Buku ‘Mencintai Munir’: Melihat Rekam Jejak Hidup Suciwati Bersama Munir

Suciwati, istri pejuang HAM, Munir meluncurkan sebuah buku berjudul “Mencintai Munir” pada 7 September 2022. Buku ini merupakan rekaman hidup Suciwati bersama Munir

Mencintai Munir. Demikian judul yang disematkan pada buku yang merekam  jalan hidup Suciwati bersama Munir, Suami dan Ayah dari dua anak mereka: Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati. 

Di buku ini, Suciwati mengisahkan tentang perjumpaannya dengan Munir, cinta yang kemudian tumbuh, lalu membangun kehidupan bersama dan membesarkan kedua anak mereka hingga Munir kemudian dibunuh. Serta perjuangan  Suciwati untuk menguak kematian Munir hingga kini

“Jalan hidup yang saya pilih dengan cinta: ketika saya memilihnya sebagai suami, juga ketika saya berjuang untuk menguak tabir pembunuhan Munir yang terjadi di awal transisi Indonesia menuju demokrasi, yang sampai hari ini masih menyimpan banyak tanya. Buku ini ditulis dengan banyak tantangan, tapi yang paling berat adalah tantangan untuk mengatasi kesedihan, kehilangan dan ketidakadilan, yang saya rasakan tiap kali saya harus menjemput ingatan dan kenangan untuk menyambung bab demi bab. Acap kali air mata menghalangi kelanjutan kalimat tapi tak bisa menghentikan saya dari menulis, untuk terus menulis. Pada akhirnya, halaman terakhir dicapai, dan kelelahan panjang dari riset, mengumpulkan dan membacai bahan dan catatan yang terserak dan dilupakan, akhirnya punah. Berganti semangat, atau mungkin rasa tak sabar, untuk melihat buku ini sampai di tangan para pembaca.”

Suciwati menuliskan ini dalam beberapa kalimat pengantar bukunya yang diedarkan secara online

Pada 7 September 2004, Munir tewas karena racun arsenik di atas pesawat yang ditumpanginya menuju Belanda. Kala itu, Munir sedang berangkat untuk melanjutkan pendidikannya di bidang hukum di Amsterdam Belanda.

Pembunuhan ini bukan peristiwa kriminal biasa, tetapi pelanggaran HAM berat. Serangan terhadap Munir adalah teror bagi pembela HAM. Terlebih ada penggunaan fasilitas lembaga negara di dalamnya.

Bertepatan dengan 18 tahun terbunuhnya aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir, pada 7 September 2021, diluncurkan buku “Mencintai Munir.”

“Buku ini jauh dari kehendak mengkultuskan Munir. Ini hanya catatan tentang figur Munir di mata istri dan Ibu anak-anaknya. Ini adalah kesaksian, bahwa ada bagian yang kelam dalam sejarah bangkitnya demokrasi di Indonesia, dimana seorang aktivis dan pendorong perlindungan hak sipil dan hak asasi manusia, yang sederhana namun berani, diracun sampai mati di dalam pesawat Garuda menuju Belanda. Namun mereka yang berkuasa dari demokrasi yang ikut diperjuangkan si aktivis bahkan menolak untuk mengingat pembunuhan politik itu,” seperti tertulis dalam buku.”

Dalam postingan di akun instagram Museum HAM Munir @museum_ham_munir), Suciwati menegaskan Mencintai Munir tidak hanya mengulas tentang kehidupan dan perjuangan sang suami. Namun, juga bagaimana kehidupan orang-orang terdekatnya semasa Munir hidup hingga meninggal dunia dalam perjalanan menuju Amsterdam

“Semua orang sudah tahu bahwa 7 September 2004, Munir tewas dalam perjalanan menuju Belanda di dalam pesawat Garuda Indonesian Airways (GIA) yang ditumpanginya. Semua juga tahu bahwa hasil otopsi menemukan racun arsenik dalam dosis mematikan di tubuhnya, dan budaya Impunitas menghalangi tercapainya keadilan dalam persidangan kasus itu,” tulis Suciwati.

