Edisi Khusus ‘Anak Muda Menulis PRT’: ‘Jongos’ Gak Butuh Jaminan Sosial, Kan Costly!

Awalnya, muncullah sebutan huisjongen, yang kemudian akrab di lidah Indonesia sebagai 'jongos'. Ini terjadi di awal abad ke-20 ketika gejolak diskriminasi rasial meledak. Paradigma ke-maha-an bangsa kulit putih pun menyebar. Sejak itu dimulailah zaman emas perbudakan kelas sosial. Mereka yang tidak memiliki status sosial seperti jongos, babu atau Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam istilah kekinian, jatuh bebas ke lubang gelap dan dalam.

Selama sepekan ini, 5-10 September 2022, Konde.co bersama Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE menurunkan Edisi Khusus “Anak Muda Menulis tentang Pekerja Rumah Tangga”. Selamat Membaca!

Jongos’ Gak Butuh Jaminan Sosial, Kan Costly!

Jika nurani kita terluka dengan headline kalimat ini, bukankah artinya, terwakili sudah perasaan semua Pekerja Rumah Tangga/ PRT atas rasa ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini?

Namun, apabila tanpa sadar kita mengamini judul tersebut, ada baiknya kita cermati artikel berikut. Gap Status Sosial antara “Jongos” dan Anda?

Disparitas. Mengapa muncul perbedaan antara individu satu dengan individu lain di kehidupan sehari-hari? Akar perbedaan ini mengacu atas: ilusi pemberian status dalam masyarakat sosial. Status tersebut menjadi landasan dalam pemberian hak dan kewajiban.

Sayangnya, penyalahartian dalam konteks relasi sosial, kerap terjadi antara individu dengan nilai sosial tinggi dengan individu yang dinilai rendah.

Antitesa rasa hormat dan nilai harga diri ini sangat bertentangan dengan sebuah hukum kekal Sang Pencipta. Bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih tidak membeda-bedakankan manusia, semua manusia di muka bumi, secara adil mendapat rahmat dan karunia dalam ketentuanNya. Nilai yang membedakan manusia hanya iman dan ketakwaan, profesi jelas tidak terkait dengan keduanya.

Dalam perspektif tipuan, kita membagi status dengan menyandarkan timbangan atas dasar kepemilikan dan kekuasaan. Manusia menjelma tuhan dengan menetapkan sendiri sistem stratifikasi sosial. Penggolongan itu diciptakan oleh mereka yang berkuasa. Segala aturan yang dibuat, semua dalam rangka pemenuhan kepentingan golongan di rantai puncak kehidupan. Akhirnya timbul strata Penguasa vs Jelata dengan segala dinamika kehidupan di dalamnya.

Menilik sejarah, Heather Sutherland dalam penelitiannya yang berjudul Slavery and The Slave Trade in South Sulawesi, publikasi tahun 1983, menjelaskan bahwa sejak akhir abad ke-17, telah ada istilah perbudakan di Hindia-Belanda (Indonesia). Pemerkosaan hak, luas berkembang, saat ekses kegiatan eksplorasi VOC dalam ragam komoditi, semakin masif. Kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (pekerja/buruh) semakin tinggi.

Namun miris, segala bentuk penjajah selalu menetapkan kebijakan dengan asas meminimalisir beban produksi yang menguntungkan isi perut sendiri. Selain menggunakan budak demi kepentingan eksplorasi hasil bumi, “tenaga paksa” tersebut lambat laun diperlukan juga dalam ranah privat, di dalam rumah.

Tersebutlah huisjongen, yang terkemudian akrab di lidah Indonesia sebagai “Jongos.” Jejak awal abad ke-20, gejolak diskriminasi rasial meledak. Paradigma ke-maha-an bangsa kulit putih menyebar, dimulailah zaman emas perbudakan kelas sosial. Mereka yang tidak memiliki status dan harga sosial, jatuh bebas ke lubang gelap dan dalam.

Pembatasan hak kemerdekaan sebagai individu mulai diterapkan. Mereka ditempatkan di tempat yang tidak layak, bahkan disejajarkan dengan ternak. Dipaksa puas dengan segala penindasan, upah? hanya jatah sambung tenaga.

