Edisi Khusus ‘Anak Muda Menulis PRT’: Kamu Harus Mengganti Istilah Pembantu Dengan Pekerja Rumah Tangga

Dalam kehidupan sehari-hari, jenis-jenis pekerjaan kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, dan mengasuh anak, hingga kini masih dibebankan di pundak perempuan. Pembagian kerja berdasar jenis kelamin telah membudaya, dikuatkan oleh norma-norma bahkan hukum perkawinan. Dampaknya adalah jenis pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan alamiah perempuan

Selama sepekan ini, 5-10 September 2022, Konde.co bersama Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE menurunkan Edisi Khusus “Anak Muda Menulis tentang Pekerja Rumah Tangga.” Selamat Membaca!

Pekerjaan rumah tangga tidak dihargai secara sosial maupun ekonomi, tidak diakui sebagai skill, tidak berbayar, dan tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan penting.

Ketika jenis-jenis pekerjaan ini dikerjakan oleh tenaga orang lain maka pekerjanya hanya dianggap sebatas membantu. Dari situ lahir istilah “pembantu rumah tangga” dari yang seharusnya diakui sebagai “pekerja rumah tangga” (Misiyah, 2020).

Penggunaan istilah pembantu mengakibatkan tidak adanya kekuatan ikatan ketenagakerjaan. Karena sifatnya membantu maka dapat diperlakukan semaunya oleh yang dibantu, dapat digaji ala kadarnya, tidak perlu kontrak kerja, kapan saja dapat diberhentikan tanpa memenuhi hak-hak sesuai hukum ketenagakerjaan. Kondisinya akan jauh berbeda jika pembantu diganti dengan pekerja dan diakui sebagai pekerja. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ILO (International Labour Organization) pada 2015 silam, di Indonesia profesi PRT dijalani oleh 4,2 juta pekerja dan 84% di antaranya adalah perempuan. Pekerjaan sebagai PRT adalah sumber penghasilan bagi ribuan perempuan, terutama perempuan perdesaan yang sering kali memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Mayoritas PRT berusia di bawah 30 tahun dan berasal dari daerah dengan fasilitas pendidikan dan kesempatan kerja terbatas (ILO, 2015).

Kebanyakan perempuan mencari pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di luar daerah asal mereka akibat tekanan dari keluarga. Biasanya berupa desakan agar mereka mencari penghasilan tambahan untuk keluarga atau bahkan sebagai upaya untuk melarikan diri dari tekanan kekerasan dalam rumah tangga. Wajar jika kemudian pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga merupakan sumber penting mata pencaharian bagi perempuan perdesaan. Di sisi lain, pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga dapat dikatakan sebagai layanan vital bagi keluarga pengguna jasa.

Namun demikian, pekerjaan domestik yang dilakukan oleh PRT sering diabaikan hingga akhirnya disepelekan menjadi status yang marginal dan tidak eksis. Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Kondisi ini berimplikasi kepada pekerjanya. Hal itu dapat dilihat dari laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyebut, PRT di Indonesia mayoritas adalah perempuan, dengan usia belum dewasa, dalam kondisi buruk, tanpa batas waktu kerja, serta mengalami kekerasan dan penghambaan (domestic slavery).

Dengan demikian, PRT dikategorikan sebagai pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum, karena pekerja di sektor rumah tangga ini nyatanya sangat rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal (Tuwu, 2018).

Dalam konvensi ILO 189 tentang kerja layak pekerja rumah tangga, perlakuan terhadap pekerja rumah tangga mengacu pada prinsip-prinsip dan hak-hak fundamental di tempat kerja sebagaimana pekerja lain. Pekerja rumah tangga berhak atas penghormatan dan perlindungan terkait dengan kebebasan berserikat, penghapusan semua bentuk kerja paksa, penghapusan pekerja anak dan penghapusan diskriminasi berkenaan dengan pekerjaan dan jabatan. Negara-negara anggota yang meratifikasi konvensi ini diharuskan menghormati, mempromosikan dan mewujudkan prinsip‐prinsip dan hak‐hak pekerja rumah tangga ini.  

Negara menjamin PRT memiliki kebebasan berserikat, membentuk dan bergabung dalam organisasi atau federasi. Dalam kaitannya dengan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, negara menjamin pengupahan ditetapkan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Menjamin PRT menikmati perlindungan efektif dari segala bentuk penyalahgunaan, pelecehan dan kekerasan.

