

Indonesia dan Ukraina memiliki perbedaan yang signifikan, baik secara geografis maupun budaya. Indonesia adalah negara Asia dengan penduduk mayoritas Muslim, sementara tiga perempat penduduk Ukraina menganut Kristen Ortodoks.

Dengan demikian, diplomasi Iriana merupakan upaya untuk memperkenalkan identitas Indonesia kepada masyarakat Ukraina dan membentuk citra Indonesia sebagai negara yang terbuka dan bersahabat. Hal ini penting bagi Indonesia yang tahun ini memegang Presidensi G20, terutama guna mendukung keputusan Indonesia untuk tetap mengundang Rusia dan Ukraina Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali bulan November ini.

Indonesia perlu memastikan bahwa KTT G20 di Bali berjalan lancar. Salah satu indikatornya adalah kehadiran langsung semua anggota G20.

Sekalipun dampak kunjungan Jokowi dalam mengatasi krisis pangan global akibat perang Rusia-Ukraina masih belum pasti, setidaknya kehadiran Iriana dalam kunjungan tersebut mampu meningkatkan citra Jokowi di mata masyarakat Indonesia dan menciptakan legacy sebelum Jokowi mengakhiri masa kepemimpinannnya pada 2024 nanti.

Diplomasi Ibu Negara secara keseluruhan mampu melengkapi diplomasi konvensional oleh kepala negara sebagai representasi otoritatif negara. Ibu negara dapat memainkan peran penting dalam strategi diplomatik untuk meningkatkan persahabatan antar negara.

Dengan demikian, ibu negara seharusnya tidak lagi dianggap tidak bersuara dan hanya menjalankan peran seremonial. Mereka harus dan layak menjadi aktor aktif dalam diplomasi internasional. Selain itu, agar lebih bermakna, kehadiran ibu negara harus memiliki kemampuan untuk memperkuat komitmen negara dalam mewujudkan pemberdayaan dan kemajuan perempuan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

(Foto: Kompas TV)

Athiqah Nur Alami

Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!