Tak Cuma Laki-laki yang Bisa Jadi Breadwinner, Perempuan Juga Bisa

Siapa bilang cuma laki-laki yang bisa jadi breadwinner atau kepala keluarga? Perempuan juga bisa menjadi breadwinner

Marcella adalah perempuan yang tiba—tiba harus menjadi breadwinner atau kepala keluarga ketika suaminya ketahuan berselingkuh. Suaminya punya pacar lagi. Seketika itu juga ia merasa harus cepat menyelamatkan rumah tangganya

Marcella memutuskan pindah ke Jakarta tidak lama setelah peristiwa itu terjadi dalam kondisi belum bercerai. Yang ia tahu, ia harus menyelamatkan hidupnya dan anak perempuannya karena suaminya sudah tidak lagi memberikan nafkah.

Menjadi single parent di Jakarta bisa kebayang betapa sulitnya saat itu, apalagi Marcella tidak mengenal seluk-beluk hidup di Jakarta. Ia kemudian memutuskan menghubungi temannya untuk dicarikan pekerjaan, namun Marcella harus mencari pekerjaan dimana kantor memperbolehkan ia membawa anak perempuannya yang saat itu umurnya masih 2 tahun. Sebut saja nama anaknya Arini.

Ia pernah bekerja sebagai penjaga warnet dimana Arini ketiduran di kursi di sampingnya karena ia harus kerja shift malam. Ia juga merasakan bagaimana orang di sekitarnya merasa terganggu karena ia membawa bayi yang menangis dan ada masa-masa sulit diminta diam.

“Secara umum mungkin orang menerima, tapi banyak juga yang merasa terganggu, sampai saya pernah menerima surat teguran kantor karena kadang dinilai tidak bisa menghandel anak karena banyaknya pekerjaan kantor,” kata Marcella yang dihubungi Konde.co, 23 Juli 2022

Marcella menceritakan kejadian di tahun 2002 awal ia pindah ke Jakarta. Ia kala itu menerima gaji Rp.750 ribu, uang itu harus ia atur agar cukup untuk makan dan sewa kost di dekat kantor. Ia memang memilih kost di dekat kantor walau agak mahal, agar ia bisa jalan kaki kalau pulang dan berangkat kerja dan tidak jauh dari kost kalau anaknya ingin cepat pulang.

Kehidupannya sedikit membaik ketika ia mendapatkan pekerjaan dimana ia bisa leluasa membawa anak, seperti ia pernah bekerja di tempat gym anak

“Tapi saya mengalami hal paling sulit, misalnya dulu sering menitipkan anak pada tetangga karena tidak bisa membayar pengasuh anak. Anak saya kunci dari luar karena kalau saya kerja pagi ia masih tidur. Kalau anak bangun dan menangis, tetangga menelepon saya, dan saya lari-lari dari kantor ke rumah untuk memandikan dan mengantarkan makanan. Kadang dapat izin dari kantor, kadang enggak. Kalau gak dapat izin, saya bilang, saya izin ke kamar mandi atau beli makan siang sebentar agar saya cepat lari ke rumah.”

Arini kini sudah berumur 13 tahun dan mengerti jerih payah ibunya. Marcella juga sudah menceritakan apa yang terjadi selama ini agar Arini mengerti dan diajak berjuang bersama.

Sampai saat ini Marcella belum bercerai dari suaminya, ia belum mengurus surat cerai karena lumayan mahal prosesnya. Suaminya sudah menikah lagi dan punya 2 anak.

Marcella mengatakan kini hidupnya jauh lebih baik, karena ia mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang mengurus coding anak dan Arini sudah semakin besar dan membantunya. Kalau Marcella ke kantor, Arini bisa mengurus dirinya sendiri di rumah. Jika ingat di masa-masa itu ketika Arini masih bayi dan ia harus menggendongnya kemana-mana ketika bekerja, Marcella merasa bahwa ia bisa melalui ujian berat menjadi single parent yang bekerja

Jadi Breadwinner dan Bekerjasama dengan Anak Karena Suami Sakit

Juwi, bukan nama sebenarnya sudah bekerja sejak SMP.  Ia bekerja di laundry, bantu-bantu di warung makan atau menjaga toko di mal. Semua dilakukan agar bisa mendatangkan uang untuk membantu ibunya yang menjadi kepala keluarga. 