PRT dapat menikmati ketentuan kerja yang adil, mendapatkan informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja yang disampaikan dengan cara yang sesuai, dapat diverifikasi, mudah dimengerti dan sebaiknya melalui kontrak tertulis. Negara juga menjamin keselamatan dan kesehatan kerja, mendapatkan hak atas lingkungan kerja yang aman dan sehat, menikmati perlindungan jaminan sosial termasuk untuk persalinan (Misiyah, 2020). 

Namun, dalam realitasnya masih banyak terjadi pelanggaran dan diskriminasi kerja kepada para PRT. Tidak adanya payung hukum yang pasti dan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap jenis pekerjaan ini terus melatarbelakangi berbagai ketimpangan dan ketidakadilan kerja bagi PRT. Dalam tulisan ini, penulis bertujuan untuk mempertanyakan kembali kerja layak dan adil bagi PRT, bagaimana seharusnya kerja yang layak dan adil bagi PRT dan bagaimana peran pemerintah dalam upaya memberikan serta melindungi hak-hak kerja bagi PRT.

Definisi Kerja Layak dan Adil Bagi Pekerja Rumah Tangga

Secara umum, keberadaan PRT di Indonesia kurang mendapatkan penghargaan sehingga tidak mendapatkan perlindungan, baik hukum maupun sosial secara layak. Padahal mereka memiliki peran reproduktif sekaligus produktif yang penting dalam suatu keluarga/rumah tangga. Akibatnya mereka rentan menghadapi berbagai bentuk kekerasan (fisik, seksual, psikis, dan ekonomis). Karena adanya ketimpangan kelas dan relasi kekuasaan, sangat jarang pekerja rumah tangga yang mampu melawan kekerasan yang mereka hadapi. Hal ini dikarenakan pekerja rumah tangga pada umumnya adalah perempuan, baik anak-anak maupun dewasa (Raflis et al., 2016).

Profesi PRT yang mayoritas perempuan mengakibatkan perhatian terhadap PRT tidak dapat dilepaskan dari agenda gerakan perempuan di Indonesia. Masalah PRT tidak terlepas dari cara pandang gender yang bias yang menempatkan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak produktif, tidak memiliki nilai sosial, ekonomi dan politik. Pandangan stereotip tentang pekerjaan rumah tangga dan pekerjanya menjadi sumber munculnya kompleksitas persoalan yang menyelimuti pekerjaan pekerja rumah tangga.

Penindasan hak-hak PRT sebagai pekerja, tindakan semena-mena yang memperlakukan pekerja rumah tangga bukan sebagai manusia merupakan manifestasi dari praktik perbudakan domestik (domestic slavery). Dalam praktik ini, terjadi eksploitasi dan pemaksaan kerja terhadap pekerja rumah tangga. Bukan hanya di Indonesia, praktik perbudakan domestik ini juga menjadi fenomena global. Buruh-buruh migran menghadapi risiko terjebak dalam perbudakan domestik (Rahayu, 2011). Lalu, dengan berbagai persoalan yang terjadi dengan pekerjaan ini, pertanyaan selanjutnya bagaimanakah seharusnya bentuk kerja yang layak dan adil bagi pekerja rumah tangga. 

Definisi dari pekerjaan layak atau decent work secara sederhana adalah pekerjaan yang dilakukan atas kemauan atau pilihan sendiri, berupah atau memberikan penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup secara layak dan berharkat, serta terjamin dari keamanan dan keselamatan fisik maupun psikologis (Shanto, 2016).

Untuk dapat dikatakan sebagai pekerjaan layak, maka diharapkan dapat memenuhi 3 kondisi sebagai berikut: (1) Tersedia bagi semua orang pada usia produktif (jadi tidak termasuk usia anak-anak) tanpa kecuali, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, serta tanpa hambatan gender. (2) Semua pekerja terlindungi secara sosial, termasuk mereka yang terlibat dalam kegiatan ekonomi informal. (3) Semua pekerja tersalurkan suara dan aspirasinya melalui sistem dialog sosial yang berharkat secara kemanusiaan.

Sementara, kerja adil secara etimologi berdasarkan kamus besar bahasa indonesia (KBBI), kata adil artinya seimbang, tidak berat sebelah, berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus. Kita dapat menyimpulkan bahwa pengertian kerja adil adalah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kapasitas dan kelayakannya, serta bebas dari diskriminasi. Dari definisi kerja layak dan adil yang telah disampaikan di atas kita dapat mengambil poin penting tentang bagaimana seharusnya sebuah pekerjaan baik itu formal maupun informal berhak untuk mendapatkan kerja layak dan adil di negara ini tanpa terkecuali.

