Ini Sudah Terjadi Berulangkali: Cerita Ibu Yang Anaknya Dipaksa Pakai Jilbab

Testimoni wali murid di Gunung Kidul, Yogyakarta tentang kasus pemaksaan pemakaian jilbab yang terjadi pada anak dan cucunya menunjukkan pemaksaan terjadi di semua tingkatan sekolah dan telah berlangsung sejak lama. Langkah penyelesaian yang fundamental perlu segera diambil agar korban tak bertambah.

Rini Widiastuti adalah orang tua murid di Gunung Kidul, Yogyakarta yang merasakan dejavu atas kejadian dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 2 minggu lalu.

Pemberitaan tentang kasus ini membawa pada memori, pada pengalaman serupa yang juga dialaminya beberapa tahun lalu.

Sebagai wali murid, Rini pernah mendampingi anak dan cucunya yang juga memiliki pengalaman terkait kewajiban memakai jilbab di sekolah negeri. Namun ketika itu Rini mengaku dirinya tidak berani untuk terlalu frontal bicara mengingat persoalan ini cukup sensitif.

Dimulai pada 2015 ketika pertama kali Rini mendaftarkan anaknya di sebuah SD negeri di daerah Gunung Kidul. Saat itu sekolah tidak menyampaikan adanya aturan atau kewajiban memakai jilbab tetapi orang tua diwajibkan membeli jilbab dari sekolah.

“Itu menurut saya sudah merupakan satu kode bahwa memang itu wajib karena ketika saya coba anak tidak memakai kemudian dia mendapatkan tekanan di sekolah,” ungkap Rini dalam kesempatan diskusi Pemaksaan Pemakaian Jilbab di Sekolah Negeri Yogyakarta, Jumat (12/8).

Rini menjelaskan bentuk tekanannya mungkin anak hanya dipanggil guru lalu mendapat teguran yang membuat anak kala itu sudah cukup bisa menangis karena masih anak-anak.

Selain itu Rini melihat kondisi tersebut juga berpengaruh pada pergaulan anak yang dapat mengarah pada pengotakan atau diskriminasi.

“Efek langsung yang saya rasakan adalah anak langsung bisa bilang, bu aku punya teman dia agamanya ini lho. Saya tanya, kamu kok bisa tahu, iya dia kan tidak berjilbab. Dia bisa langsung seperti itu padahal itu anak yang baru kelas satu SD. Dari situ saya sudah langsung khawatir, apabila ini berkelanjutan nanti akan kurang baik efeknya karena seperti mengelompok-kelompokkan,” kata Rini.

Kejadian yang hampir sama kembali dialami Rini pada 2019 ketika cucunya mendaftar sekolah di sebuah SD negeri. Orang tua siswa mendapat surat edaran dari sekolah yang mewajibkan siswi muslim untuk mengenakan jilbab dengan bentuk seragam yang sudah ditentukan dan jilbab disediakan oleh sekolah. Ketika itu Rini menyadari bahwa hal ini merupakan sesuatu yang sangat sensitif, sehingga untuk protes secara frontal ia merasa tidak berani. Ia khawatir hal ini akan berefek pada anak dan cucunya.

Akhirnya Rini menghubungi komite sekolah dan menanyakan apakah benar ada kebijakan dari sekolah tentang kewajiban siswi muslim untuk memakai jilbab. Komite sekolah menyatakan tidak dilibatkan dalam rapat yang menghasilkan surat edaran tersebut, sehingga melalui komite Rini menyatakan keberatan.

“Saya tidak bisa karena terus terang saya mengharapkan sekolah negeri menjadi ujung tombak untuk keragaman dan kebhinekaan,” ungkap Rini.

Rini berusaha mencoba agar protesnya ini mendapat dukungan dari orangtua lainnya. Tapi pernyataannya tersebut ternyata kurang mendapat dukungan dari orang tua siswa yang lain. Rini justru cenderung dianggap lain atau berbeda dengan lingkungan di sekitarnya yang rata-rata perempuannya sudah berjilbab. Akhirnya ia mem-posting soal surat edaran tersebut ke media sosial dan menjadi viral.

Hingga kemudian Ombudsman Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta/ DIY dan sejumlah instansi terkait mendatangi sekolah untuk melakukan pembinaan dan verifikasi. Kepala sekolah kemudian meminta maaf dan meralat surat edaran tersebut.

