Kasus Dugaan Kekerasan Sutradara Terjadi di Film: Pentingnya Etika Kerja Perfilman

Seorang sutradara berinisial AY diduga melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada krunya dalam sebuah produksi film. Kasus ini menjadi viral di media sosial setelah seseorang yang diduga teman korban mengunggah kejadian tersebut. Hal ini mengundang tanggapan dari rumah produksi tempat terduga pelaku Y bekerja dan asosiasi sutradara film. Kejadian ini juga dipandang menjadi momen untuk menerapkan etika kerja perfilman.

Sebuah pernyataan beredar di Twitter @ernestprakasa soal dugaan kekerasan yang dilakukan seorang sutradara dengan inisial AY kepada kru filmnya. Pernyataan ini berbunyi sebagai berikut:

“Ada kabar sutradara laki-laki melakukan kekerasan verbal dan fisik ke kru perempuan. Gw pribadi memilih untuk menyebut nama pelaku apabila sudah mendapat izin dari korban. Kita tunggu perkembangan kasusnya.”

Dugaan kekerasan ini menjadi viral di media sosial. Ada seorang terduga yang merupakan teman korban @juandini yang kemudian menulis di media sosial pada Rabu, 31 Agustus 2022 seperti: 

“Berawal di scene pensi, dengan extras ratusan, telco gue dipanggil lalu ditanyalah sama dia udah dengan keadaan emosi, kenapa bajunya begini? Ya dijawab itu baju udah dipilihin sama wardrobe, dia masih ga terima, nanya lagi kenapa bajunya begini gue ga suka sambil marah-marah, ya telco gue bilang ga tau itu dari wardrobenya, langsunglah ditampar lalu didorong!!!” 

Tulisan ini kemudian ramai di media sosial hingga membuat Paragon Pictures dan Ideosource Entertainment, rumah produksi (PH) yang menaungi proses produksi film yang ditangani terduga pelaku AY mengeluarkan pernyataan. 

Dalam akun media sosialnya Paragon Pictures menyatakan mengecam tindakan tersebut dan mengambil langkah tegas untuk memutuskan hubungan kerja dengan individu (sutradara, red) yang bersangkutan.

Konde.co kemudian menghubungi CEO Paragon Pictures Robert Ronny untuk mengonfirmasi pernyataan ini pada 1 September 2022, tetapi hingga berita ini ditayangkan, belum ada respons dari Robert.

Sementara itu menyikapi kasus kekerasan yang ceritanya beredar di media sosial ini, Indonesian Film Directors Club (IFDC) dalam pernyataan yang diunggah di Instagram menyatakan IFDC yang diwakili oleh ketua, wakil pengurus, dan tim adhoc kode etik telah mengadakan pertemuan daring dengan terduga pelaku AY pada Kamis (1/9). Konde.co sudah menghubungi Ketua Asosiasi untuk mengonfirmasi hal ini tetapi belum ada tanggapan. Namun Konde kemudian mendapatkan informasinya dari akun media sosial IFDC

Dalam pertemuan tersebut terduga pelaku AY diberi kesempatan untuk menjelaskan situasi yang terjadi. IFDC juga memberikan pemahaman bahwa tindakan fisik kepada bawahan mempunyai relasi kuasa yang timpang dalam struktur kerja dan tanggung jawab profesi. Serta perilaku tersebut diatur dalam lingkup KUHP dan UU Ketenagakerjaan.

Dalam pertemuan itu terduga pelaku AY mengaku menyadari bahwa kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam proses kerja sutradara dan tindakan kekerasan yang dilakukan dalam proses kerja akan mencemarkan nama baik profesi sutradara film serta IFDC.

Forum tersebut juga memutuskan untuk mengeluarkan keanggotaan terduga pelaku AY dari IFDC, memberikan saran agar terduga pelaku AY juga melakukan asesmen psikologi dan konseling ke lembaga Yayasan Pulih agar bisa lebih komprehensif menilai diri dan situasi saat berada dalam tekanan profesi sutradara yang tinggi. Serta memberikan pemahaman bahwa kasus ini merupakan kasus kerja yang terjadi di bawah production house tempatnya bekerja.

Twitter @ernestprakasa, kemarin juga memposting tentang statemen IFDC yang menolak semua bentuk kekerasan sutradara dan berpihak pada korban

“Pernyataan resmi dari asosiasi sutradara Indonesia. Buat teman-teman kru semua, kalo ada tindakan kekerasan / pelecehan / lain-lain, jangan sungkan untuk speak out. Kita berjuang sama-sama demi lingkungan kerja yang lebih nyaman.”

Tindakan kekerasan di film semacam ini menurut Sinematografer Anggi Frisca dapat terjadi karena adanya anggapan bahwa area kerja merupakan area kekuasaan, seolah-olah dengan jabatan tinggi seseorang bisa melakukan apapun. Seharusnya tidak demikian, melainkan semua pihak harus memahami profesionalisme. Hal ini yang kadang dilupakan bahwa dalam produksi film semua kru merupakan bagian dari tim yang sebetulnya tidak ada atasan dan bawahan. Untuk itu Anggi menegaskan hal seperti ini harus segera dituntaskan.