Melihat definisi buruh dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh adalah mereka yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Definisi pekerjaan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1951 tentang Pengawasan, pekerjaan adalah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Merujuk definisi tersebut sudah sepantasnya pekerja rumah tangga juga dikategorikan sebagai pekerja dan berhak atas hak kerja dan perlindungan kerja yang diatur oleh negara. 

Namun, persoalannya terdapat anggapan bahwa pekerja rumah tangga bukan termasuk pekerja. Hal ini tertuang dalam putusan P4 Pusat No. 70/59/111/02//c tanggal 19 Desember 1959, pekerjaan pekerja rumah tangga dikategorisasikan sebagai pekerjaan di sektor informal, maka perlindungan terhadap mereka pun berada di luar konteks hukum perburuhan. Dalam pertimbangan putusan tersebut, panitia pusat menyatakan bahwa mereka tidak mengurus persoalan-persoalan mengenai pembantu rumah tangga yang di kuasai oleh hukum adat. Terlebih lagi UU di atas tidak secara eksplisit menyebutkan istilah pekerja rumah tangga sebagai pekerja, sehingga dalam implementasinya, tetap saja pekerja rumah tangga dianggap bukan sebagai pekerja yang masuk dalam wilayah hukum perburuhan (Hidayati, 2011).

Lingkup kerja pekerja rumah tangga yakni di rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai ranah “privat‟, membuat pekerja rumah tangga tidak terlindungi jika mereka mendapatkan penganiayaan dari majikan. Karena sampai saat ini masyarakat luas juga aturan hukum masih memandang kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa orang-orang yang berada di dalamnya, tak terkecuali pekerja rumah tangga sebagai permasalahan nonpublik atau permasalahan domestik (rumah tangga) yang tidak perlu diintervensi oleh orang luar. 

Padahal apabila kita memasukkan pekerja rumah tangga sebagai buruh, pekerja rumah tangga berhak untuk memperoleh hak-haknya sesuai dengan hukum perburuhan. Dalam konteks perlindungan HAM universal, Duham telah mengatur perlindungan terhadap kemerdekaan seseorang termasuk terhadap segala jenis praktik perbudakan. Khusus mengenai perlindungan terhadap buruh, dalam konteks hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi-Konvensi ILO No. 187 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi (diratifikasi dengan Kepres RI No. 83 tahun 1998); konvensi ILO No. 98 mengenai Dasar-Dasar Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama (diratifikasi dengan UU No. 18 tahun 1956); Konvensi ILO No. 29 mengenai Kerja Paksa atau Wajib Kerja. Konvensi ILO 111 mengenai diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan (diratifikasi dengan Undang-Undang RI No. 2 tahun 1999).

Hambatan Bagi Terlaksananya Kerja Layak dan Adil

Ada beberapa hal yang membuat kerja layak dan adil belum diterima oleh pekerja rumah tangga, baik karena persoalan struktural dan persoalan kurangnya kekuatan agensi pekerja rumah tangga. Dalam pendekatan hubungan industrial kritis, pengusaha tidak akan memberikan hak-hak pekerja jika tidak ada dorongan dari luar mereka (kelly, 2002). Dengan kata lain, para pengusaha—termasuk di dalamnya majikan—dalam kapitalisme dihadapkan dengan hukum memaksa dari kompetisi pasar, sehingga tujuan mereka dibentuk adalah untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya, sekaligus menyingkirkan para pesaingnya atau melakukan oligopoli.

Kondisi tersebut yang membuat, mengharapkan kehendak baik (political will) dari pengusaha adalah sesuatu yang utopis, sehingga perlu ada dorongan untuk memaksa pengusaha memenuhi hak-hak pekerja, salah satunya melalui regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah. Mendorong terbentuknya regulasi merupakan proses politik yang melibatkan kontestasi melalui perjuangan kelas pekerja. Akan tetapi dalam konteks di Indonesia, kekuatan pekerja rumah tangga masih lemah. 

Dengan menggunakan pendekatan dari Wright (2000) dan Silver (2003), sumber kekuatan pekerja rumah tangga adalah dari kekuatan struktural (structural power) dan kekuatan asosiasi (association power). Kekuatan struktural dari pekerja rumah tangga dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kekuatan yang berasal dari pasar tenaga kerja (marketplace power) dan yang berasal dari tempat kerja (workplace power).