Juwi saat ini duduk di kelas 1 SMA di salah satu sekolah swasta di Makassar, Sulawesi Selatan. Di tengah sekolah yang masih online, Juwi senang bisa membagi waktunya untuk bekerja, karena Juwi bisa tetap bekerja tanpa harus membolos sekolah.

Hari-hari seperti ini, sekolah sambil kerja sudah dijalani Juwi kurang lebih dua tahun terakhir. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda. 

“Kerjanya sama, kedai makan di mal. Tapi tempatnya agak mendingan karena di mal tidak begitu panas,” kata Juwi.

Juwi diberikan gaji Rp1 juta per bulan dengan jam kerja yang cukup panjang. Masuk pukul 11.00 siang dan pulang jam 10.00 malam, mau tidak mau tetap ia jalankan. 

Itu semua ia lakukan untuk mengurangi beban ibunya, yang adalah perempuan kepala keluarga. Di benak Juwi, setidaknya dengan bekerja, kebutuhan mereka di rumah tidak menjadi beban lagi di pundak ibunya karena ia punya gaji sendiri. Bahkan penghasilannya bisa menambah kebutuhan keluarga.

Juwi dan ibunya, Daeng Sikati (bukan nama sebenarnya) harus membanting tulang demi rupiah. Meski hitungan kasar gaji yang diterimanya dari bekerja sangat kecil, tidak sebanding dengan tenaga yang telah terkuras dari pagi hingga malam. Ini dilakoni Daeng Sikati agar tetap bisa hidup, dan anak-anaknya, termasuk adik Juwi bisa tetap melanjutkan sekolah.

Setelah suaminya, Daeng Alle sakit menahun pasca insiden kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh, Daeng Sikati harus menggantikan peran suaminya sebagai mencari nafkah. Dari menjadi buruh cuci pakaian di perumahan-perumahan, petugas kebersihan, dan sekarang menjadi pelayan di rumah makan lalapan, emperan jalan. Gajinya tidak lebih besar dari Juwi, sama jumlahnya Rp1 juta per bulan.

Uang sebesar Rp1 juta itu sama sekali tidak terpikirkan oleh ibu tiga anak ini, bagaimana bisa makan dengan gizi yang cukup dan seimbang untuk anak-anak. Memenuhi segala kebutuhan sebulan penuh dengan uang sekecil itu bahkan tidak cukup.

“Bagaimana mau beli makanan dengan asupan gizi yang memadai, makanan yang dibeli yang bisa mencukupi saja,”katanya

Juwi adalah salah satu potret anak dari Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Makassar, Sulawesi Selatan.  Mereka tidak dilahirkan dalam kondisi ekonomi memadai yang memungkinkan untuk tumbuh dan besar dengan ketersediaan pangan dan papan yang layak. 

Tak hanya di Sulsel, banyak anak-anak Indonesia yang harus tumbuh dan besar dalam asuhan keluarga yang dikepalai perempuan. Tidak sedikit dari mereka harus bertahan dalam keterbatasan atau bahkan dalam pusaran kemiskinan.

Di kota-kota besar, di wilayah pinggiran seperti Kota Daeng, julukan untuk Makassar sebagai ibu kota Sulsel, nasib anak-anak tidak selalu baik. Ada yang harus bekerja, ada pula yang terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya. Apalagi selama pandemi Covid-19 menyerang, ekonomi berat bikin hidup anak-anak PEKKA kian pekat.

PEKKA Sulsel, sebuah organisasi untuk pemberdayaan kelompok perempuan dengan status sebagai kepala keluarga mencatat, dari keanggotaan PEKKA Sulsel dari dua kabupaten yakni Bone dan Wajo, sebanyak 1.700 anggota perempuan dengan status kepala keluarga yang menjadi binaannya.

“Kalau yang terdata hingga saat ini, di Bone dari 9 kecamatan 32 desa ada 1.200 anggota. Dari 27 kecamatan belum semua wilayah disana bisa disasar, tidak semua pemerintah desa menerima PEKKA,” kata Andi Niar Ketua PEKKA Sulsel.

Sementara di Wajo karena berdirinya baru belakangan, hingga tahun 2020 lalu, baru ada sekitar tiga kecamatan dengan 11 desa dan kelurahan yang bisa dimasuki. Sehingga keanggotaannya pun baru sekitar 500 orang saja.

