Ada Kartun Tidak Ramah Anak Hingga Jam Tayang Tak Sesuai Umur: Problem Tayangan Anak di TV

Dua dekade UU Penyiaran, televisi nasional masih diwarnai konten-konten yang tak ramah anak. Padahal mestinya, tayangan TV harus edukatif terlebih bagi anak-anak.

Seorang ibu dan perempuan pekerja, Nina, kini tak lagi memberikan akses anaknya untuk menonton televisi nasional. Dia lebih memilih berlangganan TV kabel sebagai tontonan anaknya yang masih kecil, usia sekolah dasar. Dia cemas karena maraknya tontonan TV yang kontennya seringkali tak ramah bagi anak. 

Satu isu yang paling mengkhawatirkannya ialah masih adanya iklan rokok di TV nasional. Dia tidak rela jika iklan rokok itu terpampang dalam TV apalagi ditonton anak-anak. Apalagi sampai mempengaruhi perilaku merokok pada anak-anak atau semakin besarnya perokok pasif anak-anak, yang kini saja sudah lebih dari 40%. 

“Kita masih membolehkan iklan rokok di TV. Kita sangat ketinggalan (dibandingkan negara AS dan Eropa yang sudah tidak boleh menayangkan iklan rokok). Anak-anak tidak butuh rokok apalagi iklannya,” cerita Nina di kesempatan diskusi Penyiaran Sehat untuk Anak refleksi 20 tahun UU Penyiaran, Sabtu (23/7). 

Apalagi Nina yang kini tinggal di Kediri, Jawa Timur, yang notabene jadi pusat industri rokok bermerek besar di Indonesia. Pilihan untuk mengalihkan tayangan yang menayangkan iklan rokok, kini mau tak mau dilakukannya. Dia memahami bahwa ini privilege baginya sebagai orang tua, sebab masih banyak orang tua di sekitar tempat tinggalnya yang tak bisa mengakses TV kabel atau berlangganan. Sehingga, pilihan tontonan yang paling bisa dijangkau adalah TV nasional yang menggunakan frekuensi publik.

“Pilihan TV kabel atau berlangganan memang masih sangat rendah.. saya sangat mengapresiasi teman-teman termasuk KNRP (Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran) yang terus berjuang untuk TV nasional yang sehat,” katanya. 

Lintang Ratri dari KNRP tak menyangkal jika tayangan TV nasional sampai sekarang masih memiliki banyak masalah. Salah satunya, penempatan jam tayang program anak yang tidak sesuai ritme anak-anak.

Dia mencontohkan jadwal tayangan di ANTV per 22 Mei 2022 dengan judul tayangan Oscar’s Oasis (tayang 04.30 WIB) dan Rabbids Invasion (05.30 WIB).

“Ini tayang justru di jam-jam ‘hantu’. Yang nonton siapa?” ujar Ratri. 

Tak hanya itu, Lintang juga menemukan kartun yang ternyata kontennya bukan untuk segmen anak-anak. Misalnya saja, Boruto (Naruto) yang ceritanya tidak sesuai dengan usia anak karena masalahnya cukup kompleks dan rumit tentang relasi anak dan ayah. Belum lagi, sinetron atau reality show yang menyasar anak-anak dan remaja namun kontennya tidak sesuai umur. 

Dia melanjutkan, masih banyaknya pula “pekerjaan rumah” tentang pekerja anak di industri hiburan dan pelaku kriminalitas serta iklan termasuk di dalamnya iklan rokok, seperti halnya kekhawatiran orang tua seperti Nina.  

“Seolah anak belum menjadi concern (perhatian) media kita. Isu penyiaran sehat adalah isu bersama. Ini kepentingan kita, jangan mau kalau misalnya ada yang bilang: Gak suka, ganti channel aja, No!” tegas Lintang. 

Lintang menekankan, remote TV memang ada di tangan para pemirsanya. Namun, bukannya masyarakat publik yang harus terus menerus “mengalah” pada tayangan TV publik yang tidak berkualitas termasuk soal hak anak. Namun, pihaknya mendorong agar TV nasional memperbaiki kualitasnya. Sebab, TV nasional adalah frekuensi publik yang harus diarahkan edukatif dan ramah anak. 

“TV ini menyewa frekuensi dari masyarakat publik, dari negara. Jadi, mereka harus menyediakan tayangan-tayangan berkualitas.. Boleh ramai-ramai kita protes, TV harus mendengarkan kebutuhan anak,” ujarnya. 

Dua Dekade UU Penyiaran: Harus Lebih Sehat dan Mencerdaskan Anak

Genap dua dekade Undang-Undang Penyiaran No 32/2002 hadir di Indonesia. Namun sederet persoalan terlebih mengenai hak anak untuk mengakses siaran publik yang bermutu masih jadi komitmen dan perjuangan bersama. 

Dilansir Independen.id, perjalanan UU Penyiaran sampai saat ini, bukannya tanpa polemik. Pada awal tahun 2022 ini, ada wacana pembuatan RUU Penyiaran yang merupakan perubahan untuk UU No 32/2022 tentang penyiaran yang sudah berumur 20 tahun. Usulan perubahan RUU ini sebetulnya sudah pernah diajukan sejak DPR periode 2009-2024, namun selalu gagal disahkan jadi UU. 