Kelas pekerja di sektor tertentu akan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kontestasi dengan majikan, ketika antrian pekerja ke sektor tersebut cukup sedikit atau bahkan kekurangan tenaga kerja (marketplace power), atau ketika pekerja tersebut memiliki kemampuan khusus yang begitu penting dalam jalannya produksi, sehingga sulit tergantikan (workplace power). Dua sumber kekuatan ini bergantung pada kondisi struktural ketenagakerjaan di lokasi dan waktu tertentu.

Situasi yang terjadi di AS pada pertengahan 2021 misalnya, akibat pandemi Covid-19, ditutupnya akses masuk ke AS untuk pekerja imigran, dan banyaknya pekerja yang mencapai usia pensiun, membuat terjadi kekurangan tenaga kerja. Konsekuensi dari kekurangan tenaga kerja itu, sebanyak 32% pengusaha kecil-menengah meningkatkan besaran upah demi menarik minat pekerja agar mau bekerja di perusahaannya (Rosenbaum, 2021).

Dalam konteks pekerja rumah tangga, kita dapati kekuatan yang berasal dari kondisi struktural sangat lemah, dengan skill dan daya tawar pekerja rumah tangga yang bisa saja dengan mudah digantikan dengan pekerja yang lain di tengah surplus tenaga kerja di Indonesia. Kondisi daya tawar pekerja rumah tangga yang mengharuskan untuk tinggal di rumah tangga tempat mereka bekerja, keadaan seperti ini membuat mereka terisolasi dari pekerja lain. Pekerja rumah tangga biasanya tidak memiliki rekan kerja, dan dikarenakan jam kerja yang tidak menentu membuat mereka sulit untuk bertemu sesama pekerja untuk bertukar pengalaman dan informasi dan berorganisasi.

Faktor lain yang memengaruhi rendahnya upah pekerja rumah tangga adalah biasanya pekerja rumah tangga memiliki pendidikan formal yang rendah, sehingga membuat pekerja rumah tangga masuk dalam golongan kelompok sosial kurang beruntung yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan alternatif. Oleh karena itu pentingnya melakukan pelatihan keterampilan dan pengakuan formal atas keterampilan merupakan sarana untuk memperkuat daya tawar pekerja rumah tangga di dalam hubungan kerja (ILO, 2015).

Ketiadaan sumber kekuatan yang berasal dari kondisi struktural, pada kenyataannya dibarengi dengan lemahnya kekuatan pekerja rumah tangga yang berasal dari asosiasi pekerja. Di satu sisi, keengganan atau ketidakmauan pekerja rumah tangga untuk berserikat dipengaruhi oleh ketiadaan kesadaran tentang pentingnya serikat dan ketakutan bergabung di serikat karena adanya aturan dari perusahaan platform yang memasukkan aksi-aksi politik sebagai pelanggaran. Lemahnya kesadaran berserikat, turut dipengaruhi oleh proses depolitisasi dan penghancuran serikat pekerja yang terjadi sejak tahun 1965 (Lane, 2014).

Di sisi lain, serikat atau asosiasi pekerja rumah tangga yang sudah ada cenderung memiliki anggota yang sedikit dan tidak memiliki program politik serta ideologis. Hal itu disebabkan 4 hal: pertama, pekerja rumah tangga selama ini terisolasi dari dunia luar dan sulitnya pihak lain menemui mereka. Pekerja rumah tangga yang bekerja di ruang privat dan dalam kendali pengguna jasa, tidaklah mudah untuk ditemui, diajak bicara panjang lebar, serta diajak berorganisasi. Apalagi jika pekerja rumah tangga tersebut live-in (tinggal di rumah pengguna jasa), sehingga semakin terbatas lagi ruang geraknya. Apabila sudah masuk organisasi, kadang keikutsertaan dan keaktifan mereka sering kali tergantung dari “kebaikan hati” pengguna jasa. 

Kedua, waktu dan sumber daya yang terbatas. Waktu luang yang dipunyai pekerja rumah tangga amatlah sedikit. Hal ini terjadi karena masih banyaknya pekerja rumah tangga yang tidak mendapatkan hari libur mingguan (1 hari dalam 1 minggu). Jika pun mendapat libur mingguan, waktu libur itu harus digunakan untuk berbagai hal, misalnya untuk keluarga. 

