Mengakhiri Nilai Patriarki Bukan Tanggungjawab Perempuan, Tapi Semua Orang

Nilai-nilai patriarki selama ini telah menjebak perempuan dengan menyatakan bahwa urusan memperjuangkan perempuan itu hanya tanggungjawab perempuan. Padahal untuk mengubah nilai-nilai patriarki, semua pihak harus berkontribusi mengakhirinya

Apakah kamu sering mendengar pernyataan seperti ini? 

Perempuan cenderung lebih egois ketika dia memiliki segalanya,” kata salah seorang peserta diskusi pada suatu hari

Pernyataan itu dilontarkan oleh seorang perempuan setelah pemaparan materi sebuah diskusi. Kebetulan dalam diskusi ‘kecil-kecilan’ yang diadakan di sudut kampus, saya bertindak sebagai salah satu pemateri. Kebetulan, topiknya adalah eksistensialisme dan kebebasan. Saya tidak bisa menyalahkannya, karena itu adalah fakta dari pengalamannya sendiri.

Dalam kebebasan (berpendapat) hal seperti itu sah-sah saja. Namun dalam perjuangan kesetaraan gender (gender equality) ada yang salah dengan argumen-argumen semacam ini. Terlebih lagi jika itu dilontarkan oleh seorang perempuan. Tapi itu bukan kali pertama, cukup sering dan mudah untuk menemukan perempuan-perempuan yang mempunyai pola pikir seperti ini. Penyebab ini karena selama ini perempuan selalu didoktrin hal yang sama: tak boleh egois, yang boleh egois hanya laki-laki. 

Selama ini para perempuan selalu berpikiran bahwa perempuan adalah pelayan laki-laki, perempuan milik suaminya, perempuan harus taat, perempuan harus selalu berada di rumah, perempuan sold out. Intinya bagi perempuan sedunia, kamu tak boleh egois, karena tugas pentingmu hidup di dunia adalah memikirkan orang lain. Maka kalau ada perempuan yang egois sedikit saja, akan dikasih stempel bahwa perempuan tidak boleh egois, karena egoisme atau memikirkan diri sendiri hanyalah milik laki-laki

Desain budaya yang terbentuk di mana perempuan ditempatkan sebagai pemegang peranan cadangan, obyek, telah melahirkan produk di mana perempuan sering kehilangan diri mereka sebagai pemeran utama dalam sebuah relasi. 

Sudah jadi cerita umum dan mungkin dialami oleh sebagian besar dari perempuan, di mana para perempuan telah diajarkan untuk menjadi feminin, dikekang dengan peraturan yang lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki, ditanamkan bahwa wilayah perempuan hanyalah wilayah privat, mereka dibentuk—secara wajar atau terpaksa—dan jarang mendapatkan kesempatan untuk membentuk diri sendiri.

Saya kira, hingga sekarang wacana-wacana gender sudah cukup kaya dengan pelbagai teori dan insight. Meskipun terdapat bermacam-macam pandangan dan teori dalam upaya mencapai kesetaraan gender, namun tujuannya jelas yaitu mengembalikan otonomi perempuan pada tempat yang semestinya. Pelaku utama yang berusaha mempertahankan bentuk sosial adalah kultur interaksi konservatif-tradisional. Dalam hal ini budaya masyarakat didominasi oleh laki-laki. Laki-laki inilah dengan privilege yang mereka miliki berusaha untuk tetap mengawetkan pola-pola semacam ini.

Namun menilik fenomena-fenomena semacam yang disampaikan di awal, menunjukkan bahwa ternyata pola-pola dan nilai-nilai yang terdapat dalam budaya patriarki juga bisa didapati pada perempuan. Di satu sisi dapat dicerna jika patriarki bukanlah sekadar dominasi nilai (yang ditanamkan) laki-laki, tapi juga bisa lahir dari konstruksi sosial yang membesarkan semua orang. Dan anehnya nilai-nilai ini masih bisa turut ‘diamankan’ di era sekarang, dimana informasi sangat mudah tersebar. Ini juga yang ingin saya tilik pada sub judul berikutnya.

Tak Hanya Women Help Women, Tapi Semua Berkontribusi Stop Patriarki

Di Amerika Serikat terdapat sebuah organisasi yang bernama Women Help Women. Sebuah organisasi nirlaba yang terdiri atas aktivis perempuan, para feminis, yang bekerja untuk mengatasi persoalan gender. 

Beberapa waktu lalu juga mencuat kampanye Perempuan Dukung Perempuan, di mana-mana dibangun gerakan solidaritas perempuan. Gerakan perempuan sejak awal abad 20 telah melahirkan bergelombang-gelombang gerakan.

Namun konstruksi sosial yang membesarkan nilai-nilai patriarki kadang masih menjadikan paradigma yang digerogoti nilai-nilai ini, hal ini juga tentu berdampak pada perempuan dan gerakan perempuan. Gerakan perempuan kadang tertatih memperjuangkan hal ini antara memperjuangkan supra struktur dan akar rumput. Gerakan perempuan juga kadang dibiarkan sendiri untuk memperjuangkan sendiri nilai-nilai patriarki yang sudah karatan ini.

Kemudian, yang saya kira cukup dilematis adalah bagaimana sikap kawan-kawan yang sadar akan keadaan mereka (baca aktivis perempuan) terhadap nilai patriarkal ini? Mau tidak mau benang kusut ini harus segera diselesaikan oleh kawan-kawan pergerakan perempuan dan gerakan sosial umumnya. Jika dibiarkan lama-lama ia akan menjadi duri yang memberikan pukulan bagi pergerakan dari dalam.

Karena ini adalah fakta empirisme yang benar-benar terjadi. Pertanyaan-pertanyaan semacam kapan nikah, kapan punya anak, awas jadi perawan tua, dan sebagainya tidak jarang datang dari lingkungan yang dibesarkan oleh nilai-nilai patriarki 

Perjuangan perempuan hanya mungkin untuk dimenangkan jika kesadaran perempuan itu telah tercipta, jika kesadaran lingkungan telah tercipta dan aparat pengambil kebijakan punya kesadaran yang sama. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran yang menyeluruh. Sebab, jika kesadaran itu hanya terbentuk pada kalangan aktivis perjuangan saja, yaitu pada aktivis perempuan, pada organisasi perempuan, maka perjuangan itu akan prematur.

Dan perjuangan ini tentu saja tidak hanya dilakukan oleh perempuan, oleh para aktivis perempuan saja, tetapi oleh semua orang, karena kita jangan terjebak bahwa perjuangan perempuan harusnya hanya dilakukan oleh perempuan atau gerakan perempuan saja, tapi oleh semua pihak, oleh laki-laki, kebijakan dan konstruksi sosial yang selama ini menyumbang besar pada nilai-nilai patriarki yang langgeng sampai sekarang

Daniel Oskardo

Alumni Hukum Tata Negara atau Siyasah Syar’iyyah, Universitas Islam Negeri/ UIN Imam Bonjol Padang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!