Isu kritikal pengesahan RUU itu, soal migrasi digital salah satunya penyelenggaraan penyiaran digital multi mux atau single mux yang kemudian berakhir perdebatannya dengan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Migrasi penyiaran digital dalam UU Cipta Kerja ditetapkan dengan penyelenggaraan multi mux. Wacana lainnya yang muncul pada RUU penyiaran tersebut juga upaya mengatur konten siaran yang muncul di platform digital (Youtube, FB, dan sebagainya) seperti yang saat ini marak bermunculannya platform digital. Dampaknya? Tentu saja, tayangan akan semakin bebas terlebih bagi anak-anak. 

Bagaimanapun situasinya, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, mengatakan penyiaran di Indonesia haruslah setia dan berpegangan pada empat klaster perlindungan anak. Di antaranya, menyediakan informasi layak anak, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya yang bermanfaat bagi perkembangan anak. 

Rita mengungkapkan, jumlah anak di Indonesia adalah sepertiga penduduk Indonesia atau sekitar 84 juta anak. Anak dalam penyiaran adalah anak yang menonton, anak yang di dalam tayangan atau anak dalam industri televisi. Maka dari itu, substansi tayangan harusnya ramah anak.

“Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dg isi siaran,” kata Rita. 

Di satu sisi, Rita juga menekankan tayangan TV harus memperhatikan promosi iklan yang tidak ramah anak seperti promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif, promosi rokok yang memperagakan wujud rokok hingga hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama dan/ eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun. 

“Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak,” ujarnya.  

Diena Haryana, Yayasan SEJIWA menambahkan, dampak tayangan pada anak tidak bisa dianggap remeh. Termasuk psikisnya yang dapat menyumbang tumbuhnya karakter kurang baik. Seperti konflik-konflik dalam tayangan yang ditonton anak, akan bisa menimbulkan gangguan emosi dan berperilaku. 

“Padahal (harusnya) dunia yang kita tunjukkan dunia penuh cinta, damai, toleran, peduli, dan lainnya,” kata Diena. 

Maka dari itu, Diena mengajak para orang tua dari anak-anak khususnya untuk terus mendampingi anak ketika menonton tayangan siaran TV ataupun siaran digital. Sebab apa yang anak-anak lihat, dengar dan baca bisa mempengaruhi karakternya dan berpengaruh besar. 

“Film-film untuk anak, yang berkualitas dan dibuat oleh anak-anak bangsa layak disiarkan. Kemampuan anak-anak muda membuat film-film berkualitas sudah sangat baik, mereka bisa diberdayakan (memperkaya konten anak-anak di TV),” pungkasnya. 

Riset Tayangan Anak di Televisi

Dalam sebuah diskusi panel tentang “ Ancaman Tayangan Amnesia Anak” pada 7 Juni 2016 lalu, peneliti Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), Hendriyani pernah mengatakan bahwa selama ini banyak anak diposisikan sebagai korban di TV karena aturan yang tak jelas soal ini, soal tayangan infotainment yang disiarkan di jam-jam anak-anak nonton atau tidak adanya aturan soal jam tayang iklan.

Akibatnya, semua anak-anak menonton tayangan yang seharusnya dispesifikasi untuk orang dewasa.

Maka YPMA pernah menggolongkan atau mengklasifikasi tayangan TV dalam 3 terminologi, yaitu: tayangan yang aman, tayangan yang hati-hati dan tayangan yang berbahaya bagi anak.

Sejumlah penelitian tentang anak dan pengaruh televisi serta gadget menyebutkan bahwa anak-anak yang mengakses TV dan gadget yang terlalu banyak akan mengganggu perilaku anak, mengganggu psikologi anak dan juga penggunaan waktunya. Sering kita lihat, anak-anak menjadi sibuk melihat TV dan gadget, sehingga lupa belajar dan bermain dengan teman-temannya. Maka, penelitian ini kemudian merekomendasikan bahwa:

1. Anak umur 0-2 tahun: tidak boleh menonton TV dan mengakses gadget

2. Anak umur 2-3 tahun: hanya boleh menonton TV dan mengakses gadget selama 30 menit perhari.

3.Anak umur 3-5 tahun : hanya boleh menonton TV dan mengakses gadget selama 1 jam perhari.

4.Anak umur 5-18 tahun: hanya boleh menonton TV dan mengakses gadget selama 3 jam perhari.

Maka kala itu Hendriyani mengatakan seharusnya pihak industri TV melihat ini sebagai sebuah persoalan dalam menyajikan tayangan. Selama ini ada sejumlah acara yang dianggap baik untuk anak misalnya, Sesame Street atau Jalan Sesama, namun ternyata tak banyak indutsri TV atau Production House anak-anak yang menggarap film-film seperti ini.

Hal lain, aturan iklan juga harus jelas, karena selama ini sudah terlalu banyak anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan perlindungan dalam menonton program dan iklan.

Selain orangtua yang harus menemani dan menjelaskan kepada anak tentang tayangan TV dan gadget, lingkungan dan guru-guru di sekolah juga harus memberikan konstribusi positif pada anak tentang kesadaran dalam menonton TV.

Di luar itu, media merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan anak, jadi industri media harus serius dan tidak memberikan tayangan yang justru membahayakan perkembangan anak.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!