Sambung tenaga dalam konteks masa kini, tidak jauh berbeda. Besaran yang teorinya harus disepakati bersama, jauh panggang dari api. Harapan itu berjalan timpang, Jongos harus menerima dengan ikhlas segala kesepakatan walau terpaksa.

Jika menawar, silakan cari tempat lain, masih banyak yang mau bekerja. Kenyamanan dalam bekerja? Jangan tanya. Se-maha itukah pemberi kerja?

Miris, dalam tuntutan pekerjaannya, mereka mesti ada saat dibutuhkan kapanpun, dan bagaimanapun. Perjanjian waktu kerja? Hanya bualan. Untuk itu, tanpa disadari, kita menyepakati ketentuan umum bahwa: sebagai jongos (PRT) yang baik harus memiliki: Pengabdian Tanpa Batas dalam ketaatan yang tabah.

PRT tidak dipandang sebagai individu bebas yang memiliki kebutuhan sendiri. Tidak perlu hidup layak dan setara, apalagi suara dalam menuntut hak. Keinginan dan harapan, jelas akan menguap dengan sendirinya.

Semua bersumber dalam satu makna manis terjajah: pengabdian, yang menuntut segenap jiwa raga untuk memenuhi kebutuhan Tuan atau Nyonya. Terlindunginya pemahaman secara kultur yang masif inilah, yang membuat PRT dikesampingkan keberadaannya. Jika demikian adanya, lantas apakah itu berarti pula bahwa PRT bukan manusia! Mereka tidak perlu jaminan sosial!

Beberapa waktu silam, salah satu anggota legislator menyatakan ketidaksetujuan atas disahkannya RUU PPRT. Dasar pemikirannya adalah: PRT dalam budaya kita, sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.

Keluarga. Keluarga yang manakah? Adakah keluarga yang dibedakan dalam hak dan pemenuhan keamanan, makanan dan pakaian layak, beban pekerjaan, dan kasih sayang?

PRT bukanlah anggota keluarga pemberi kerja! PRT adalah individu yang bekerja secara sadar dan terikat untuk membantu pekerjaan domestik pemberi kerja, dan dalam kerangka profesional. Poin profesional inilah yang sering dihilangkan dalam praktik keseharian.

Anda boleh berkilah, “Ah, yang benar saja, jangan asal memfitnah! Kami memperlakukan PRT seperti keluarga sendiri dengan manusiawi.” Mari buktikan bersama? kami akan memberikan beberapa pernyataan. Bantu diri Anda sendiri dengan menjawabnya secara jujur.

Pernyataan:

1. Anda selalu memerintah dengan pokok sisipan kata: tolong.

Contoh “Mbak, tolong ambilkan saya segelas air,” dan sebagainya.

2. Anda acap mengatakan, maaf.

“Mbak, maaf, lain kali matikan lampu demi penghematan,” dan sebagainya.

3. Anda sering berkata, Terimakasih.

“Terimakasih ya Mbak,” setiap menerima bantuan dari PRT.

Secara normatif, Anda pasti akan menjawab dengan, “Saya selalu melakukannya, mereka juga manusia, anggota keluarga.”

Kami harus tambahkan satu pertanyaan pamungkas: Jika memang PRT adalah keluarga kita, Pernahkah saat melakukan ibadah kepada Tuhan, kita menyebut nama mereka di dalam do’a? Untuk keamanan, kebaikan, juga kesehatan dan masa depan mereka?

Tidak perlu dijawab. Begitulah adanya. Kita tidak pernah benar menganggap kehadirannya sebagai bagian dari keluarga. Walaupun secara teorinya, mereka tinggal dalam atap yang sama. Betapa menyesap kuat residu dari pemikiran kolonial, yang membedakan majikan dari budaknya. Begitukah kiranya Tuan dan Nyonya?

Meremas kembali kata “Keluarga” yang terlontar sebelumnya, secara sah keluarga di sini mungkin saja dimaknai sebagai: Orang lain yang masuk ke dalam ranah pribadi, terkemudian patut mengikuti segala peraturan, dengan mengedepankan kepentingan pemberi kerja. Hak? Dibahas belakangan.

