Selesai Memperkosaku, Ia Menyuruhku Melupakan Semuanya: Kisah Korban Kekerasan Seksual

Sebuah teater mementaskan cerita tentang korban perkosaan. Lisa, perempuan korban pulang malam ketika kota dalam kondisi chaos, dan ia diperkosa.

Seumur hidupnya, Lisa tak bisa melupakan kejadian di lorong kecil bau pesing di kotanya.

Di tempat kejadian itu, ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki kasar yang mabuk. Kota dalam kondisi chaos.

Tubuh Lisa memandang nanar sudut-sudut ruangan kosong. Pikiran Lisa terus saja melayang, ada suara-suara yang harus didengar dan diperdengarkan, 

Politik negeri bergejolak, demonstrasi masa berakhir bentrokan dengan aparat, kota dalam keadaan genting, mal-mal di bakar, tank tentara masuk ke akses jalan kota, polisi ada dimana-mana. 

Lisa adalah perempuan pekerja kantoran yang tak begitu paham dengan situasi ini. Malam itu ia berniat untuk pulang ke rumah, namun jalan dimana-mana sudah dijaga pagar beton. Mobil Lisa yang diparkir di sebuah mal memaksa Lisa mengambil satu-satunya alat transportasi menuju rumahnya, karena setelah itu Lisa sadar bahwa kondisi kota dalam keadaan genting.

Lisa mencari jalan pintas, tak sengaja ia melihat lorong yang terhubung di sebuah pemukiman kumuh, tibalah Lisa pada jalan setapak bau pesing dan kotor. Tak dinyana, Lisa bertemu laki-laki berwajah kasar dan mabuk. Laki-laki itu secara cepat dan bertubi-tubi memperkosa Lisa

Selesai memperkosa, laki-laki kasar itu kemudian memerintah Lisa untuk ‘pulang dan melupakan”.

Demikian penggalan lakon Tubuh dan Jiwa yang menceritakan kronologi kejadian kekerasan seksual yang dialami Lisa, perempuan kantoran yang muda yang terjebak pada situasi kota yang tidak diinginkan. Duolog apik Tubuh yang diperankan Joane Win dan Jiwa yang diperankan oleh Ruth Marini ini membawa penonton ke dimensi yang mudah dipahami. Penonton disentuh empati terhadap nasib korban kekerasan seksual.

Sang Sutradara Wawan Sofyan memberi sentuhan mendalam pada setiap adegan, pergulatan tubuh dan jiwa yang rumit disajikan menarik dan detail oleh penulis naskah E.D Jenura. Lakon ini di Pentaskan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/8/2022).

Lisa gemetar dan ketakutan, Lisa tetap berjalan menuju pulang meski selangkangannya terluka berdarah, jiwa raganya tak karuan. Lisa terus menuju parkiran mal tempat mobilnya diparkir agar bisa pulang ke rumah.

Sepanjang jalan menuju rumah, Lisa masih saja berupaya untuk menenangkan diri dan berupaya tegar seolah tak terjadi apapun. Sesampai dirumah, Lisa tak berdaya, tubuhnya meminta perlindungan dari ibunya. Lisa kehilangan kendali, ia mengadukan apa yang terjadi kepada ibunya.

Ibu kemudian membawa Lisa ke rumah pengobatan mental. Sampailah Lisa di ruang Arumanis. Tubuh dan jiwa Lisa terkurung dalam ruangan itu, tanpa bisa melihat dunia luar. Kerinduan Lisa melihat pemandangan dan menghirup udara memotivasinya untuk sembuh

Namun, tubuh dan jiwa tak mau tinggal diam, pertanyaan ini menjadi isu besar di panggung ini .”Apakah kalian sudah menangkap bajingan-bajingan itu? Siapa saja nama-nama mereka? berapa tahun mereka dibui? Adakah yang dihukum mati?”

Ruang Arumanis adalah produksi perdana Regina Art yang tadinya menyajikan film pendek ‘Don’t Open’ yang ditayangkan di New York Film Festival. Pementasan ini disajikan dalam media panggung dengan penuh makna, pesan mendalam dari pementasan adalah untuk memberi edukasi kepada masyarakat tentang wajibnya memberi empati terhadap korban kekerasan seksual serta menyuarakan dampak psikis kekerasan seksual dalam kehidupan sosial korban.

Dimensi Psikis Korban Kekerasan Seksual

Dimensi Psikis yang digambarkan dalam pentas Ruang Arumanis dibenarkan oleh Yayasan Rumah Tumbuh Harapan (RUTH). Pendirinya Devi Sumarno mengaku menemui kondisi yang mengenaskan kerap terjadi pada para perempuan korban kekerasan seksual.

