‘Gendut Siapa Takut?!’ Mendobrak Objektivikasi Perempuan Berbadan Besar

Mau kurus atau gendut, itu tak masalah. Kita seharusnya mengubah pandangan orang tentang penilaian gendut atau kurus. Film "Gendut Siapa Takut?!" bersemangat mengubah pandangan buruk tentang gendut pada perempuan

Kepercayaan diri Moza Aphrodhite diperankan oleh Marshanda memang tiada banding, mau ada yang bilang dia “Gendut, bagong, paus” tak membuat hati Moza yang menjomblo di Usia 30 tahun tersakiti apalagi insecure

Bagi Moza, yang terpenting dirinya terus bisa berkarya dan menunjukkan sisi lain dari dirinya selain cuma menonjolkan fisik untuk menarik perhatian orang lain.

Ayah Moza yang diperankan Tora Sudiro yang masih kolot memberi nama putri sulungnya Aphrodhite (Dewi Kecantikan dalam mitologi Yunani) agar putrinya cantik. Bisa bayangkan Moza yang tumbuh dari orangtua yang punya framing bahwa anak perempuan itu harus cantik dan menarik, lalu Moza justru tumbuh berbadan gendut dan dianggap orang-orang tubuhnya jadi tak menarik. 

Hal ini kemudian membuat Moza tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri dan berupaya menyenangkan orang lain, ia justru menumbuhkan rasa percaya diri dengan merubah fokus pada kualitas dirinya dibanding kuantitas.

Cerita ini merupakan bagian dari Film ‘Gendut Siapa Takut?! Yang merupakan film drama komedi romantis Indonesia tahun 2022 sutradara Pritagita Arianegara dan Ilya Aktop diproduksi Spectrum Film yang disutradarai Alnira dan dibintangi oleh Marshanda, Wafda Saifan Lubis, Marthino Lio, Cut Mini dan Tora Sudiro

Dalam film ini, Moza terlihat sadar akan kekurangannya di mata orang lain, tetapi Moza justru bisa memaksimalkan kelebihannya. Moza lalu berfokus pada peningkatan kualitas diri dan terus berkarya dan percaya pada kemampuannya. Moza mendobrak objektifikasi yang kerap dilakukan orang lain terhadap tubuh.

Dengan bentuk tubuhnya yang kerap jadi bahan bullying, Moza merangkai mimpi besar dalam karirnya, ia ingin menjadi novelis yang menginspirasi banyak orang dan juga mendapatkan pendamping hidup dengan standar tertinggi dalam kisah asmaranya meskipun kadang Ibunya Moza yang diperankan Cut Mini mengintimidasinya untuk jangan pilah pilih laki-laki agar cepat menikah karena ia menganggap putri sulungnya itu tak menarik bagi laki-laki

Moza kerap menampilkan sisi dirinya yang ceria dengan memakai baju dan accessories yang berwarna cerah, dan selalu bersikap positif terhadap lingkungan sekitarnya. Sebagai anak perempuan pertama di keluarganya, ia juga punya tanggung jawab besar untuk menjadi contoh yang baik bagi adik lelakinya, Nobel yang diperankan Omara Esteghlal meskipun adik lelakinya juga kerap meremehkan kakaknya karena gendut

Meski kerap dianggap tak pantas mendapatkan laki-laki ideal, Moza justru terus menggantang “mimpi” memiliki cinta sejati, Moza bermimpi punya kekasih laki-laki yang  karismatik

Moza Menyukai Dafian Jatmiko yang diperankan Marthino Lio, seorang sutradara berprestasi yang kerap memenangkan penghargaan. Tapi sayang, tak ubahnya orang lain, Dafi justru memandang Moza hanya sebagai perempuan gendut yang bisa dimanfaatkan. Bukan merasa rendah diri, Moza justru semakin memahami macam-macam perilaku orang lain.

Ada juga laki-laki lain bernama Nareswara. Wajah laki-laki bernama Nares itu paling dibenci Moza, walaupun ia kerap muncul setiap hari. Ini membuat Moza kesal, padahal Nares adalah teman masa kecil Moza. Ia bernama Nareswara Radeva yang diperankan oleh Wafda Saifan Lubis. Nares kerap membawakan makanan kesukaan Moza dan bersikap baik pada Nobel. Tujuan terbesar Nares adalah minta maaf karena perilaku nakalnya membully Moza saat kecil.

Permintaan maaf Nares tak semudah itu dimaafkan Moza, tapi Nares tak menyerah hingga Moza mengusirnya dan menyinggung Nares soal almarhum ibunya. Nares kena mental, Moza justru merasa bersalah karena ucapanya yang keterlaluan, Moza yang berhati lembut berinisiatif meminta maaf pada Nares.

Bagaimana kelanjutan kisah keduanya dan bagaimana Nares melihat tubuh gendut Moza? Film ini dipenuhi lika-liku cerita Moza

Objektifikasi Perempuan Berbadan Besar

Dalam soal tubuh, Konde.co pernah mencatat, Identitas perempuan seringkali diidentikan dengan fisiknya, dengan kecantikan atau segala hal yang sudah dikonstruksikan oleh masyarakat tentang perempuan. 

Sering perempuan dilihat hanya dari tubuhnya, diinterpretasikan melalui penampakannya. Terkadang dijadikan simbol dan diperdagangkan entah itu yang terselubung atau terang-terangan dan seakan-akan itu demi kebaikan perempuan itu sendiri.  

Efek buruk dari Objektifikasi adalah perempuan yang justru mengobjektifikasi diri sendiri (Self Objectification) hal ini membuat perempuan terus menerus menganggap penampilan menjadi isu besar dan justru berupaya tampil sempurna agar mendapatkan pandangan baik dari orang lain.

Moza yang berbadan besar belum tentu takdir, tapi ia tak terus menerus berpikir untuk kurus dan memikat banyak orang, tapi sosok Moza diciptakan agar orang lain tak melulu fokus pada tubuh seseorang.

Sutradara Film Gendut Siapa Takut, Pritagita Arianegara senafas dengan pesan manusiawi itu. 

“Kita harus merubah pandangan orang, hentikan melihat seseorang dari penampilannya, lebih baik isi kepala dan isi hati dibanding memoles penampilan sesuai dengan tuntutan pasar,” jelasnya disela Press Conference Film Gendut Siapa Takut di CGV Grand Indonesia, Jakarta,  Kamis (15/9).

Film Gendut Siapa Takut diangkat dari Novel karya Alnira dengan judul yang sama, disutradarai oleh perempuan. Prita mengungkap, Objektifikasi merupakan sebuah keresahan sosial yang sepatutnya segera dirombak.

”Film ini menggambarkan sisi dalam diri saya, banyak perempuan yang disebut cantik justru kurang empati dan tidak berupaya mengaktualisasi diri dan menambah kualitas diri, mereka cenderung memandang perempuan lain sama dengan pandangan lelaki yang fokus pada penampilan fisik,” ujarnya.

Film Gendut Siapa Takut?! yang disutradarai oleh Pritagita Arianegara dan diproduseri oleh Rajesh Kewalram Jagtiani dari rumah produksi Spectrum Film akan tayang serentak di bioskop September 2022.

Sumber Gambar: Official IG Spektrum Film Indonesia 

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!