Perempuan dengan Autoimun: Kami Dianggap Pemalas Dan Jadi Korban Body Shamming

Orang tidak tahu betapa beratnya punya penyakit autoimun. Herannya masih saja ada orang yang mengejek kami sebagai orang yang pemalas karena tidak terlihat bugar, dianggap manja dan menyebut kami kurang cantik atas perubahan fisik karena autoimun. Kami sering jadi korban Body Shamming.

Menjadi perempuan di Indonesia saja sudah sangat sulit, apalagi menjadi perempuan dengan penyakit kronis. 

Perempuan acap kali dibebani dengan banyak hal dari urusan domestik seperti mencuci baju, memasak hingga mengurus anak, harus menghadapi banyaknya stigma negatif seperti dianggap sebagai makhluk yang lemah dan hanya menjadi beban saja bahkan harus berjuang dari berbagai macam momok menakutkan seperti pelecehan seksual, cat calling hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT. 

Namun pernahkah teman-teman  membayangkan hidup seorang perempuan dengan penyakit kronis semacam autoimun? Barangkali hal ini terdengar klise, namun kenyataannya benar-benar bikin geleng-geleng kepala. 

Saya seorang perempuan muda, usia produktif dan harus hidup berdampingan dengan penyakit kronis bernama autoimun.  

Didiagnosa dengan autoimun sejak 7,5 tahun yang lalu atau saat saya berumur 17 tahun, bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Bisa dibayangkan bagaimana peliknya kehidupan saya saat harus hidup berdampingan dengan penyakit kronis yang satu ini. Bukan hanya saya saja yang seringkali mendapat komentar negatif, namun teman-teman penyandang autoimun lainnya juga demikian.  

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan atau pernyataan yang tidak mengenakkan ketika berobat ke rumah sakit, namun yang paling membekas dan saya ingat sampai sekarang yaitu ,“kamu masih muda kok sudah sakit-sakitan,” pernyataan itu disampaikan oleh bapak-bapak yang saya rasa umurnya 50 tahun keatas.

Stigma negatif yang paling sering diterima perempuan yang memiliki autoimun adalah di cap sebagai  pemalas. Bagaimana tidak, saya seringkali menghabiskan waktu lebih banyak untuk beristirahat daripada beraktivitas. Hal inilah yang membuat saya dianggap pemalas bahkan oleh orang terdekat saya. 

Padahal memang kenyataannya saya memiliki energi yang sangat-sangat terbatas. Saya masih terngiang sering dikata-katain kalau saya ini pemalas, hobi tiduran saja, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan sering sekali dibilang “capek apa, padahal ga ngapa-ngapain”.  

Salah satu gejala umum dari autoimun adalah kelelahan kronis atau biasa disebut fatigue. Kalau diibaratkan manusia sehat sehari punya energi setara 1 galon 19 liter, orang dengan autoimun hanya punya 1 galon 5 liter sehari. Tentu perbedaannya sangat jauh, ya tapi itulah fakta yang ada. Makanya saya sebagai penyandang autoimun harus pandai-pandai mengelola energi. Kegiatan kecil seperti menyapu rumah saja bisa terasa sangat melelahkan apalagi kalau disuruh beraktivitas yang berat seperti mencuci baju, menyetrika ataupun bersih-bersih 1 rumah setiap harinya. 

Selain pekerjaan fisik, stress juga menjadi faktor yang menyebabkan energi orang dengan autoimun bisa berkurang sangat banyak. Hal inilah yang membuat kami perempuan dengan autoimun terlihat seperti pemalas. Mengurusi diri sendiri saja saya sudah kesulitan, bagaimana saya mau mengurus pekerjaan domestik?

Selain dianggap pemalas, tentu saja kebanyakan dari orang dengan autoimun juga dianggap sebagai beban keluarga. Bagaimana tidak, saya saja harus bolak-balik ke tiga dokter spesialis setiap bulannya. Kadangkala kalau autoimunnya sedang flare atau kambuh, tidak jarang dari saya harus dilarikan ke IGD rumah sakit karena memang separah itu keadaannya. 

