Kekerasan Pekerja Marak, Tapi Minim Aturan Penyelesaiannya

Jika kita menjadi korban kekerasan di dunia kerja, apa yang bisa kita lakukan? Kita harus melapor kemana?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: Hallo, saya mendapatkan pelecehan di tempat kerja saya, apakah ada peraturan soal ini dan apa yang saya lakukan? Terima kasih.

Jawab: Terima kasih telah menghubungi “Klinik Konsultasi Hukum Perempuan.” Maraknya kekerasan di dunia kerja akhir-akhir ini memang menjadi perhatian banyak pihak. Kami menyebutnya sebagai kekerasan di dunia kerja, kekerasan ini tak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki dan ragam gender lainnya. Jika perempuan banyak terkena kekerasan seksual, laki-laki banyak yang mengalami kekerasan fisik.

Disebut dunia kerja karena pekerja mengalami kekerasan saat keluar rumah, di jalan, waktu di kamar mandi, ketika sedang istirahat, ketika sedang bekerja di kantor hingga kembali lagi pulang ke rumah, jadi kami menyebutnya sebagai dunia kerja, bukan tempat kerja

Data Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, sebuah networking buruh yang mengadvokasi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sejak tahun 2017  menyebutkan bahwa kekerasan, pelecehan dan diskriminasi yang terjadi dalam dunia kerja terjadi dalam banyak bentuk, baik secara kekerasan fisik, verbal maupun psikologi, yang memberi dampak pada banyak orang dengan berbagai cara yang berhubungan dengan gender, ras, bentuk tubuh, agama, kelas, usia, seksualitas, orientasi seksual dan kekuasaan.

Berbagai penelitian dan data yang diinventarisasi  Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam dunia kerja memberikan dampak negatif yang serius pada partisipasi pekerja dalam angkatan kerja dan produktivitas kerja.

Sebuah Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan Worker Rights Consortium (WRC) di tahun 2020-2021 mengungkap soal kekerasan berbasis gender di industri fashion. Penelitian yang di-launching pada Juli 2022 ini juga mendapatkan hasil bahwa hanya 12% buruh yang berani untuk melawan. Kebanyakan buruh bersikap diam terhadap tindakan kekerasan atau pelecehan karena takut dengan atasan.

Jika merujuk pada penelitian yang dirilis oleh Never Okay Project di tahun 2018 hingga 2020, terdapat 117 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja.

Data tersebut bisa jadi data yang hanya dilaporkan saja, namun jika kita melihat lebih dalam lagi, masih banyak korban-korban yang tidak bersuara atas kejadian tersebut. Ibarat fenomena gunung es, data kekerasan dan pelecehan yang tersebar belum terdokumentasi. Hal ini menjadi problem yang kemungkinan kenapa korban jarang melakukan pelaporan kasus kekerasan di lingkungan kerja karena belum adanya perlindungan secara khusus, baik secara hukum nasional maupun standar operasional penanganan (SOP) yang ada di kantor tempat mereka bekerja. Hal ini menjadi penting, karena harus dibuat sebuah peraturan baik di level nasional dengan menyisipkan peraturan yang ada di UU Ketenagakerjaan atau peraturan turunannya, atau level peraturan daerah, hingga perusahaan dan serikat pekerja. Kosongnya peraturan tersebut, membuat dilema bagi korban untuk melaporkan kasus yang dialaminya karena tidak ada mekanisme penyelesaian di internal.

Maka ketika Badan Perburuhan Dunia International Labour Organization (ILO) mengesahkan Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dan Rekomendasi 206 pada 21 Juni tahun 2019, ini jadi momentum yang menggembirakan karena kekerasan dan pelecehan yang menimpa pekerja di seluruh dunia kemudian diakui oleh PBB dan negara-negara di dunia sebagai sebuah persoalan yang harus diselesaikan.

Sebelum ada Konvensi ILO 190, sangat sulit untuk mengadvokasi kekerasan yang menimpa pekerja. Saat ini terdapat 21 negara yang sudah meratifikasi konvensi ini. Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum meratifikasinya hingga sekarang.