Di buku ini, Suciwati mengisahkan tentang perjumpaannya dengan Munir, cinta yang kemudian tumbuh, lalu membangun kehidupan bersama dan membesarkan kedua anak mereka, hingga kemudian Munir dibunuh serta perjuangan Suciwati dalam menguak tabir pembunuhan suaminya. Kisah ini menjadi latar depan dan latar belakang tentang kegigihan almarhum Munir dalam memperjuangkan penegakan prinsip HAM di Indonesia.

Di buku Mencintai Munir ini, Suciwati dan kedua anaknya bukan sekadar bayang-bayang sosok bernama Munir. Mereka tampil sebagai sosok-sosok otentik dengan pengalaman dan pandangan hidup masing-masing. Benang merah yang menghubungkan adalah keadilan terhadap kasus pembunuhan Munir baik sebagai pembela HAM, suami atau ayah, harus dituntaskan.

Dirilisnya Mencintai Munir ini seolah menegaskan sikap Suciwati yang  tidak akan pernah berhenti berjuang demi mendapatkan penyelesaian yang adil bagi Munir. Meski hingga hari ini, kasus pembunuhan Munir dinyatakan kadaluarsa, Suciwati masih terus berusaha membongkar konspirasi jahat di balik pembunuhan suaminya.

“Selama keadilan belum didapatkan, tidak akan ada kata selesai berjuang untuk penyelesaian yang adil kasus ini,” terang Suciwati ketika dihubungi Konde.co melalui sambungan telepon pada Senin (12/9/2022).

Suciwati menegaskan pembunuhan terhadap Munir adalah simbol atau mewakili serangan kepada para pembela HAM di Tanah Air. Serangan itu adalah teror bagi mereka yang selama ini bekerja untuk penegakan HAM. Dan, setelah Munir dibunuh teror kepada para pembela HAM juga masih terjadi.

Jadi, pembunuhan terhadap Munir harusnya ditetapkan sebagai pelanggaran HAM Berat. Tetapi, seolah ada kesengajaan Negara untuk menunda penyelesaian kasus ini.

Buku ini menjadi salah satu cara untuk mengingatkan publik khususnya pemerintah bahwa ada banyak kejahatan kemanusiaan di negeri ini yang belum terselesaikan. Selain buku ini, Suciwati juga telah membangun Museum HAM Munir di Malang Jawa Timur.

Para aktivis HAM di Indonesia dan keluarga korban pelanggaran HAM juga rutin menggelar acara Kamisan menagih janji pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

“Dukungan masih banyak, bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM termasuk pembunuhan Munir yang belum selesai,” cetus Suciwati.

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam komentar di buku ini menuliskan tentang cinta Suciwati dan Munir

“Cinta adalah fondasi dasar dalam menjaga dan merawat relasi antarmanusia. Cinta Munir kepada Suci dan cinta Suci kepada Munir mengejawantah karena kepedulian mereka membela kebenaran dan keadilan berdasar keyakinan atas ajaranNya. Cinta keduanya adalah sejati karena cinta serupa itu tak saling menuntut, tapi saling memberi.”

Koordinator KONTRAS, Fatia Maulidiyanti menulis, Munir merupakan inspirasi besar bagi masyarakat yang terus berjuang demi keadilan di negeri ini dari masa ke masa, tidak mengenal dari generasi mana saja. Munir menjadi sebuah simbol perjuangan hak asasi manusia yang terus berlipat ganda dan mengakar.

Munir, menurut Fatia, menjadi pengingat bahwa rasa takut tidak akan menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di negara ini. Dan, semangat itu harus terus dilestarikan. Namun, ada sosok lain yang sesungguhnya mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat tentang Munir sebagai teman hidup, ayah, ataupun anak.

“Dari buku ini, kita dapat mengenal Munir lebih dekat sebagai sesosok manusia dan kehidupannya. Bahwa walaupun kita tidak sempat berdiskusi, mengobrol atau bersenda gurau dengannya secara langsung, tapi dalam buku ini kita bisa merasakan nyawanya selalu ada di dekat kita,” tulis Fatia dalam ulasannya.

