Semua Butuh Internet, Tapi Akses Digital Belum Inklusif

Sebagian besar orang merasa sulit untuk mengakses dan menavigasi layanan online karena berbagai alasan. Semua orang butuh internet, tapi akses digital ternyata belum inklusif

Istilah “transformasi digital” sering terdengar akhir-akhir ini. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan proses pergantian fungsi dan layanan yang pernah dilakukan secara tatap muka dengan interaksi online yang lebih cepat, nyaman, dan “memberdayakan” pengguna.

Namun, apakah transformasi digital benar-benar memenuhi janji-janji tersebut? Atau apakah digitalisasi kehidupan yang terlihat tanpa henti malah meningkatkan kesenjangan sosial yang ada?

Sebagai contoh, lihatlah sektor perbankan. Dulu nasabah melakukan transaksi dengan teller di cabang-cabang terdekat, tetapi sekarang mereka terdorong untuk melakukan semuanya secara daring. Saat cabang tutup, banyak orang, terutama lansia, kesulitan untuk menjalankan tugas sehari-hari yang dulunya mudah mereka lakukan.

Atau coba lihat pengalaman dengan call centre (pusat aduan) yang sekarang banyak melibatkan suara elektronik, opsi menu, bot obrolan, dan fasilitas yang bertujuan mendorong pelanggan untuk melakukan semuanya secara online.

Ketika banyak organisasi dan lembaga pemerintah di Aotearoa Selandia Baru dan wilayah lain berjuang untuk menjadi lebih “digital,” kami telah meneliti konsekuensinya pada orang-orang yang menganggap proses ini menyulitkan atau mengabaikan mereka.

Sejak 2021, kami telah bekerja sama dengan Citizens Advice Bureau (CAB) Selandia Baru dan berbicara dengan organisasi-organisasi sektor publik yang menggunakan saluran digital dalam pemberian jasa. Temuan kami menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara digital dan non-digital.

Non-pengguna yang “bermasalah”

Pandangan yang dominan sekarang menunjukkan bahwa tujuan untuk mencapai masyarakat yang berkemampuan digital akan memungkinkan semua orang untuk menjalani kehidupan yang “mulus.” Dokumen kebijakan pemerintah Selandia Baru, Towards a Digital Strategy for Aotearoa (Menuju Strategi Digital untuk Aotearoa), menyatakan

Alat dan layanan digital memungkinkan kita untuk mempelajari keterampilan baru, bertransaksi dengan mudah, serta menerima bantuan kesehatan dan kesejahteraan pada waktu yang tepat dan tanpa perlu meninggalkan rumah.

Tentu saja, kita telah berada di dunia baru ini. Banyak layanan publik dan swasta semakin tersedia secara digital secara otomatis. Akibatnya, alternatif non-digital menjadi terbatas atau bahkan tidak ada.

Ada dua asumsi yang mendasari pandangan bahwa setiap orang dapat dan harus berinteraksi secara digital.

Pertama, ini mengimplikasikan bahwa orang-orang yang tidak dapat mengakses layanan digital (atau lebih memilih opsi non-digital) merupakan orang-orang yang bermasalah atau memiliki kekurangan – dan ini hanya dapat diatasi melalui penyediaan teknologi, pelatihan, atau mendorong non-pengguna untuk bersedia menggunakan layan digital.

Kedua, melalui peningkatan penyediaan layanan digital, ini berasumsi bahwa inklusi digital akan secara otomatis meningkatkan inklusi sosial.

Kedua asumsi ini belum tentu benar.

‘Paksaan digital’

CAB (yang sebagian besar memiliki cabang tatap muka di seluruh Selandia Baru) telah mendokumentasikan peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang yang menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan pemerintah karena kanal digital adalah pilihan satu-satunya.

CAB menerangkan bahwa akses layanan publik merupakan hak asasi manusia dan, implikasinya, perpindahan ke layanan publik digital yang tidak dapat diakses secara universal membuat sebagian orang kehilangan hak mereka.

Pada penelitian sebelumnya, kami menyebut bentuk perampasan ini sebagai “digital enforcement” (“paksaan digital”) – yang didefinisikan sebagai proses perampasan yang mereduksi pilihan individu.

Melalui penelitian kami saat ini, kami menemukan bahwa realita yang dihadapi masyarakat berkemampuan digital ternyata jauh dari sempurna dan mulus. Temuan awal kami memperlihatkan pentingnya memahami dampak transformasi digital pada tingkat individu yang lebih kompleks.

Sebagian besar orang merasa sulit untuk mengakses dan menavigasi layanan online karena berbagai alasan. Sering kali, alasan mereka merupakan perpaduan dari berbagai penyebab yang terkait dengan kondisi finansial, pendidikan, budaya, bahaya, kepercayaan, atau kesejahteraan.

Bahkan ketika diberi akses teknologi dan keterampilan digital, banyaknya persyaratan online yang rumit dan situasi kehidupan yang sedang berantakan dapat membatasi kemampuan mereka untuk menggunakan layanan digital secara produktif dan bermakna.

Faktor manusia

Rasa kehilangan hak dan kendali akibat transformasi digital sangat disesalkan, tetapi ini tidak dapat dihindari. Beberapa organisasi sedang mencari alternatif untuk fokus pada transfer layanan online.

Mereka tidak sepenuhnya menghapus pusat aduan atau staf yang membantu klien, melainkan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan penyediaan layanan yang berpusat pada manusia.

Organisasi-organisasi lain sedang mempertimbangkan kemitraan dengan perantara yang dapat bekerja dengan individu yang kesulitan dalam menggunakan layanan digital. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan Selandia Baru mendukung penyedia layanan kesehatan dan sosial Māori berbasis komunitas untuk mendirikan pusat kesehatan digital untuk meningkatkan akses perawatan kesehatan bagi warga lokal.

Penelitian kami terus berlanjut, tetapi kami sudah dapat melihat bukti – dari CAB dan organisasi besar lainnya – mengenai manfaat yang didapatkan dengan beralih dari fokus pada transformasi digital yang timpang.

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendorong inklusi sosial di era digital, bukan menghilangkan kesenjangan antara yang dilibatkan dengan yang dikecualikan. Dengan ini, organisasi masih dapat berkembang secara teknologi tanpa merugikan orang-orang yang mereka layani.

Angsana A. Techatassanasoontorn, Associate Professor of Information Systems, Auckland University of Technology; Antonio Diaz Andrade, Professor of Business Information Systems, Auckland University of Technology; Bill Doolin, Professor of Technology and Organisation, Auckland University of Technology, dan Harminder Singh, Associate Professor of Business Information Systems, Auckland University of Technology

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Angsana A. Techatassanasoontorn

Associate Professor of Information Systems, Auckland University of Technology
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!