Spesifikasi Konvensi ILO 190

Konvensi ILO 190 adalah konvensi yang mengatur stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Pemerintah dan pengusaha harus menjamin tidak adanya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Konvensi ILO 190 merupakan konvensi yang spesifik karena di dalamnya berisi:

1. Pertama, tak hanya mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja saja, namun di dunia kerja, yang artinya konvensi mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja.

2. Yang kedua, Konvensi juga mengakui bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang banyak dialami pekerja perempuan akan berimbas pada kerja-kerja mereka.

3. Yang ketiga, konvensi ini memberikan pengakuan kepada seluruh pekerja tidak hanya pekerja informal tetapi juga non formal seperti pekerja rumah tangga, pekerja disabel sebagai pekerja, dll.

4. Yang keempat, dalam konvensi, mahasiswa magang/internship, relawan, dll diakui sebagai pekerja yang punya hak seperti pekerja lainnya.

Indonesia belum meratifikasi konvensi ini. Pengaturan mengenai perlindungan pekerja selama ini hanya diatur dalam peraturan umum secara nasional yang telah diatur seperti di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi tentang Ras dan Etnis, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, peraturan tersebut belum mumpuni khusus untuk di dunia kerja. Misalnya, KUHP yang mengatur beberapa jenis pengaturan kekerasan seksual, namun dengan cakupan yang sangat tebatas termasuk dalam lingkup kerja, seperti melakukan perbuatan asusila terhadap orang lain (Pasal 281 KUHP), penyebaran konten secara tertulis atau foto atau objek lain yang melanggar asusila (Pasal 282 KUHP), Perkosaan (Pasal 285 UHP), Pencabulan (Pasal 289 KUHP), Percobaan melakukan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai delik pidana (Pasal 55 KUHP).

Untuk pengaturan di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keternagakerjaan juga mengatur mengenai kekerasan berbasis gender dalam lingkungan kerja, misalnya di Pasal 185 jo Pasal 82 yang dimana perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan dan cuti keguguran, sanksinya adalah pidana penjara 1 hingga 4 tahun atau denda 100-400 juta rupiah.

Selain peraturan level undang-undang, ada pula level kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV.2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Sebagaimana dalam peraturan tersebut menjadi rujukan bagi pemberi kerja atau pengusaha, pekerja maupun instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mencegah dan menangani secara efektif pelecehan seksual. Sayangnya, peraturan ini sifatnya adalah pedoman maka tidak wajib mengikat diatur dalam peraturan perusahaan. Peraturan ini juga mengatur mengenai bentuk pelecehan seksual yaitu pelecehan fisik, verbal, isyarat, tertulis, dan psikologis atau emosional. Surat edaran menteri ini cukup sejalan dengan semangat Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di tempat kerja, namun permasalahannya Surat Edaran ini tidak mengikat dan hanya sebagai panduan untuk perusahaan atau lembaga.

Sehingga, pentingnya meratifikasi Konvensi ILO 190 ini, karena didalamnya mendefinisikan pekerja dan dunia kerja yang secara luas, dan perlu menjadi pegangan untuk penyesusaian yang disematkan dalam hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.

Karena, Ratifikasi ini dapat menunjukkan komitmen negara untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja dimana data kekerasan di dunia kerja ibarat fenomena gunung es. Selain itu, dapat mendorong perubahan peraturan yang jelas mengenai larangan dan pencegahan kekerasan dan atau pelecehan di dunia kerja. Sehingga ratifikasi ini bisa melengkapi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang peraturannya sangat progresif untuk melindungi korban kekerasan seksual, karena konvensi ILO 190 tidak hanya mengatur soal kekerasan seksual, tetapi kekerasan dalam berbagai bentuk lainnya

(Artikel ini mendapat dukungan dari International Labour Organization (ILO) dan Never Okay Project)

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!