Ketiga, tidak ada kapasitas yang memadai dan strategi yang jelas dalam pengorganisasian. Kegagalan-kegagalan dalam pengorganisasian pekerja rumah tangga di Indonesia yang dimulai sejak awal 2000-an salah satunya karena tiadanya strategi yang jelas. Keempat, merosotnya jumlah keanggotaan dan partisipasi dalam kelompok atau organisasi. Masalah ini terkait dengan poin ketiga, karena kapasitas organisator yang tidak memadai dan strategi yang digunakan tidak tepat semakin mempercepat penurunan atau ketidakaktifan anggota.

Gastaldi, Jordhus-lier, dan Prabawati (2018) juga mengungkapkan hal yang hampir sama bahwa ada empat hambatan struktural sehingga pengorganisasian pekerja rumah tangga menjadi sulit. Pertama, adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pekerja rumah tangga dengan majikan atau rumah tangga tempat pekerja rumah tangga bekerja. Kedua, para pekerja rumah tangga berpendidikan rendah dan mempunyai sedikit keahlian formal yang dihargai dalam dunia kerja, sehingga melemahkan posisi pekerja rumah tangga dalam melakukan tuntutan upah dan negosiasi kerja. Ketiga, pekerjaan rumah tangga kerap bersifat informal, lemah dan tidak ada kesepakatan kontrak. Keempat, pekerjaan dilakukan di rumah pribadi yang merepresentasikan angkatan kerja yang terisolasi dari kawan-kawan pekerja lainnya. Karena terisolasi ini, jika pekerja rumah tangga mendapatkan masalah, dia harus menghadapinya sendirian (Ujianto, 2019). 

Persoalan kondisi struktural ketenagakerjaan yang membuat daya tawar pekerja rumah tangga, dan lemahnya kekuatan organisasi pekerja rumah tangga, telah menghambat berbagai agenda perbaikan dalam proses kerja. Di satu sisi, dampak dari ketiadaan posisi tawar yang kuat, memungkinkan bagi majikan atau orang yang mempekerjakan pekerja rumah tangga tidak memenuhi hak-hak pekerja rumah tangga, sehingga terjadi praktik relasi kerja yang tidak adil, upah di bawah standar, jam kerja berlebih, dan juga ketiadaan perlindungan sosial, bahkan saat pandemi Covid-19 berlangsung. Di sisi lain, lemahnya kekuatan pekerja rumah tangga membuat negara, sebagai arena kontestasi, cenderung membiarkan ketidakadilan yang dialami oleh pekerja rumah tangga.

Mendesak Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Situasi besarnya cadangan pekerja yang mengantri serta siap untuk menjadi pekerja rumah tangga, tidak lantas menjadi sebuah kutukan yang membuat pekerja rumah tangga tidak mungkin mendapatkan perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan. Besarnya jumlah tentara cadangan pekerja (reserve army of labour) di suatu tempat, cenderung mendepolitisasi kelas pekerja dan memungkinkan bagi perusahaan—dalam konteks ini majikan—menetapkan upah serendah mungkin, tetapi hal tersebut dapat dibalikkan melalui agensi pekerja. Agensi merupakan konsep dimana kelas sosial melakukan perjuangan secara bersama untuk tujuan tertentu yang mereka kehendaki (Schwarzmantel, 2009). 

Secara umum, agensi pekerja terwadahi dalam bentuk asosiasi atau serikat, yang menjadi kendaraan politik untuk memperjuangkan tujuan dan cita-cita mereka dengan berbagai metode dan strategi tertentu. Melalui agensi pekerja rumah tangga, yang menjadi sumber kekuatan pekerja, maka perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan serta perlindungan pekerja rumah tangga sangat dimungkinkan untuk diraih. 

Saat ini, organisasi pekerja rumah tangga sudah banyak tumbuh di Indonesia dan dengan tuntutan yang semakin subtantif, yaitu tentang bagaimana kerja dikelola secara adil. Salah satu upaya dan cara paling efektif dalam memberikan kerja yang layak serta adil bagi pekerja rumah tangga adalah dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pekerja rumah tangga. Oleh sebab itu, banyak pihak dan penulis sendiripun mendesak untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ini timbul atas dasar kekhawatiran para pekerja rumah tangga mengenai upah, jam kerja, jaminan sosial dan kebebasan untuk berserikat yang sebenarnya hal ini merupakan bagian dari hak-hak dasar yang dimiliki oleh seorang pekerja yang harus dijamin serta dilindungi keberadaannya. Kemudian, melalui rancangan undang-undang tersebut akan mengubah pola hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja dimana pada awalnya dalam hubungan kerja tersebut posisi pemberi kerja sangat dominan sehingga hal ini yang kemudian mengarah pada bentuk-bentuk pengabaian terhadap hak-hak pekerja rumah tangga.

