Perempuan Disable: Kami Tak Bisa Selesaikan Kekerasan Seksual Jika Hak Reproduksi Tak Dipenuhi

Bagi perempuan disable, kesehatan reproduksi masih sulit diakses, ini jadi problem perempuan disable untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang mereka alami

Beberapa tahun lalu, Suharti bercerita pernah mendampingi seorang perempuan disabilitas mental yang mengalami perkosaan hingga mengalami kehamilan.

Perempuan itu diperkosa oleh orang yang tak dikenal. Kejadian itu tak hanya terjadi sekali, setelah beberapa tahun sesudahnya, perempuan tersebut kembali menjadi korban perkosaan hingga menyebabkan kehamilan kedua. 

Suharti, aktivis Forum Pengada Layanan (FLP) di Yogyakarta, menjadi saksi betapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas tak pernah dianggap penting. Ia menyaksikan sendiri bagaimana banyak pihak mengabaikan perempuan disable.

Tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak disabilitas, menjadikan upaya penanganan serta pencegahannya begitu penting untuk bisa mengakomodir hak korban. 

Kekerasan seksual terhadap orang dengan disabilitas yang mayoritasnya perempuan dan anak-anak, jadi permasalahan serius. Ini semakin gawat karena angka kasusnya kian mengalami tren kenaikan tiap tahun. 

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat, sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas. Mayoritasnya adalah anak perempuan sebanyak 764 orang. Sementara pada 2019, sebanyak 69 anak perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 61 kasus. 

Komnas Perempuan per Desember 2021 seperti dikutip di Jalastoria, kekerasan seksual terhadap orang dengan disabilitas banyak terjadi di rentang usia 8-19 tahun. Di usia ini, banyaknya korban diketahui belum memiliki pengetahuan cukup tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Dengan kata lain, mereka masih minim bisa mengakses Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Di masa itu, dirinya mengungkap, upaya penanganan kasus itu memiliki tantangan lebih sebab kondisi khusus dari perempuan dengan disabilitas. Upaya pencegahan akar masalahnya yaitu kekerasan seksual itu sendiri justru masih terbatas. Sepengetahuannya, masih begitu minim. Termasuk, aturan hukum dan infrastruktur yang mengalami kekosongan termasuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang tidak spesifik merujuk pada jaminan akses HKSR pada orang dengan disabilitas. Melainkan, hanya hak pelayanan kesehatan secara umum.  

“Ini kayaknya gak terlalu dibahas,” ujar Suharti kepada Konde.co pada Jumat (2/9). 

Suharti bilang, saat itu dirinya bahkan menjumpai penanganan korban kekerasan seksual pada perempuan disabilitas malah berpotensi melanggar hak atas kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) korban. Yaitu, mencegah adanya potensi kehamilan dengan alat kontrasepsi terhadapnya.

Maka dari itu, Suharti menekankan edukasi soal HKSR harus diberikan aksesnya untuk seluruh ekosistem termasuk di kalangan orang dengan disabilitas. Agar diskriminasi berlapis tak justru terjadi akibat minimnya pengetahuan dan kesadaran. Pemerintah dan semua pihak harus serius membangun sistem kebijakan dan fasilitas pendukung yang ramah terhadap disabilitas untuk mengakses HKSR serta terhindar dari potensi kekerasan seksual yang terjadi. 

Minimnya Jaminan Perlindungan atas Hak Kesehatan Reproduksi

Pernyataan Suharti soal minimnya jaminan perlindungan hukum atas akses HKSR yang harusnya merata memang tak dipungkiri terjadi. Terlebih di kalangan disabilitas. Suharti menyebut, tidak ada konteks HKSR secara komprehensif melainkan hanya sebatas hak kesehatan yang dikhawatirkan justru semakin menjauhkan perempuan dan anak disabilitas atas layanan HKSR. 

Mantan Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengungkapkan, UU TPKS memang masih mempunyai beberapa persoalan yang harus dikawal. Termasuk soal kejelasan atas hak kesehatan terhadap korban (termasuk disabilitas–red). Apalagi saat UU ini malah dibenturkan dengan moralitas. Tanpa disadari, hal itulah yang padahal justru menjadikan kekerasan seksual masih terus terjadi. 

“Karena dalam pembahasan TPKS ini penuh dinamika sampai ke relung hati, taruhannya nilai moralitas. Isu-isu agama seolah akan dilepas. Padahal kita sebenarnya sedang bicara mengenai kesehatan reproduksi,” ujar Sri Nurherwati dalam kepada Konde.co dalam acara Konferensi ICIFPRH 2022 atau Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi di Indonesia/ The 2nd International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH), di Yogyakarta, Rabu (24/8). 

Dalam Implementasi UU TPKS, dirinya menyebut, UU TPKS belum dijelaskan secara rinci mengenai definisi seksualitas, salah satunya, pasal perbuatan seksual tidak diurai secara detail karena semua pihak dianggap paham sehingga berpotensi menjadi multitafsir. Selain itu, belum dijelaskan pasti pula bagaimana korban mendapatkan hak kesehatan (HKSR—red). 

Maka dari, dia mendorong agar turunan UU TPKS di Peraturan Pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres) harus serius dikawal. 

“Kita lihat bahwa dalam aborsi aman, korban memiliki hak untuk dipulihkan. Bisa mendorong aborsi aman di dalam PP. Itu merupakan hak korban yang mesti dipenuhi. Penanganan aborsi aman masuk dalam perawatan medis yang harus dipenuhi,” katanya. 