“Jadi kalau kita melihat ini seolah-olah sutradara berkuasa, berhak ngapa-ngapain. Buatku pribadi ini harus dihentikan, sesegera mungkin,” tegas Anggi.

Kejadian yang bukan pertama kali di dunia perfilman ini menurut Anggi juga menjadi pembelajaran tentang pentingnya etik dalam kerja-kerja perfilman.

“Nah kalau ngelihat ini juga pada akhirnya memang semua mulai belajar etik lagi kali ya. Karena konteksnya ini soal etika kan. Kalau ini sudah terjadi dan terjadi lagi pada akhirnya memang semuanya harus dikembalikan pada kontrak. Kontrak kerja ini harus dibahas bersama-sama,” ujar Anggi.

Lebih lanjut Anggi menjelaskan etik harus dibahas sebelum proses produksi dan semua orang harus paham soal tersebut. Bahwa apa yang akan dikerjakan ada aturannya dan aturan tersebut harus jelas. Selain itu harus ada mekanisme pelaporan seandainya ada kasus sehingga kasus bisa ditangani dengan cepat.  

Munculnya sejumlah kasus kekerasan di dunia perfilman telah mendorong stakeholder di industri ini untuk berbenah. Anggi menceritakan sejauh ini sejumlah perusahaan film sudah menerapkan etik kerja dalam proses produksinya termasuk menyediakan jalur pengaduan jika terjadi tindak kekerasan. Hal ini ada dalam kontrak kerja dan disepakati sebelum proses produksi dimulai.

Anggi menuturkan bahkan di salah satu perusahaan film dimana dia pernah terlibat dalam produksi, tindakan pelecehan verbal seperti cat calling juga diatur dan tidak diperbolehkan. Begitu juga dengan tindakan kekerasan seksual.

Ironi Kerja-Kerja Para Pekerja Film

Industri film Indonesia selalu mencatatkan prestasi gilang gemilang sepanjang dua dekade terakhir, namun ternyata ada masalah yang menghantui pekerjanya. Selain kekerasan seperti dalam kejadian tersebut, juga adanya sejumlah pelecehan seksual yang menimpa pekerja film

Di industri film, pelecehan yang terjadi dan menimpa banyak perempuan juga dipaparkan pengamat film, Adrian Jonathan Pasaribu dalam sebuah diskusi. Adrian mengatakan, pelecehan ini biasanya banyak menimpa perempuan-perempuan muda yang sedang belajar di film, misalnya mereka menjadi relawan atau volunteer pada pemutaran film, festival film, workshop-workshop. Dan pelakunya adalah pimpinan mereka atau senior mereka.

“Banyak cerita bahwa pelecehan ini sering menimpa orang baru yang kemudian menjadi volunteer atau relawan, mereka rata-rata mau belajar di film. Namun disana lalu bertemu panitia, pimpinan, kurator yang posisinya di atas mereka. Rata-rata disinilah terjadi pelecehan. Misalnya, kamu mau gak jadi moderator sutradara ini? tapi kamu mesti temenin gue malam ini,” kata Adrian mencontohkan pelecehan yang pernah terjadi di festival-festival film

“Jadi yang sering terjadi ketika ada relasi kuasa dan yang terjadi hampir semua korbannya adalah perempuan. Biasanya volunteer yang diterima ini juga karena panitia menganggap volunteer-nya cantik, padahal ini kultur patriakis, sangat diskriminatif. Selalu ada iming-iming untuk ajakan kencan, lalu mereka akan diberikan akses lebih. Dan rata-rata akses ini yang punya adalah pimipinan mereka yang kedudukannya di atas korban.”

Disinilah terjadinya permainan kuasa. Jadi siapa yang berkuasa, dia akan mengendalikan. Dan korban juga kadang merasakan ketakutan untuk melawan karena posisinya di bawah, mereka sedang bekerja dan diawasi. Padahal semua orang punya hak untuk hidup nyaman dan aman di tempat kerja. Mian Tiara dan Adrian Jonathan mengatakan ini dalam talkshow daring yang diadakan Never Okay Project (NOP) pada 4 Juli 2020.

Adrian bercerita, dulu perfilman Indonesia tak sebebas sekarang, orang orang harus mendaftar dulu dan harus memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi bagian dari sebuah produksi dan penyelenggaraan festival film. Saat ini kondisinya lebih baik, yaitu semua orang bisa menjadi filmmaker, namun justru ada banyak kekerasan seksual yang terjadi disana

“Buat saya ini menakutkan , jadi seperti mengaburkan pekerjaan dan aktivitas di film. Saya banyak mendengar cerita ini dari para perempuan,” kata Adrian Jonathan

Hal ini ternyata tak hanya menimpa relawan atau volunteer, tapi juga filmmaker yang ditawari bisa masuk dalam daftar kompetisi sebuah festival film, namun mereka harus mau diajak kencan terlebih dulu.