Padahal Kemenaker sendiri, melalui Permen no 2 tahun 2015, Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjelaskan bahwa PRT mempunyai hak:

a) Memperoleh informasi mengenai pengguna;

b) Mendapat perlakuan yang baik dari pengguna dan anggota keluarganya;

c) Mendapatkan upah yang sesuai perjanjian kerja;

d) Mendapat makanan dan minuman yang sehat;

e) Mendapatkan waktu istirahat yang cukup;

f) Mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;

g) Mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

h) Mendapatkan tunjangan hari raya; dan

i) Berkomunikasi dengan keluarganya.

Satu yang harus dikritisi adalah: Tidak adanya poin, mengenai jaminan sosial. Terkejutkah? Tentu tidak.

Jaminan sosial. Apakah perlu jaminan sosial bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Secara hukum, pertanyaan ini harus dan hanya bisa dijawab oleh pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara.

Kehadiran negara, manifestasi pembuat peraturan peraturan UU, untuk menjamin hak-hak warga negara, dan untuk melindungi pekerja ketika bekerja.

Jaminan sosial, khususnya bagi PRT dalam prakteknya biasanya hanya berdasar dari kesepakatan. Tapi melalui RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, penjaminan adanya pengakuan dan perlindungan Pekerja akan memayungi kesepakatan dan mengikat secara hukum.

Jaminan Sosial, adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Siapa saja yang mendapat jaminan sosial? menurut UU No. 24 Tahun 2011 Tentang badan penyelenggara jaminan sosial. Bahwa setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program Jaminan Sosial.

Ada dua badan hukum yang dibentuk oleh UU untuk menyelenggarakan program Jaminan Sosial, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah sebuah badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

BPJS Ketenagakerjaan, adalah badan hukum publik yang berfungsi menyelenggarakan program jaminan sosial bagi pekerja. Jaminan social ketenagakerjaan, terdiri dari:

1. Jaminan kecelakaan kerja, jaminan ini menjamin pengobatan dan santunan yang diberikan kepada pekerja jika mengalami kecelakaan di tempat kerja akibat pekerjaan. Dan saat pekerja mengalami kecelakaan di jalan saat berangkat kerja dari rumah ke tempat kerja dan saat pulang kerja.

2. Jaminan kematian, jaminan ini menjamin biaya dan santunan pemakaman pada pekerja saat meninggal dunia.

3. Jaminan hari Tua, jaminan ini memberi manfaat dalam bentuk uang tunai yang diberikan sekaligus (satu kali) saat pekerja sudah tidak bekerja lagi.

4. Jaminan pensiun. Jaminan ini memberikan manfaat berupa uang yang diberikan secara bulanan kepada pekerja yang sudah memasuki usia pensiun dan tidak bekerja lagi.

Memahami esensi, kenapa perlu adanya Jaminan Sosial bagi PRT. Kembali ke alinea ke-4 pembukaan Undang Undang Dasar 1945, bagaimana negara memiliki tugas dan tanggung jawab, melindungi segenap rakyat indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Memanusiakan manusia. Kedaulatan seorang manusia, adalah juga harga diri bangsa.

Pertentangan yang meledak pada dasarnya, terjadi hanya karena poin yang menyertai dalam hal kewajiban ekonomis, yang terang-terangan akan memberatkan kocek pemberi kerja.

Pertentangan ini perlu diurai dan dapat diselesaikan manakala terbit dan jelasnya kebijakan dalam yang memayungi poin-poin berikut:

1) Perangkat hukum dan prosedural yang mengikat.

2) Adilnya kepentingan pekerja, dan pemberi kerja.

3) Nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Berimbangnya aturan, dapat memberikan win win solution bagi semua pihak yang terdampak. Kita bisa mencari titik temu bagi keduanya. Itulah yang kita inginkan bersama.

Pepesan titik temu ini sudah dirumuskan oleh para ahli tata negara selama 17 tahun, namun Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memayungi masalah ini layak dianggap dibiarkan tak berkait-tali oleh negara. Dengan waktu sepanjang itu, mustahil tidak menghasilkan aturan yang berimbang.

Tahun 2004, RUU diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, 2010 dibahas di Komisi IX DPR RI, kemudian masuk daftar tunggu PROLEGNAS. 2013 Draft RUU diserahkan ke BALEG, 2014-2019 Masuk kembali daftar tunggu PROLEGNAS. 2020 disetujui BALEG, hingga tahun 2022? Hasilnya? Nihil!

