Edisi Khusus ‘Anak Muda Menulis PRT’: PRT Adalah Invisible Power Penggerak Ekonomi

PRT adalah invisible powers yang punya peran besar dalam perekonomian suatu masyarakat dan bahkan sebuah negara, dari kerja-kerja yang dilakukannya maupun dari upah yang diterimanya jika diakui sebagai pekerja. Sayangnya apa yang diberikan PRT ini tak sepadan dengan apa yang mereka terima selama ini.

Selama sepekan ini, 5-10 September 2022, Konde.co bersama Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE menurunkan Edisi Khusus “Anak Muda Menulis tentang Pekerja Rumah Tangga.” Selamat Membaca!

“Few tasks are more like the torture of Sisyphus than housework, with its endless repetition: the clean becomes soiled, the soiled is made clean, over and over, day after day,” mengutip Simone de Beauvoir, pemikir eksistensialis yang memelopori gerakan Feminisme Prancis. Dalam bukunya, The Second Sex (Le Deuxième Sexe), Beauvoir memberikan penjelasan bahwa perempuan mengalami posisi dilematis dalam upayanya mengaktualisasikan diri.

Hal tersebut dikarenakan sosio-kultural masyarakat yang memandang secara dikotomis antara laki-laki dan perempuan; jantan – betina; maskulin – feminin; kuat – lemah; produktif – reproduktif, yang disandarkan sejak lahir pada bayi dengan jenis kelamin tertentu. Apabila diselaraskan dengan struktur perekonomian modern, situasi tersebut juga berlaku sebagaimana yang dapat dilihat dalam fenomena Pekerja Rumah Tangga (PRT). Posisinya belum diakui sebagai pekerja formal, dan kerja-kerjanya juga dipandang sebelah mata.

Namun, PRT dalam tulisan ini akan dilihat dari sudut pandang optimis bahwa mereka memiliki sokongan besar untuk stabilisasi sosial dan pembangunan ekonomi, sehingga terdapat urgensi untuk pemerintah memberikan regulasi perlindungan dan jaminan sosial dalam operasional kerja PRT.

Pekerja Rumah Tangga atau PRT bergiat di ranah domestik, seperti: mencuci pakaian dan menyetrika; membersihkan rumah dengan menyapu dan mengepel, juga menyeka debu pada peranti rumah; menyiapkan makanan dengan memasak; atau juga mengelola sampah rumah tangga sehingga tersalur menuju tempat yang seharusnya. Dalam hal ini terdapat stereotip bahwa mereka tidak memiliki keperluan lain selain berada di rumah-rumah para pemberi kerjanya.

Namun, terlepas dari itu, PRT adalah organisator domestik di suatu rumah, selaras pada istilah yang menuliskan mereka sebagai invisible powers, situasi ini tentu dapat berperan dalam perekonomian suatu negara. Pertama, mereka turut andil dalam kepengurusan anak dari pemberi kerja, sehingga pemberi kerja dapat secara efisien melangsungkan peran ekonomi dan sosialnya di ranah publik.

Kedua, efek domino dari poin pertama, yaitu terbentuknya lingkungan kerja yang kondusif. Hal tersebut dikarenakan pelaku usaha di berbagai bidang akan optimal dalam menghadirkan dirinya di saat melakukan pekerjaan, tanpa dibebani oleh urusan domestik. Ketiga, di lain sisi, individu sebagai seorang PRT akan memberikan sokongan (pula) kepada perekonomian keluarga. Dengan melihat realitas yang terjadi, banyak anak-anak dari PRT yang berhasil menempuh jenjang pendidikan sampai sarjana, atau mungkin cerita PRT yang sukses menjadi usahawan setelah mendapat modal dari tabungannya ketika bekerja sebagai PRT.

Hal ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya pada lingkup keluarga seorang PRT, dan umumnya untuk keberlangsungan ekonomi negara. Dengan demikian, PRT adalah penggerak ekonomi tak terlihat(invisible mover) yang harus diberdayakan oleh negara, sehingga menjadi krusial atas pembentukan pengaturan—berupa undang-undang yang secara khusus menempatkan posisi mereka sebagai tenaga kerja yang potensial—untuk melingkupi sistem kerja tiap PRT di Indonesia. Urgensi tersebut semakin relevan, apabila melihat realitas yang terjadi pada PRT dan bagaimana Indonesia memosisikannya di dalam lingkup ketenagakerjaan.