Mian Tiara, salah satu aktris juga menyebutkan soal relasi kuasa ini di film, misalnya ia melihat ini bisa terjadi ketika aktris dan aktor film sedang melakukan proses produksi dan sedang membangun proses chemistry agar emosinya dapat diantara 2 aktor, ini bisa terjadi pelecehan. Bisa pelecehan fisik, juga bisa psikis atau verbal yang mengobyektifikasi perempuan

Mian Tiara punya pengalaman menjadi korban pelecehan seksual. Ia menyebut bahwa pelaku mempunyai pola tertentu untuk melakukan pelecehan. Biasanya polanya adalah korban adalah anak baru dan pelaku adalah senior atau orang lama di film dan mereka sebagai anak baru menjadi bingung mau berbuat apa? Apakah diam, apakah saya harus mengikuti kebiasaaan ini ataukah menolak? Selalu saja polanya seperti itu

“Yang saya alami juga seperti itu, ketika sedang shooting, ada yang ingin melancarkan usaha tertentu. Yang aku alami, lalu saya mencerna dan selalu ada yang mau masuk atau pola-pola untuk melakukan pelecehan.”

Pelecehan dan kekerasan seksual di film memang sudah lama terjadi. Vregina Diaz Magdalena dari Never Okay Project pernah mengamati para perempuan korban yang tiba-tiba saja digenggam tangannya, disentuh atau dilirik secara nafsu. Vregina Diaz pun pernah mengalaminya ketika ia sedang magang menjadi kru sebuah produksi film.

“Saya pernah magang, hari itu saya harus bertemu investor bersama penulis. Disitu tiba-tiba investor ini dengan gampangnya menggoda aku. Saya bingung, kalau saya protes nanti projectnya tidak bisa jalan. Dia melancarkan godaan-godaan yang membuat saya dan teman saya risih, dan ternyata pelecehan ini sudah terjadi sejak masa proses pra-produksi,” kata Vregina Diaz Magdalena

Selain itu pekerja film juga mengalami jam kerja yang panjang atau overwork ketika bekerja. Serikat Pekerja SINDIKASI dan ICS menemukan tiga masalah yang dialami pekerja film baik jenis film cerita panjang maupun iklan selama setidaknya dua dekade terakhir. Peneliti SINDIKASI, Ikhsan Raharjo memaparkan ini pada 29 Maret 2022 dalam riset serta kertas posisi tentang kondisi pekerja film yang dilakukan Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) dengan judul “Sepakat di 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia.”

Hasil survei terhadap pekerja film yang dilakukan ICS dan SINDIKASI menunjukkan 54,11% dari total 401 responden menyatakan bekerja selama 16-20 jam per hari syuting. Adapun 7,23% responden lain mengaku bekerja di atas 20 jam per hari syuting.

Kondisi kerja berkepanjangan (overwork) terjadi selama bertahun-tahun pada produksi film cerita panjang dan iklan.

“Pembiaran terhadap kondisi overwork ini sama saja seperti membunuh pelan-pelan para pekerja film atas nama passion, produktivitas, atau ilusi lainnya. Apalagi riset World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO) telah membunyikan alarm peringatan keras akan adanya risiko tinggi pekerja meninggal akibat penyakit jantung dan stroke apabila menjalani kerja di atas 55 jam tiap pekan,” ungkap Ikhsan Raharjo

Dia menambahkan pekerja film juga rentan mengalami pelanggaran hak normatif. Kasus pemberi kerja ingkar janji terkait pembayaran upah sering terjadi namun tidak terdokumentasi dan tidak terlaporkan.

“Mereka sering mengalami keterlambatan pembayaran upah, upah kurang dari yang dijanjikan, dan bahkan kasus upah yang tidak dibayarkan sama sekali. Kondisi ini diperparah dengan adanya konflik horizontal antara pekerja yang sering banting harga upah demi mendapatkan pekerjaan.”

Dari data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul, SINDIKASI dan ICS juga menyimpulkan bahwa pekerja film Indonesia terperosok ke dalam flexploitation atau kondisi eksploitasi yang secara spesifik dirasakan oleh pekerja dalam hubungan kerja fleksibel. 

Flexploitation ditandai kondisi kerja berbahaya, tanpa kepastian dan perjanjian kerja, pengelabuan hubungan kerja, hingga absennya jaminan sosial. Kami menemukan gejala ini pada pekerja film Indonesia

Kondisi ini dipersulit dengan adanya normalisasi terhadap kondisi kerja buruk, karena ada persepsi yang menganggap kondisi kerja buruk merupakan pengorbanan yang harus dilewati pekerja muda jika ingin berkarier di industri film.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!