Pentingnya Akses Pemulihan bagi Korban Kekerasan Seksual

Suharti menekankan, pemulihan korban kekerasan seksual termasuk perempuan dan remaja disabilitas memiliki setidaknya 3 hal utama yang harus dikuatkan. Pertama, layanan hukum adil dan setara yang disediakan oleh kepolisian, pengacara dan lainnya harus berpihak pada korban kekerasan seksual. Bagi disabilitas tentu saja kebutuhan khusus yang melingkupinya harus disiapkan aksesnya agar lebih terjangkau. 

Tak hanya itu, layanan psikososial yang disediakan banyak lembaga layanan non-pemerintah seperti lembaga layanan yang berada di bawah koordinasi Forum Pengada Layanan (FLP) juga harus dioptimalkan. Lalu, pemerintah juga semestinya bisa menyediakan akses layanan psikologis dan layanan medis yang memadai secara merata. 

“Tiga kebutuhan dasar itu wajib dipenuhi ketika kita melakukan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Kita selalu mengatakan itu sebagai layanan tripartit, jadi hukum, psikologis, dan medis itu wajib ada, agar pemulihan bagi korban KS komprehensif,” ujar Suharti dalam Konferensi Pers, di Yogyakarta, Rabu (24/8) lalu. 

Dia bilang, kondisi di Yogyakarta selama ini memang relatif cukup baik untuk integrasi akses tersebut. Dia mencontohkan pula bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan, Yogyakarta, bahkan telah memiliki buku panduan yang terintegrasi. Di dalamnya mengatur soal pembagian tugas antar instansi secara aplikatif. Termasuk di dalamnya tertulis soal pelayanan kesehatan reproduksi hak aborsi bagi perempuan korban perkosaan. 

Namun, masih banyak pekerjaan untuk bisa membuatnya merata ke seluruh wilayah di Indonesia. Terlebih, kondisi di lapangan selama ini belum ada data yang komprehensif yang juga jadi persoalan sehingga menyebabkan upaya penanganan kekerasan seksual semakin sulit. 

“Jadi yang kita bayangkan di layanan bagi perempuan korban KS itu ada layanan terpadu, entah itu satu atap atau yang satu pintu tadi, yang menyediakan banyak layanan termasuk tiga kebutuhan dasar itu. Yang di dalamnya harusnya ada kesehatan reproduksi komprehensif, tapi kenyataannya itu tidak tersedia secara meluas,” terang dia. 

Banyak pula lembaga layanan yang nyatanya, kata dia, belum mengerti mengenai adanya masa emas 72 jam bagi korban kekerasan seksual. Padahal, masa ini sangat krusial agar perempuan korban kekerasan seksual terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan. 

“Bagaimana kemudian 72 jam itu betul-betul dimanfaatkan secara baik, sehingga secara psikologis, kesehatan, dan hukum hak-hak korban bisa terpenuhi,” paparnya.

Edukasi HKSR terhadap Anak Muda 

Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, Marcia Soumokil, mengatakan masih banyak salah kaprah dan tabu yang berkembang di masyarakat soal edukasi HKSR. Seperti, HKSR justru mendorong anak untuk mencoba melakukan hubungan seksual sejak dini. 

Padahal, pengetahuan soal HKSR akan bisa membantu untuk memahami permasalahan kompleks yang selama ini terjadi. Seperti, pencegahan dan penanganan infeksi saluran reproduksi (ISR), infeksi menular seksual (IMS), dan HIV AIDS, hingga mencegah dampak yang lebih serius dari adanya kekerasan seksual.

“Penting untuk mengajarkan tentang bagian-bagian tubuhnya dan otoritasnya atas tubuhnya, sehingga dirinya mampu memahami bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang berhak melakukan apapun kepada dirinya dan tubuhnya tanpa persetujuannya. sehingga dengan pemahaman itu, mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual pada remaja,” kata Marcia. 

Lebih luas lagi, Miranda Van Reuwijk dari Rutgers Netherland, mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk edukasi HKSR terhadap remaja adalah melalui program Semangat Dunia Remaja (SETARA). Yaitu, program pendidikan kesehatan reproduksi untuk anak muda usia 10-14 tahun yang bermanfaat bagi remaja guna memiliki kesadaran diri untuk mengenal dirinya sendiri yakni mengenal karakter, kekuatan, kelemahan dan keinginannya.

“Studi yang menunjukkan bahwa anak-anak yang sangat paham akan kesehatan reproduksi itu cenderung untuk menunda melakukan hubungan seksual di usia muda, karena mereka sudah paham terkait manfaatnya bahkan konsekuensinya yang akan mereka hadapi,” kata Miranda dalam konferensi pers ICIFPRH 2022 yang dilaksanakan di Yogyakarta Rabu (24/8/2022).

Meski begitu, dia mengatakan, ada tantangan di tengah masyarakat yang masih banyak yang beranggapan hal ini tabu. Sehingga dikhawatirkan anak-anak muda justru mencari sumber informasinya di internet yang malah berbahaya. 

“Padahal justru tujuan kita adalah sama untuk menghindari anak-anak kita dari bahaya pornografi, dan informasi yang menyesatkan dan tidak benar, sehingga jika kita ingin menghindari anak-anak kita dari hal yang tidak benar maka kita harus memberikan informasi dengan cara yang tepat dan benar juga,” ucapnya mengakhiri.

Saat ini, program setara di indonesia telah diimplementasikan di tujuh kota dan kabupaten di Indonesia, selain itu lebih dari 30 sekolah telah mengimplementasikan modul setara tersebut dalam pembelajaran. Program Setara tersebut juga telah mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui penandatanganan MoU dengan berbagai Instansi terkait seperti Bappenas, Kemendikbud, dan Kemenag.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!