Manusia sederhana yang berani bersuara

Di buku Mencintai Munir ini, orang yang selama ini melihat Munir dari jauh, diajak mengenal almarhum secara personal dan detil. Banyak orang bilang dia pahlawan padahal dia adalah manusia biasa yang sederhana namun berani bersuara yang hadir di tengah ketakutan massa. Ia berani menyuarakan suara mereka di tengah pemerintahan Orde Baru yang otoritarian. Kakinya selalu berpijak pada kebenaran dan kemanusiaan.

“Munir adalah manusia biasa dan sederhana yang memiliki ketulusan luar biasa bagi negeri ini. Tapi negeri ini tidak menghargai dia. Pemerintah tidak menunjukkan keseriusan menuntaskan kasus pembunuhannya,” cetus Suciwati.

Belasan tahun setelah Munir meninggal, narasi jahat dan tuduhan miring masih disebarkan. Tuduhan bahwa Munir adalah antek asing, tidak nasionalis atau Munir pengkhianat bangsa dan lain-lain. Padahal, Munir itu sangat mencintai Indonesia. Dia selalu mendorong semua orang untuk terus bekerja profesional untuk rakyat Indonesia. Dan, tentunya semua berbasis hak asasi manusia (HAM).

“Semua tuduhan itu adalah cara mereka –kelompok yang saya sebut para penjahat–  yang ingin defend atas kritik almarhum atas penegakan HAM di negeri ini,” Suciwati.  

Suciwati tak mengingkari di balik sikap beraninya. Munir juga menyimpan rasa takut. Teror, fitnah dan bahkan ancaman pembunuhan sudah menjadi hal biasa yang dihadapi Munir. Namun semua itu dihadapi dengan keyakinan agar tidak merintangi perjuangan.

Munir sadar jalan yang dipilihnya bukanlah jalan yang mulus dan landai sehingga mudah dilalui. Jalan perjuangan yang dipilihnya adalah jalan terjal yang penuh bahaya. Namun, dia tak pernah terbuka mengungkapkan hal itu. Namun satu waktu, kepada rekan buruh yang menjadi teman seperjuangannya Munir mengungkapkan ketakutan itu.  

“Mungkin aku tidak akan bisa hidup mendampingi anakku hingga umur di atas 10 tahun,” ujar Suciwati menirukan ucapan Munir kala itu.

Ya, Munir adalah manusia biasa yang kadang sangat berani tapi juga tak bisa lepas dari rasa khawatir. Sebagai manusia, kadang Munir juga bisa menjadi sangat pemarah ataupun kecewa. Tapi juga kadang-kadang dia sangat lucu.

“Sifat-sifat manusiawi itu dia tempatkan sesuai substansi. Ada banyak sisi humanis yang mungkin orang lain belum tahu secara detail,”

Suciwati mengisahkan, Munir selalu mengajarkan kepada orang-orang di dekatnya bahwa bekerja itu harus total. Terutama dalam mendampingi atau mengadvokasi korban. Munir begitu mengutamakan kepentingan korban ketika pendampingan.

Namun demikian, Munir juga sangat memperhatikan keluarganya. Keselamatan keluarga menjadi landasan penting bagi perjuangannya. Ia percaya, ketika keluarganya aman maka ia bisa lebih leluasa melanjutkan perjuangannya.  

“Kalau istriku marah, bisa berantakan hidupku” kata-kata Munir ini bisa menggambarkan bagaimana Munir memposisikan keluarganya dalam perjuangannya.

Satu hal yang tak bisa dilepaskan dari sosok Munir adalah sikapnya yang bersahaja. Tak pernah dia mengenakan pakaian mahal. Dia juga tak terlalu khawatir, meski di dompetnya hanya berisi beberapa puluh ribu rupiah. Dia akan lebih khawatir jika ada kebijakan yang membuat rakyat sengsara.

Seperti kata Suciwati, Mencintai Munir adalah mencintai kebenaran, keadilan dan kesederhanaan.

Foto: volkpop

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!