Menelisik situasi pekerja rumah tangga di Indonesia, dapat diawali dengan merujuk data dari International Labour Organization (ILO) yang menyebutkan jumlah PRT Indonesia sebanyak 4,2 juta orang pada 2015. Kemudian untuk tahun ini (2022) Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memperkirakan terdapat 5 juta orang PRT.  

Namun, PRT di Indonesia rentan mengalami kasus ketidaksetaraan gender—dengan asumsi bahwa mayoritas PRT di Indonesia adalah perempuan. Kepengurusan di ranah domestik akan memberi labelling yang meruntuhkan status PRT sebagai pekerja formal, sebab sebagaimana perempuan yang dipersepsikan oleh masyarakat patriarki, mereka—pekerja rumah tangga (yang mayoritas perempuan)—secara kodrati adalah seorang ibu yang harus mengurus anak, juga dipandang dalam sosio-kultural masyarakat sebagai agen yang (memang) mengurus bagian domestik.

Dengan demikian, PRT tidak dinilai sebagai pekerjaan yang membutuhkan skill, mereka dipandang secara alamiah mampu dan memang ditempatkan pada bagian “pengurus rumah”. Hal ini sangat berdampak pada kedudukan PRT di lingkungan sosial, pekerjaan ini bahkan dicap rendah dan tidak berarti. Dampak yang lebih signifikan datang dari pihak pemberi kerja, sebab ia dapat mempersepsikan PRT sebagai individu yang berposisi lebih rendah (dari padanya), sehingga meningkatkan potensi atas eksploitasi terhadap PRT, juga meningkatkan kerentanan PRT atas tindak kekerasan.

Konotasi yang bersifat negatif dan “merendahkan” pada istilah PRT tersebut, akan berpengaruh pada tingginya potensi pengeksploitasian terhadap PRT, adapun beberapa diantaranya: pertama, menyinggung kelayakan dalam bekerja: beban kerja yang tak terbatas; waktu kerja yang berlebihan; tidak ada jatah libur berupa cuti yang disebabkan oleh proses alamiah manusia seperti cuti akibat haid; prosedur makan apabila berbeda agama/kultur; dan aksesibilitas yang minim untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam pergaulan.  

Kedua, menyinggung keamanan dalam bekerja: fasilitas kerja yang tidak akomodatif; peralatan seadanya ketika harus mengurus bahan-bahan yang berisiko mencelakai; tidak adanya regulasi atas ancaman dari kekerasan dan pelecehan; dan eksploitasi dari pihak penyalur yang motifnya memperdagangkan pekerja rumah tangga.

Ketiga, menyinggung keadilan dalam bekerja: mekanisme pengupahan yang tidak stabil (diserahkan sepenuhnya pada pemberi kerja tanpa perjanjian tertulis); tidak adanya jaminan sosial dan ketenagakerjaan; juga posisi yang timpang saat terjadinya konflik.

Kendati penjelasan tersebut masih dikatakan potensi, tetapi realitasnya PRT telah mendapati berbagai perlakuan yang tidak layak dalam melakukan pekerjaan. Merujuk pada survei yang dilakukan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) tahun 2020, tercatat sebanyak 893 kasus kekerasan terhadap PRT, sedangkan pada tahun 2021 sebanyak 372 kasus. Melihat angka sebanyak itu, dapat memberi gambaran bahwa Indonesia adalah ruang yang tidak “bersahabat” dengan PRT, sehingga diperlukan aksi untuk menghentikan tindak kekerasan tersebut sedini mungkin. Hal itu juga diperparah atas ketiadaan pengaturan yang regulatif dari kedudukan PRT sebagai pekerja, yaitu seperti keharusan untuk diberikannya jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. 

Menempati ruang yang tidak “bersahabat”, PRT mengalami berbagai tekanan yang tidak termanifestasikan dalam ruang publik. Di dalam perumahan-perumahan yang tenang, di balik mewahnya rumah majikan terdapat hingar-bingar keresahan pekerja rumah tangga, tangannya gesit mencuci dan menyapu, tetapi hatinya menjerit dan membeku; badannya yang sakit karena lelah, tetapi terdapat kehidupan yang pasrah.

