Memikirkan Masa Depan Organisasi Feminis Agar Survive di Indonesia

Bagaimana masa depan organisasi feminis di Indonesia pasca disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)?. Memikirkan masa depan organisasi feminis bukan saja penting dalam konteks survival, tapi juga demi keberlanjutan gerakan keadilan gender di Indonesia

Berhasilnya pengesahan UU TPKS bisa jadi refleksi tentang pentingnya organisasi perempuan menjadikan momen ini sebagai momentum baru memikirkan penguatan organisasi-organisasi perempuan atau organisasi feminis yang selama ini menjadi tulang punggung gerakan keadilan gender dan antikekerasan seksual di Indonesia. 

Kita perlu secara khusus memikirkan masa depan organisasi feminis agar organisasi ini bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga tetap memberi kontribusi signifikan terhadap berbagai upaya perubahan sosial.

Pengesahan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di bulan April 2022 lalu menjadi momentum bersejarah sekaligus pencapaian luar biasa atas kerja keras dan kerja sama masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan di Indonesia. Perjuangan sekian tahun itu akhirnya membuahkan hasil manis.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari keterlibatan dan kolaborasi banyak pihak baik individu, lembaga masyarakat, maupun pemerintah atas dasar komitmen dan kepedulian terhadap persoalan kekerasan seksual. Keterlibatan organisasi feminis di berbagai daerah juga berkontribusi penting dalam perjuangan UU TPKS.

Namun, perjuangan masih sangat panjang, masih banyak persoalan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, dari kekerasan dalam rumah tangga dan dalam relasi pacaran, belum berimbasnya partisipasi politik perempuan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan, kemiskinan perempuan seperti dialami pekerja rumah tangga, perkawinan anak, hingga maraknya kekerasan seksual online.

Masa Depan Organisasi Feminis

Dalam konteks Indonesia, LSM perempuan menjadi representasi dan aktor garda depan gerakan perempuan atau gerakan feminis. Sejak awal 1980-an, LSM perempuan terus memimpin perjuangan keadilan gender dan hak-hak perempuan di Indonesia. Selain menjadi salah satu elemen penting perlawanan kritis terhadap rezim otoritarian Orde Baru, LSM perempuan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan reformasi dan demokratisasi di Indonesia yang berhasil menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan.

Sebelum UU TPKS, tidak sedikit pencapaian penting dan revolusioner yang menjadi kontribusi organisasi-organisasi perempuan terhadap perubahan. Pendampingan perempuan korban kekerasan bukan saja menjadi kegiatan konseling psikososial dan litigasi hukum, tetapi merupakan jalan politik menuntut negara memenuhi hak-hak perempuan yang menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan gender. 

Lalu pembentukan Komnas Perempuan di akhir 1998 dan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada 2004 adalah dua contoh lain pencapaian penting LSM perempuan bagi gerakan sosial.

UU PKDRT mengubah secara revolusioner struktur berpikir kita tentang rumah tangga sebagai ruang tak tersentuh intervensi hukum saat terjadi kekerasan di dalamnya. Sementara pendirian Komnas Perempuan menegaskan pentingnya pemenuhan hak korban dan hak asasi perempuan sebagai bagian dari agenda reformasi serta menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang lebih humanis dan demokratis. LSM perempuan adalah simbol sekaligus representasi riil kekuatan gerakan perempuan di Indonesia.

Dekade terakhir menunjukkan perubahan penting situasi LSM-LSM perempuan. Setelah dipandang sebagai negara demokratis, termasuk dengan mempertimbangkan status keadilan gender, Indonesia tidak lagi menjadi target utama bantuan keuangan lembaga-lembaga donor.

Dalam sejarahnya LSM dibentuk untuk melakukan check and balance terhadap kekuasaan negara Orde Baru, sehingga LSM cenderung menjadi lembaga oposisi yang paling aktif dan kritis. LSM menjadi institusi independen bahkan subversif yang tidak memberi tempat bagi bantuan dari dan kerja sama dengan pemerintah. Swadaya bukan jalan untuk mendukung gerakan. Kesukarelawanan menuntut stabilitas finansial pribadi yang sulit bahkan hampir mustahil dipenuhi oleh aktivis LSM.

Status Indonesia sebagai negara demokrasi baru dengan perekonomian yang semakin maju menjadi alasan sejumlah funding dari beberapa negara maju tidak memasukkan LSM masyarakat sipil termasuk LSM perempuan menjadi prioritas program pembangunan dan demokrasi. LSM perempuan tidak bisa lagi mengandalkan sumber daya finansial donor untuk melanjutkan keberlangsungan program-program mereka.

Tentu ini situasi yang mengkhawatirkan karena kita masih menghadapi persoalan serius ketidakadilan gender dan diskriminasi seksual sementara LSM masih menjadi tulang punggung gerakan keadilan gender di Indonesia. 