Belum lagi, kadang penderita autoimun tak sedikit mengeluarkan uang untuk berobat ke rumah sakit. Saya sendiri menghabiskan setidaknya 1,8 juta setiap bulannya untuk membeli obat bernama arava. Obat ini sebenarnya ditanggung oleh BPJS namun hanya di rumah sakit tipe A. Sedangkan saya tinggal di provinsi kecil yang tipe rumah sakitnya hanya sebatas rumah sakit tipe B. Itupun setelah 7,5 tahun sejak diagnosa awal autoimun, saya baru mendapatkan penanganan yang tepat saat berobat ke RS Sardjito Yogyakarta. Benar-benar hidup dengan autoimun menguras uang yang cukup banyak.

Saat mengeluhkan bagian tubuh terutama sendi-sendi sakit, acapkali perkataan yang keluar dari mulut orang yang tidak berempati adalah:

“Ah, begitu saja sakit”. 

“Manja sekali” 

“Tapi kamu  ga kelihatan sakit, pasti bohong ya”. 

Karena memang kenyataannya sakit autoimun ini kelihatan tidak kasat mata karena fisik penderitanya nyaris terlihat sama saja seperti manusia yang sehat pada umumnya. 

Tentu saja sayapun sudah kenyang dituduh pura-pura sakit karena saya terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Namun yang tidak mereka ketahui kadang saya tidak bisa bangun di pagi hari bukan karena saya malas gerak, tapi karena badan saya memang tidak bisa digerakkan. Kekakuan bagian belakang badan sering sekali saya alami pada pagi hari dan akan membaik pada siang hari setelah mulai beraktivitas. 

Kadang-kadang kalau saya sudah kelelahan karena mobilitas saya yang cukup padat, saya berjalan jadi agak pincang karena lutut kanan saya bermasalah. Dan ya tentu saja faktor ini juga semakin melabeli kami sebagai orang yang malas dan hanya menjadi beban. 

Banyak teman autoimun lainnya yang sudah menikah mengalami konflik dengan suami atau dengan mertua karena keadaan fisik yang tidak memungkinkan. Tidak jarang akhirnya mereka dimusuhi oleh keluarga besar karena tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan domestik. 

Kami penyandang autoimun yang seharusnya mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat malah akhirnya merasa terasingkan karena orang terdekat jarang menunjukkan empati. Tetapi untung saja kehadiran komunitas penyandang autoimun memberikan peran yang besar bagi keberlangsungan hidup kami. Tentu saja hanya sesama penyintas yang mengerti rasanya hidup dengan autoimun

Body Shaming pada Autoimun

Selain dituduh pemalas dan hanya menjadi beban saja, ada satu hal lagi yang membuat orang dengan autoimun menjadi semakin tidak percaya diri yaitu perubahan pada fisik yang pada akhirnya sering sekali menjadi bahan body shamming bagi orang lain yang tidak paham. 

Bagaimana tidak, sebagian besar dari penyandang autoimun akan mengalami fase pipi menjadi lebih tembem, kulit menjadi lebih kering, rambut menjadi tipis karena rontok parah dan mengalami kenaikan atau penurunan berat badan secara drastis. Tentu saja saya mengalami semuanya. 

Hal yang paling membuat saya tidak nyaman adalah saat bertemu dengan orang lain yang lama tidak berjumpa, respon mereka adalah, “wah, kok kamu jadi gendut banget sekarang, terus pipi kamu lebar sekali.” 

Sungguh menyakitkan sekali kata-kata seperti itu. Makanya selama pandemi saya sangat senang sekali menggunakan masker, bukan karena saya tidak takut virus, namun untuk menyembunyikan perubahan pada pipi saya. 