PRT yang didominasi oleh perempuan, tidak perlu diberikan ancaman dan dikecam untuk merasa takut dan tertekan, sebab mengetahui rekan PRT-nya yang sering mendapatkan kekerasan pun sudah cukup untuknya diam dan dilingkupi rasa takut. Dengan demikian, menjadi wajar apabila kasus kekerasan terhadap PRT serupa fenomena gunung es, hal itu dikarenakan kecenderungan dari dalam diri PRT itu sendiri untuk bersikap seakan-akan semuanya baik-baik saja.

Ketidaksetaraan atas apa yang dihasilkan PRT kepada kehidupan pemberi kerja dalam berkeluarga, dengan apa yang diberikan kepadanya (PRT) terlihat tajam ketika dikorelasikan dengan nihilnya jaminan sosial untuk mereka. Merujuk pada survei yang dilakukan oleh JALA PRT per-Agustus 2021, terdapat 868 responden (PRT) yang mana dihasilkan data berupa 82% PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional, dan hampir 100% diantaranya tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan.

Dalam beberapa rujukan, ditemukan penyebab atas situasi tersebut yang erat kaitannya dengan status PRT sebagai pekerja di ranah domestik, yang mana dipandang sebagai pekerjaan yang nonformal (informal). Dengan demikian, perlu adanya pengakuan oleh pemerintah terhadap posisi PRT sebagai pekerja yang juga layak untuk mendapatkan jaminan sosial (dari pemberi kerja). Hal itu dilakukan dengan cara mengubah status PRT sebagai pekerja yang juga berkedudukan sama (setara) dengan pekerja formal. Tidak lain dan tidak bukan, adalah sebuah keharusan karena pembuatan jaminan sosial akan menaikkan taraf hidup PRT dan sekaligus melindunginya dari aksi pengeksploitasian pekerja. Namun, bagaimana realitas yang terdapat di Indonesia?

Tercatat dari tahun 2011, tepatnya saat Konferensi ke-100 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), dengan hasil pertemuan berupa kesepakatan atas Konvensi 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT yang saat itu juga telah disetujui oleh 70 negara anggota, ternyata baru sekitar 32 negara yang telah meratifikasinya sebagai hukum nasional, dan sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam 32 negara tersebut.

Padahal, jalan keluar dari permasalahan PRT yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditemukan dalam Konvensi 189, yang mana dalam kesepakatan tersebut menekankan atas jaminan perlindungan sosial bagi PRT, juga merujuk pada Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bahwa jaminan sosial melingkupi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan menindakseriusi Konvensi 189 ini, maka PRT Indonesia akan berada di lingkungan kerja yang inklusif.

Jamsos tidak ditujukan untuk memberatkan pemberi kerja, tetapi dengan adanya (undang-undang) pengaturan hukum yang secara seimbang membagi proporsi atas pembayaran iuran jamsos tersebut, menjadikan masing-masing pihak berada dalam dekapan keadilan. Kemudian, kembali pada apa yang pertama kali disampaikan dalam tulisan ini, bahwa PRT adalah invisible powers, yang mana sebagai suatu kekuatan tersembunyi dari stabilisasi sosial dan pembangunan ekonomi.

Apabila diberdayakan dengan baik, maka PRT akan menjadi visible powers yang membawa kekuatan besar untuk memberi dampak positif terhadap negeri. Pekerja rumah tangga adalah pendorong tak terlihat dari perputaran ekonomi, dengan memberdayakannya dan memberikan posisi yang sesuai serta bersifat manusiawi, maka tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran mereka akan semakin berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Di lain sisi, juga memberikan perlindungan kerja kepada mereka, adalah langkah untuk menyetarakan atas hak-hak dasar yang selama ini masih terkubur dan membeku di dalam peliknya permasalahan fenomena gunung es. Lalu, mengapa tak kunjung jua perlindungan itu hadir?

(Artikel ini adalah pemenang lomba artikel mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung Voice)

Amar Yanuar Pamungkas

Mahasiswa S1 Prodi Filsafat di salah satu perguruan tinggi negeri.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!