Politik gender dan seksual yang melibatkan berbagai pihak, baik negara maupun non negara, terus berlangsung dan sering kali menjadi sumber persoalan ketidakadilan gender dan opresi seksual. Proses pengundangan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang menjadi kontroversi tidak terlepas dari politik gender dan seksual yang masih terus berlangsung.

Menantang politisasi gender dan seksual mensyaratkan kekuatan gerakan yang kokoh, termasuk dari segi sumber daya finansial.

Perkembangan ini menuntut elemen gerakan perempuan untuk berpikir keras dalam menemukan model-model baru gerakan perempuan. Kita masih harus mengandalkan keberadaan LSM yang memang telah memiliki perspektif feminis yang kuat sebagai syarat gerakan perempuan.

Di tengah berkurangnya bantuan donor, beberapa LSM masih mendapatkan bantuan, tetapi banyak lembaga yang terpuruk dan bahkan nyaris gulung tikar karena tidak ada yang bisa menopang biaya operasional, staf, apalagi program dan kegiatannya. Penting sekali memikirkan strategi atas dasar feminist solidarity dengan menguatkan kerja sama dan koordinasi antar lembaga.

Bagaimana Sebaiknya Posisi Pemerintah Mendukung Organisasi Perempuan?

Pemahaman negara yang semakin demokratis mengasumsikan relasi kekuasaan negara dan LSM yang tidak lagi dalam posisi oposisi yang sangat kaku seperti di masa otoritarian Orde Baru. Negara justru perlu mengubah cara berpikir tentang LSM, bukan lagi sebagai enemy of the state melainkan partner untuk menguatkan status demokrasi termasuk dalam aspek keadilan gender dan kesetaraan seksual. Negara justru merasa diuntungkan dengan kerja-kerja LSM.

Oleh karenanya, seperti di negara dengan demokrasi yang sudah lebih mapan, LSM-LSM perlu mendapatkan manfaat dari sumber daya yang dimiliki negara. Tentu saja, dengan status negara demokrasi, bantuan dana negara tidak lagi bisa dijadikan alat kooptasi, membunuh daya kritis, dan mengontrol imparsialitas dan independensi LSM.

Di Amerika, contohnya, Departemen Kehakiman menyediakan hibah khusus untuk kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Urusan kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi satu unit tersendiri di institusi kepolisian, yang menghubungkan layanan-layanan penanganan kasus di kepolisian dengan berbagai pihak seperti pekerja sosial atau konselor, advokat, para penegak hukum, dan kelompok komunitas. 

Unit ini mengadakan program community outreach baik berupa pendidikan publik maupun memonitor situasi di lapangan yang terkait dengan kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan terhadap perempuan dan KDRT. 

Di level federal ataupun negara bagian, pemerintah menyediakan dana untuk membiayai lembaga sosial kemasyarakatan termasuk pekerja sosial yang membantu masyarakat mengakses program-program sosial baik dari pemerintah maupun dari lembaga nonprofit/nonpemerintah. Sudah saatnya pemerintah bekerja sama dengan LSM untuk membangun tatanan masyarakat yang adil dan berkeadilan sosial.

Kita tahu bahwa elemen gerakan perempuan bukan hanya LSM perempuan. Organisasi-organisasi lain seperti organisasi perempuan dalam kampus, forum kajian perempuan dan gender juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan perempuan.

Saat LSM perempuan mengalami “destabilisasi” maka sangat penting mendorong organisasi-organisasi kampus seperti Pusat Studi Wanita (PSW) atau Pusat Studi Gender (PSG) dan pusat-pusat kajian dan riset lain. Kerja sama dengan dunia pendidikan dibutuhkan dalam upaya produksi dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berefek pada perubahan cara berpikir (mindset) dan perspektif, dan menjadikan isu-isu gender menjadi bagian penting perubahan cara berpikir ini.

Lembaga-lembaga kampus yang lebih stabil dari segi sumber daya perlu lebih aktif dalam gerakan dan membangun kerja sama dengan LSM-LSM perempuan.

Keuntungan pentingnya, tradisi keilmuan dan akademik yang mengangkat isu-isu keadilan gender dan interseksionalitas akan menguat hingga banyak melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang berperspektif feminis dan berkeadilan gender yang akan berkontribusi pada penguatan gerakan keadilan gender dan demokrasi seksual.

Memikirkan masa depan organisasi feminis bukan saja penting dalam konteks survival atau mempertahankan keberadaan mereka, melainkan juga demi keberlanjutan gerakan keadilan gender di negara kita. 

Diah Irawaty

Kandidat Ph.D. Antropologi Feminis, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York; Pendiri & Koordinator LETSS Talk
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!