Walaupun RUU PRT pada prinsipnya sudah selesai dibahas oleh Panja DPR RI, namun hingga kini tak kunjung disahkan. Jutaan PRT menanti payung hukum dan pengakuan. Agar mengudara kalimat: individu itu bukan lagi sekadar “Jongos”, namun pekerja yang terjamin hak dan jelasnya kewajiban menurut Undang-Undang yang berlaku.

Pedoman yang diharapkan pun, semakin dibutuhkan dalam merespon kasus-kasus pemberi kerja yang banyak berbuat di luar batas kemanusiaan. Sejauh ini data terakhir pada 2015, organisasi buruh internasional mencatat estimasi pekerja rumah tangga sebanyak, 4.2 juta orang dan didominasi oleh perempuan. Sementara BPS mencatat upah nominal PRT hingga agustus 2021 hanya 425 ribu rupiah (rata-rata).

Dengan gaji yang minim dan tidak adanya payung “aturan”, Pekerja Rumah Tangga rentan menerima kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual dari majikan. Tidak ada pegangan bagi mereka untuk berlindung.

RUU ini terdapat 34 pasal yang mengatur 7 poin utama, di antaranya: Pengakuan PRT sebagai Pekerja; Perlindungan dan keseimbangan hukum; Jasa penyalur; Kondisi kerja (upah dan cuti).

RUU PPRT Pasal 3. Perlindungan PRT bertujuan untuk:

a. Memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja

b. Mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT

c. Mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan;

d. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, & keterampilan PRT;

e. Meningkatkan kesejahteraan PRT

Hadirnya UU ini dapat membuat relasi baik bagi penyedia jasa dan pengguna jasa, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya perselisihan. Sementara bagi negara, hadirnya UU ini dapat menunjukkan komitmen negara dalam melindungi warga negaranya.

Korban demi korban PRT, tak terhitung banyaknya. Bahkan perdagangan manusia berkedok penyalur PRTpun ramai lancar. Negara harus hadir, wakil rakyat dan pejabat pemerintah yang menjadi penyelenggara harus bertanggung jawab atas amanah yang diembankan oleh rakyat. Namun sayangnya, kesan yang ditangkap, kebijakan Perlindungan PRT tidak bernilai ekonomis bagi kepentingan elit legislatif.

Pemerintah Indonesia tertinggal jauh dari negara lain. Negara masih belum sadar dan berkeinginan kuat dalam meratifikasi konvensi ILO 189 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT.

20 Unsur Kerja Layak PRT ILO itu seperti:

1) Perjanjian kerja secara tertulis;

2) Perlindungan atas upah;

3) Uang lembur;

4) Tunjangan Hari Raya, satu bulan gaji;

5) Batasan jam kerja maksimal 8 jam/hari;

6) Libur/istirahat minimal 24 jam/seminggu;

7) Libur tanggal merah hari libur nasional;

8) Cuti tahunan minimal 12 hari kerja/tahun;

9) Cuti haid;

10)Cuti hamil melahirkan;

11) Jaminan sosial;

12) Kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi;

13) Fasilitas akomodasi dan kamar yang sehat dan aman;

14) Fasilitas makan yang sehat;

15) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;

16) Memegang dan menyimpan dokumen pribadi;

17) Uraian tugas yang jelas sesuai jam kerja;

18) Penyelesaian perselisihan secara adil dengan perlindungan hukum;

19) Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan pemerintah;

20) Usia minimum bekerja 18 tahun.

Bagaimana 20 unsur di atas terkesan membebani resiko dan saldo pemberi kerja. Dengan resiko dari UU Perlindungan PRT, pasti akan banyak pihak yang menjegal, tidak akan menyetujui disahkannya Undang-Undang ini. Padahal perlu diketahui, bahwa PRT dalam poin-poin tertentu, menyepakati bermacam ketentuan dengan azaz mufakat yang berimbang. SOP harus diselaraskan dan dipastikan diikuti oleh semua pekerja dan pemberi kerja.

Data miris mengenai lalainya pemerintah dalam melindungi PRT: 2012 s.d 2020, terdapat 4.061 laporan kekerasan terhadap PRT (ILO Indonesia). Fisik, Psikis, pelecehan seksual, pencemaran nama baik, hingga penahanan oleh agen penyalur. Bahkan sama sekali tidak mendapat jaminan sosial hingga asuransi.