Meski sempat berhasil memperjuangkan haknya, Rini kembali menghadapi kasus yang sama pada 2021 ketika anaknya masuk ke sebuah SMP negeri. Karena masih dalam situasi pandemi proses belajar di sekolah masih berlangsung secara daring. Saat itu anaknya mengikuti pelajaran tanpa berjilbab.

Saat sekolah sudah berlangsung secara tatap muka, anaknya pun bersekolah tanpa memakai jilbab. Di bulan pertama tidak ada masalah. Bulan selanjutnya dia mulai mendapat teguran agar menggunakan jilbab setiap jam pelajaran agama. Minggu berikutnya anaknya lalu diwajibkan untuk berjilbab sepanjang pekan.

Ketika itu Rini sempat bertanya ke anaknya dan bertanya kenapa dia memakai jilbab. “Saya tanya, dia akhirnya menangis, mengadu ke saya karena ternyata sudah dua kali mendapat teguran dari sekolah, bentuknya adalah BK. Sampai sekarang akhirnya anak saya tetap berjilbab karena dia tidak mau ada risiko kena BK lagi,” ujar Rini.  

Dari Murid, Guru Hingga Pegawai Negeri Sipil

Selain sebagai wali murid, Rini sehari-harinya juga seorang guru honorer. Dari pengalamannya sejauh ini tidak ada aturan atau surat edaran yang mewajibkan guru untuk menggunakan pakaian yang sesuai dengan identitas agama tertentu.

“Memang secara tertulis saya tidak menerima edaran dari pihak sekolah bahwa kami guru-guru itu wajib menggunakan jilbab atau baju panjang ataupun yang mengarah kepada kepercayaan ataupun agama tertentu memang tidak ada,” ungkap Rini.

Meski begitu ada upaya yang mengarah pada pembiasaan pola berbusana dengan mengacu pada identitas agama tertentu yang seolah-olah menjadi kewajiban. Rini menjelaskan.

“Seperti sudah menjadi sebuah tradisi, guru-guru yang saya temui khususnya di wilayah Gunung Kidul, karena saya bermukim di Gunung Kidul, itu untuk sekolah negeri sudah hampir 100% gurunya yang muslim putri itu menggunakan baju panjang dan dengan jilbab.”

Rini mengamati kebiasaan seperti ini juga bisa ditemui pada staf-staf atau pegawai-pegawai di OPD-OPD dan di kantor pemerintahan. Ia berasumsi pola semacam ini mengondisikan masyarakat termasuk para orang tua di sekolah untuk mengganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertentangkan atau sesuatu yang sudah normal atau layak walaupun ini dilakukan oleh sekolah negeri.

Rini mengaku pernah mendapat teguran terkait busana yang dikenakannya saat mengajar. Ia sempat mengajar dengan menggunakan atasan berupa pakaian dinas resmi dan bawahan berupa celana panjang. Ia mendapat teguran untuk mengganti celana panjang dengan rok. Rini beralasan dirinya merasa nyaman mengenakan celana panjang karena untuk transportasi sehari-hari ia menggunakan kendaraan roda dua dan harus menempuh perjalanan sekitar satu jam.  

Akibat Maraknya Keberagamaan yang Formalistis dan Sistem Pendidikan yang Bermasalah

Menanggapi situasi ini, Listia Suprobo, pegiat pendidikan di Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (Pappirus) mengungkapkan pemaksaan pemakaian jilbab harus dilihat dalam perspektif yang luas secara komprehensif. Hal ini ditengarai tak terlepas dari maraknya keberagamaan yang formalistis dan eksklusif. 

Selain pemaksaan penggunaan jilbab, formalisme beragama di sekolah juga muncul antara lain berupa diskriminasi kepada anak-anak bukan muslim untuk menjadi pengurus osis atau organisasi ekstrakurikurer dan pembatasan pengangkatan guru bagi guru-guru yang bukan muslim.

Listia mengungkapkan di Yogyakarta persoalan ini sudah mengemuka sejak 2007. Bahkan pada 2005 Listia pernah menemukan selebaran tentang kewajiban pemakaian jilbab oleh kepala sekolah di SMAN 1 ketika sedang melakukan penelitian. Terus berulangnya kasus-kasus semacam ini sejak 2007 hingga hari ini di Yogyakarta menunjukkan adanya penyelesaian yang kurang fundamental.

Listia menyoroti sistem pendidikan yang menurutnya masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah. Ada persoalan-persoalan dasar yang belum selesai dengan sistem pendidikan kita.