Sebagai informasi, RUTH merupakan rumah aman dan pendampingan untuk perempuan yang mengalami kekerasaan berbasis gender salah satunya kehamilan yang tidak diinginkan.

Devi Sumarno mengungkap, total ada 400 kasus kekerasan yang ditangani RUTH, merupakan kasus kekerasan di usia muda, kehamilan yang tak di inginkan dari Usia anak-anak hingga remaja.

“Kebanyakan korban kekerasan seksual saat pacaran adalah anak korban rumah tangga yang tidak harmonis, kurang kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya,” ungkapnya.

Pendampingan korban, diakui Devi memang harus secara menyeluruh dan tidak bisa setengah-setengah, sebab kebanyakan korban kekerasan seksual tak mampu membiayai sendiri proses penyembuhan.” Kami membantu mereka untuk mengurus asuransi BPJS dan BPJS nunggak, agar fasilitas kesehatan untuk mereka terpenuhi,” bebernya.

Devi Sumarno yang mendirikan RUTH bersama sang suami Charles Wong ini juga mengungkap kerap menemukan korban kekerasan seksual berbasis media sosial.

”Mereka kenal dari media sosial, diminta mengirim foto tak senonoh, lalu mereka diancam menyebarkan foto tidak senonoh itu di media sosial, jika tidak mau melakukan hubungan seksual,” katanya.

Korban disabillitas yang paling kesulitan ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual karena mengalami penderitaan ganda.

”Mereka mengalami penderitaan ganda, mereka tidak memahami apa yang terjadi kepada tubuhnya terutama pada penderita down syndrom, mereka sangat menderita tapi juga mendapat penghakiman berlebihan stigma dari lingkungan sosial,” ujar Devi.

Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengungkap dalam diskusi sebelum pementasan teater itu dilakukan, bahwa kondisi korban kekerasan seksual di Indonesia saat ini masih minim empati, kebanyakan korban kesulitan diterima di lingkungan sosial yang berakhir pada kesulitan menerima dirinya sendiri. Padahal, korban kekerasan seksual sudah mengalami penderitaan yang luar biasa baik fisik dan mental.

”Kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi,” ungkapnya sebelum pentas Ruang Arumanis oleh Regina Art di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/8/2022)

Pentas Ruang Arumanis ini rupanya membekaskan pertanyaan besar, sudahkan korban dilindungi di negeri kita?, Veryanto mengakui masih banyaknya aparat penegak hukum di negeri ini yang belum memiliki perspektif gender sehingga cenderung mempersekusi korban kekerasan seksual.

“Ini menjadi tugas kita bersama, aparat penegak hukum seperti Polisi, hakim dan jaksa harus berbenah dan terus mengupgrade diri agar membela korban, mereka mengaku saat ini masih berproses, meskipun masih saja kerap terjadi kebocoran data diri korban ke media,” singgung Veryanto.

Media, dalam hal ini juga harus menjadi pelindung korban, Veryanto berharap, media juga terus berbenah untuk memberitakan tanpa memberi efek trauma pada korban.

“Media punya peran penting dalam menyampaikan ke masyarakat edukasi soal pentingnya berpihak kepada korban ketimbang menjual cerita yang pada akhirnya korban mendapatkan sanksi sosial,” pungkasnya.

Cerita Lisa adalah representasi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Di Indonesia cerita korban di tengah kota dalam kondisi chaos ini terjadi pada Mei 1998. Tak hanya dalam kondisi chaos, dalam kondisi tenang, banyak perempuan yang juga tak tenang untuk pulang, ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia

24 tahun sudah tragedi  Mei 1998 berlalu misalnya, namun pertanggungjawaban negara masih belum juga terwujud. Utamanya, pemenuhan hak-hak perempuan korban baik penanganan maupun pemulihan yang komprehensif. Negara masih bergeming terhadap tuntutan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sementara para korban menua dalam penantian keadilan.

Komnas Perempuan mencatat adanya pertautan antara diskriminasi berbasis gender dan rasisme dalam tindak kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2022, jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia sebanyak 2.363 kasus dengan pemerkosaan di urutan tertinggi yakni 597 kasus atau 25%. 

“Kekerasan seksual digunakan sebagai salah cara untuk meneror dan menciptakan ketakutan massal,” tulis pernyataan resmi Komnas Perempuan yang diterima Konde.co, 13 Mei 2022.

Peristiwa Mei 1998 adalah sejarah politik yang sangat pahit bagi perempuan Indonesia. Banyak perempuan dari Etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan dan pemerintah seperti jalan di tempat, perkosaan tak terungkap dan orang menjadi lupa 

Maka dari itu, pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bisa menjadi merupakan tonggak sejarah baru untuk memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual terhadap perempuan. Termasuk pada peristiwa kelam Mei 1998

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!