Jaminan sosial merupakan satu dari banyak hal yang perlu mendapat perhatian. Dari data yang disajikan di atas, masihkah ada alasan untuk tidak mengedepankan rasa kemanusiaan dalam mengawal nasib PRT Indonesia. Mengisi Kekosongan Masa Tunggu Pengesahan UU PPRT

Tidak ada yang bisa kita lakukan, DPR sebagai pembuat kebijakan harus sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan yang hanya bisa dilakukannya, sesuai amanat Undang-Undang penyelenggaraan negara.

Cukupkah dengan hanya menunggu? Tentu tidak! Kita tetap harus bersuara hingga diketuk-sahkannya Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Terlepas dari Undang-Undang sebagai payung hukum, hal yang juga tidak kalah penting untuk digarap adalah: Revolusi kultur. Krisis ini harus dimaknai sebagai tantangan besar bagi para penggiat, empatisan, dan organisasi PRT sendiri.

Penyelarasan cara pandang terhadap Pekerja Rumah Tangga dan Hak Jaminan Sosial yang turut menyertainya, harus terus kita lantang-kumandangkan dari sekarang.

Apakah perlu sebuah gebrakan “Koin dari PRT untuk Dewan,” agar UU ini segera paripurna? Tapi, perlukah hal ini dilakukan agar DPR mau serius dalam menyelesaikan ketimpangan hak asasi manusia. Koin dari keringat-darah PRT untuk Toean dan Njonja Panja.

Selain solusi emosional di atas, gerakan revolusi kultur wajib dilakukan. Dengan menggandeng stakeholder yang terkait, kita perlu menghembuskan ide kerangka perubahan pemikiran yang lebih masif lagi.

Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan & PA, Kementerian Komunikasi dan Informatika, harus dipaksa untuk saling bergandengan tangan dengan organisasi PRT.

Harapannya, gempuran kampanye mengenai sosial revolusi kultur tentang Pekerja Rumah Tangga, dapat menyedot atensi masyarakat. Lambat laun, masyarakat menyadari bahwa PRT merupakan pekerja yang juga harus dilindungi haknya.

Kegiatan ini pula diharapkan dapat menyadarkan PRT yang belum berdaya, akan pentingnya perubahan mental. Menjamurnya rumah edukasi PRT, maraknya group discussion para ahli terkait, dan meledaknya kegiatan kreatif yang menyedot banyak partisipan. Bukankah akhir-akhir ini, harus viral dahulu, baru bergerak kemudian?

Selain Penyelarasan stakeholder eksternal, perlu perubahan ekstrim eskalasi pemantasan PRT yang juga tak kalah penting. Profesionalisme adalah kata kunci lain yang diharap, dapat menjembatani kepercayaan diri dalam memutuskan hak dan kewajiban Pekerja Rumah Tangga. Dengan skill excellent nan profesional, harga Pekerja Rumah Tangga bisa tersesuaikan bentuk dengan sendirinya. Demand and supply pasar akhirnya pula akan berbicara.

Empowering Domestic Workers through Professional Hospitality IndustryManagement

Jika kita asumsikan, bahwa profesional adalah juga menjadi individu yang dapat melakukan tugas dan kewajiban sesuai fungsi dan kemampuan dengan sebaik-baiknya. Maka, dapat dikatakan, PRT dituntut wajib memiliki profesionalitas dalam keseluruhan sendi pelayanan domestic di dalam rumah.

Hospitality Industry/Industri keramahtamahan. Industri ini melingkupi semua pekerja pelayanan, mulai dari wisata, hotel, restoran, dan segala hal yang bersifat memberi dan menerima jasa. Apa beda House Keeping di sebuah hotel dengan PRT. Apa beda Chef di restoran dengan PRT. Apa beda Service Attendant dengan PRT. Apa beda Security dengan PRT. Apa beda Gardener/Public Area dengan PRT. PRT, satu nama sejuta tugas. Multi jobs, but single payment.

Apakah benar, PRT merupakan bagian dari Hospitality Industry? Secara objektif. PRT belum memiliki skill dan pendidikan sebagaimana yang dimiliki Pekerja HI Formal.

Hospitality Industry adalah industri formal yang mensyaratkan setiap manpower memiliki kapasitas pendidikan dan skills yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proses pekerjaan.