“Sistem pendidikan kita sejak Orde Baru belum beranjak. Dulu bisa dikatakan proses pembelajaran yang otoriter itu hal biasa, sikap kritis atau berbeda dianggap bermasalah,” ujarnya.

Hal seperti ini mewarnai kultur pendidikan kita. Ketika reformasi bergulir kultur pendidikan seperti ini tidak segera ditanggapi atau direformasi. Dalam konteks keagamaan hal yang sama juga terjadi. Penyeragaman menjadi cara berpikir, tidak hanya dalam penampilan tetapi juga dalam hal berpendapat.

Listia mengungkapkan, “Ketika ada masalah mengelolanya pun juga dengan tidak memberi ruang pada keterbukaan, bahwa setiap pribadi harus dihargai sebagaimana adanya.”

Bahwasanya kebhinekaan tidak hanya dalam urusan yang besar seperti dalam hal perbedaan agama, perbedaan suku, dsb, tetapi juga pada proses masing-masing orang. Kecenderungan masing-masing peserta didik, pilihan-pilihan dalam mengekspresikan diri juga merupakan hal-hal yang sebenarnya penting diakomodasi dan diberi ruang yang cukup dalam kultur pendidikan kita.

Menurut Listia situasi yang terus berulang bukan hanya disebabkan oleh perkembangan paham keagamaan formalistis yang mendominasi, tetapi juga dari sistem pendidikannnya yang kurang serius menanggapi dampak yang ditimbulkan. 

Lebih jauh Listia mengungkapkan bahwa sekolah merupakan ruang publik. Meski ia sekolah swasta sekalipun, yang artinya ada ideologi, tata aturan atau nilai-nilai tertentu yang menjadi pedoman atau aturan, tetapi anak-anak suatu saat akan hidup dengan banyak orang.

Karena itu menjadi tugas dinas pendidikan untuk mendorong bagaimana keyakinan dibawa ke dalam ruang publik yang beragam. Sehingga dinas pendidikan perlu melakukan pembinaan, bukan hanya dalam bentuk bimtek yang sifatnya teknis tetapi mencakup sesuatu yang lebih substansial seperti membangun kultur yang terbuka, yang mendukung bagi tumbuh kembang peserta didik untuk menemukan dirinya, untuk mengenali lebih jelas bakat, minat kecenderungan dan sebagainya.

“Ketika seorang pribadi tidak diterima sebagaimana adanya dalam prosesnya dalam kecenderungannya, dalam pilihan-pilihannya, dia akan terhambat mengenali dirinya dan itu akan berdampak pada capaian pembelajaran yang tidak akan maksimal. Karena ilmu yang dia peroleh tidak mampu menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidupnya, menjadi sesuatu yang bermanfaat dan menjadi modal untuk kreativitas peserta didik,” jelasnya.

Menurut Listia pada kasus pemaksaan pemakaian jilbab pemberian sanksi dipandang perlu karena hal ini terkait dengan batasan. Batasan bahwa hal itu sudah kebablasan dan tidak layak dilakukan. Akan tetapi ada hal yang lebih penting yaitu pembinaan. Pembinaan ini terkait dengan bagaimana keyakinan itu ketika hadir di ruang publik? Seperti apa negosiasinya? Artinya dalam hal ini penting sekali bagi dinas pendidikan untuk mengembangkan pemahaman tentang Pancasila, tentang hubungan agama dan negara di kalangan pendidik.

Korban Terus Bertambah

Yogyakarta hanya satu dari puluhan kota di Indonesia yang menerapkan aturan berpakaian yang diskriminatif pada perempuan dan anak perempuan. Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun 2021 menyebutkan terdapat 64 peraturan daerah yang mengatur soal busana yang diskrimatif terhadap perempuan. HRW menyatakan Kementerian Dalam Negeri yang mengawasi kinerja pemerintah daerah harus membatalkan berbagai keputusan daerah tersebut.

Laporan tersebut juga menyebutkan Setidaknya di 24 dari total 34 provinsi di tanah air, anak perempuan yang tidak patuh terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.

Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.

Pemaksaan jilbab ini melanggar hak privasi. Aturan hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas memanifestasikan keyakinan agama seseorang, untuk kebebasan berekspresi, dan untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dewasa dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dewasa dan anak laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan atas hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.

Perlindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab juga melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!