Andi Niar menjelaskan, kepala keluarga perempuan yang menjadi binaan PEKKA tidak melulu seorang istri yang ditinggal pergi suami. Entah karena ditinggal cerai atau mati. Tetapi mereka bisa dari perempuan, punya adik atau keluarga lain yang dihidupi karena orang tua mereka atau laki-laki di dalam keluarga tidak bisa menjalankan perannya untuk mencari nafkah.

“Entah karena sakit, tidak punya pekerjaan atau karena suami atau ayahnya tidak bertanggung jawab dalam keluarga, lalu peran-peren itu digantikan oleh istri atau anak-anak mereka,”katanya.

Dari banyak anggota PEKKA, Andi Niar mengaku anak-anak yang dibesarkan dari kepala keluarga perempuan, mayoritas memang lebih riskan berada dalam kondisi sosial yang sulit. Dalam banyak indikator kemiskinan, keluarga PEKKA memang cukup dominan memenuhi unsurnya.

Banyak kasus, anak-anak PEKKA bahkan tidak bisa mendapatkan pendidikan dasar karena ketiadaan biaya. Misalnya jarak rumah dengan sekolah yang cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, sementara ketiadaan alat transportasi. 

“Kalaupun ada alat transportasi umum, kendalanya karena tidak ada biaya,” katanya.

Masalah lainnya, banyak anak-anak Pekka yang tertekan, kabur dari rumah karena menjadi korban kekerasan. Mereka lebih banyak melihat pertengkaran orang tuanya karena kemiskinan

Termasuk juga masalah kesehatan dan pemenuhan gizi. Tidak hanya itu, anak-anak Pekka pun seperti yang dialami Juwi, yakni menjadi pekerja di usia yang masih dini kadang harus dialami anak-anak Pekka.

Parahnya, bantuan dari pemerintah sulit memihak kepada mereka. Banyak faktor kata Andi Niar, selain syarat yang berbelit-belit yang diajukan pemerintah, keluarga Pekka kadang tersandung soal surat-surat dan administrasi kependudukan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan.

“Misalnya anak yang akan menerima bantuan tidak memiliki akte kelahiran karena mereka lahir tanpa ayah. Itu banyak kasus demikian, jadilah anak-anak itu tambah miskin,” katanya.

Perempuan Bisa jadi Breadwinner

Sejumlah penelitian menunjukkan, banyaknya perempuan yang menjadi breadwinner atau pencari nafkah utama atau menjadi kepala keluarga, telah menunjukkan terjadinya perubahan struktur dan pola keluarga tradisional.

Dalam struktur keluarga tradisional, ayah adalah pencari nafkah utama, namun pencari nafkah utama ternyata bisa digantikan oleh perempuan. Walaupun anak perempuan tak boleh bekerja, namun dalam kondisi tertentu seperti Juwi, mereka bisa menjadi pencari nafkah dalam keluarga. Ini juga mengubah anggapan bahwa kita hanya bisa mengandalkan laki-laki dalam hal pendapatan, ternyata kondisi ini bisa berubah.

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) juga mencatat banyaknya perempuan yang bekerja sebagai buruh garmen yang kemudian menjadi breadwinner dalam keluarga. Kondisi ini terjadi ketika suami tidak bekerja sebagai pekerja formal, misalnya suaminya bekerja sebagai tukang ojek atau punya warung kelontong. Bisa juga ini terjadi ketika laki-lakinya malas bekerja dan tidak bertanggungjawab. Namun ada juga perempuan buruh lajang yang bekerja untuk menghidupi ayah dan ibunya.

Yang jelas, pergeseran konotasi kepala keluarga ini bisa terjadi pada siapapun, tidak hanya laki-laki yang jadi kepala keluarga, namun perempuan juga bisa jadi kepala keluarga atau pencari nafkah utama

Walaupun tantangan sosialnya sangat banyak ketika perempuan jadi kepala keluarga, karena biasanya selain jadi pencari nafkah utama, mereka harus tetap bertanggungjawab pada anak dan rumah, kondisi yang biasanya tidak biasa digantikan oleh laki-laki.

Maka jika kondisi ini terjadi, perempuan harus dikuatkan, diberikan dukungan yang memadai. Jika tidak, perempuan akan kehilangan seluruh hidupnya, harus bekerja keras di luar rumah dan di dalam rumah.

Rahma Amin dan Luviana

Jurnalis dan Aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!