Namun, dapatkah PRT berdaya seperti pekerja di Industri Keramahtamahan? Jawabannya, pasti bisa!

Melalui training yang mengikuti kaidah pelayanan dan standard kerja di Hospitality Industry, PRT bisa meningkatkan skill, sehingga dapat terjamin kualitasnya. PRT itu tangguh, multi tasking dalam mengurus seluruh kebutuhan domestik. Memasak, mencuci, mengasuh, dan menjaga rumah. Kami dapat menjamin, tidak ada yang bisa melakukan tugas sebanyak itu dengan baik tanpa menguras tenaga dan pikiran yang banyak. Namun, karena sifatnya yang tidak terlihat, banyak yang mendiskreditkan pekerjaan domestic/dalam rumah. Keteraturan tugas dan SOP

Profesional harus dirumuskan, secepatnya. PRT sebagai bagian dari Pekerja Industri Keramahtamahan perlu juga didengungkan.

Social Protection Based Technology: Membangun Aplikasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Terakhir, dalam momen tunggu yang tidak menentu, PRT perlu pula bergerak dalam aksi yang nyata. Dari 4.200.000 Pekerja Rumah Tangga, sudah seharusnya kita mulai melakukan pengikatan diri dengan profesional. Sebagai rangka nyata pencapaian tujuan bersama dari Serikat yang telah mapan dan sudah dibentuk sebelumnya.

Mengikuti perkembangan zaman hukumnya menjadi wajib. Segala tantangan yang terjadi di lapangan, dapat kita peta dan kelola melalui pengembangan berbasis teknologi. Aplikasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

PRT yang telah terdata dalam jaringan serikat, bisa terhubung lewat aplikasi tersebut. Sejatinya, dalam aplikasi yang akan dikembangkan, perlu memperhatikan aspek: Proactive, protective, dan real time response.

Idealnya, aplikasi PPRT harus memiliki akses:

1. Data base anggota

2. Informasi Lowongan Pekerjaan

3. Management kontrak: Data perikatan kerjasama, yang didalamnya lengkap dengan kesepakatan yang berimbang dari pemberi kerja dengan bantuan hukum mengenai kontrak yang akan, sedang dan telah berlangsung

4. Hotline pengaduan dan aksi

5. Training Schedule, Sertifikasi keahlian

6. Informasi Bantuan dari pemerintah

7. Room discussion

8. Jaminan Sosial: Kesehatan dan ketenagakerjaan

Dalam alur pelaksanaanya, tentu perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dengan Pemerintah yang didampingi International Labour Org. Indonesia dan Kementerian yang terkait mengenai bentuk aplikasi yang akan dikembangkan.

Patut dikedepankan dalam poin Jaminan Sosial yang nantinya dikelola oleh Serikat.

Karena pada dasarnya, aksi ini 100% menggunakan sumber daya yang dikelola dari dan bagi anggotanya. Penyelarasan hukum perlu dikaji, agar tidak terjadi timpang kebijakan dan tarik menarik kepentingan (keuntungan) oleh Badan Penyelenggara yang telah ada.

Untuk struktur, serikat dapat mengadopsi sistem kerja BPJS Kesehatan & Ketenagakerjaan. Bukan tidak mungkin, serikat dapat menjadi Koperasi berbadan hukum, yang secara teori dapat melindungi anggota yang berada di bawahnya.

Iuran mandiri. Besarannya dapat disepakati bersama. Jika masih berat, kita dapat melakukan perikatan dengan Perusahaan Asuransi, seperti yang dilakukan oleh Yayasan seperti Al-Bahjah dan Yayasan kuat lainnya. Kita harus yakin, bahwa segala niat baik, akan mendapat jalan solusi. Semoga Keadilan Sosial Bagi Seluruh Masyarakat, dapat direalisasikan segera mungkin.

Jaminan sosial bagi Pekerja Rumah Tangga, jelas perlu dan layak diselaraskan!

(Sumber rujukan: UUD 1945, www.ILO.org, Natgeo.org)

(Artikel ini adalah pemenang lomba artikel mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung Voice)

Gilang Arya

Penulis dan Pemenang 1 Lomba Penulisan Artikel "Anak Muda Menulis Tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT)"
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!