Standar kecantikan yang ada di masyarakat saja sudah terasa sangat bias, bagaimana kami sebagai penyandang autoimun bisa memandang diri kami dengan lebih baik disaat terjadi perubahan drastis pada fisik kami yang terkesan perubahan itu terjadi karena gaya hidup. 

Ada satu teman saya penyandang autoimun jenis lupus, sering mendapatkan komentar negatif karena pipinya menjadi lebih tembem serta wajahnya kering dan seperti ada bercak-bercak. Banyak orang mengira kalau kulit wajah yang kering dan bercak-bercak itu karena tidak pakai skincare, padahal kenyataannya itu memang gejala lupus. Belum lagi kadang kondisi fisik kami dibanding-bandingkan dengan penyandang autoimun lainnya. 

Saya pribadi pernah dibandingkan dengan artis Ashanty oleh salah satu kenalan saya. Katanya Ashanty juga autoimun, namun kenapa badannya masih kelihatan bagus dan pipinya tidak tembem sama sekali. Tentu saja sulit sekali menjelaskan tentang ini kepada orang awam. Dan pada akhirnya saya memilih menertawakan saja kenalan saya yang satu itu.

Banyaknya orang yang tidak berempati dan kurang edukasi menjadi tantangan tersendiri bagi kami para penyandang autoimun. Pada dasarnya kami tetap butuh care giver untuk membantu kami dalam beberapa hal. Ada penyandang yang bahkan harus menggunakan kursi roda karena mengalami masalah dengan kakinya sehingga membutuhkan bantuan untuk beraktivitas. 

Tentu saja hal ini menjadi cukup riskan, mengingat tidak semua orang terdekat bisa membantu kami selama 24 jam sehari, tidak jarang juga kami dijejali dengan pemikiran bahwasannya jangan ketergantungan dengan obat-obatan kimia, banyak mudharat ketimbang manfaatnya. 

Padahal kenyataannya mengonsumsi obat secara teratur sesuai anjuran dokter merupakan salah satu ikhtiar untuk mencapai kata remisi. Oh iya, autoimun bukan penyakit yang bisa disembuhkan karena memang belum ada obat yang bisa menyembuhkan autoimun. Namun, autoimun bisa dikendalikan  dengan baik apabila pasien patuh terhadap anjuran dokter. Jangan sesekali mencoba memberikan obat-obatan herbal kepada penyandang autoimun karena bisa saja itu membuat kondisi kami menjadi lebih parah.

Tentu saja, sebagai perempuan usia produktif penyandang autoimun, saya masih bisa beraktivitas dengan cukup baik, meskipun pada beberapa kondisi saya harus mengurangi aktivitas karena autoimunnya kambuh. Bukan hanya saya namun semua dari kami penyandang autoimun, masih bisa produktif. 

Apa Yang Harus Kamu dan Kita Semua Lakukan?

Kami ini manusia-manusia kuat yang diberikan amanah sangat besar. Bertahan sejauh ini saja kami sudah cukup hebat. Jadi, cobalah untuk menjadi orang yang penuh  empati. 

Jangan menjadikan dan menganggap kami sebagai orang yang pemalas ataupun beban karena kadang-kadang kami tidak sanggup mengerjakan pekerjaan domestik. Jangan berkomentar negatif atau membandingkan fisik kami dengan perempuan lainnya karena kamipun butuh keberanian dan hati yang lapang untuk menerima diri kami sendiri apa adanya. 

Hidup dengan penyakit kronis bukan berarti dunia kita sudah runtuh, namun ini menjadi titik balik agar kita menjadi manusia yang kuat dan menjadi manusia yang penuh kasih. 

Peluk hangat untuk semua perempuan penyandang autoimun dimanapun teman-teman berada. Semoga kita selalu diberikan kesehatan. Amin.

Reka Aprilanita

Karyawan swakelola, Penyintas autoimun ankylosing spondilitis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!