Harapannya, setelah adanya undang-undang ini, pemberi kerja dapat dan harus membatasi dirinya terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan hubungan kerja (Mulyadi, 2016). Namun demikian, RUU PPRT ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga saja, akan tetapi juga memberikan perlindungan yang sama bagi pemberi kerja khususnya mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja.  

Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga selama ini tidak diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Wilayah kerja yang bersifat domestik dan privat menyebabkan tidak adanya kontrol dan pengawasan dari pemerintah, padahal dalam praktiknya rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.

Sebagai amanat dari konstitusi, pekerja rumah tangga sebagai bagian dari warga negara berhak untuk pendapatkan pengakuan, penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak dasar pekerja dan kesejahteraan sebagai pekerja dan warga negara. Oleh karenanya, melalui RUU PPRT turut mengakomodasi hak-hak PRT sebagai bagian dari pekerja dan warga negara yang juga berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, seperti pengaturan mengenai ketentuan pengupahan, jam kerja dan istirahat, batasan usia minimum untuk boleh bekerja hingga jaminan sosial dan hal-hal lain yang mampu menunjang kualitas hidup PRT.

Adanya jaminan sosial bagi PRT dalam bentuk jaminan kesehatan seperti jaminan kesehatan nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS), dimana mereka akan masuk sebagai bagian dari kategori penerima bantuan iuran (PBI). Karena dalam praktiknya selama ini mayoritas pekerja rumah tangga menerima upah yang rendah dan tidak sanggup berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan karena pembayaran iurannya dianggap memberatkan mereka, sehingga jangankan ikut serta dalam program asuransi jaminan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri pun sulit.

Kemudian melalui pengaturan bentuk jaminan sosial lainnya pada bidang ketenagakerjaan dalam RUU ini, jaminan tersebut akan ditanggung bersama antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja seperti jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian (Afifah & Hidayati, 2016). 

Untuk menjamin perlindungan serta peningkatan kualitas hidup pekerja rumah tangga, melalui pengaturan RUU ini para pekerja rumah tangga juga berhak atas pendidikan dan pelatihan yang bisa didapatkan secara gratis dan berkualitas melalui balai latihan kerja (BLK) yang difasilitasi oleh pemerintah dan dapat diakses oleh pekerja rumah tangga baik di wilayah asal ataupun di wilayah kerja.

Dalam RUU PPRT ini, terminologi yang digunakan bukan lagi pembantu rumah tangga, melainkan pekerja rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengakuan kepada mereka sebagai insan pekerja yang juga memiliki hak-hak istimewa. Bahwa selama ini segala bentuk diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya terbentuk karena adanya bias kelas yang terbentuk di masyarakat, bahwa PRT dianggap sebagai ras pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, serta pekerjaannya dianggap tidak bernilai ekonomis dan rendahan.

Penutup

Profesi PRT sudah selayaknya dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang juga memiliki perlindungan hukum. Terlebih sebagian besar pekerja di sektor ini merupakan perempuan yang sangat rentan dengan berbagai diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Bekerja dari rumah dan berinteraksi secara langsung dengan pemberi pekerjaan membuat banyak kasus pelanggaran dan diskriminasi tidak keluar ke publik, baik itu karena PRT yang tidak melapor maupun karena adanya berbagai ancaman yang diberikan pemberi kerja. 

Pada akhirnya dengan mempertimbangkan harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang bekerja untuk kelangsungan hidupnya tidak sepatutnya berbagai stigma negatif tersemat kepada para PRT yang dengan penuh pengorbanan dan dedikasi melayani serta membantu berbagai tugas dan pekerjaan banyak orang di sektor domestik yang tidak mampu diselesaikan sendiri oleh pemberi kerja.

Negara sebagai Institusi tertinggi haruslah memberikan perlindungan serta edukasi kepada pekerja rumah tangga agar kesejahteraan dan taraf hidup mereka meningkat. Pengesahan RUU PPRT harus disegerakan agar berbagai kasus negatif yang terjadi selama ini paling tidak berkurang dan dapat dihentikan.

(Artikel ini adalah pemenang lomba artikel mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE)

Daftar Pustaka

Afifah, W., & Hidayati, T. S. (2016). Jaminan Sosial Bagi Pekerja Rumah Tangga. Mimbar Keadilan, 1(6), 54–69.

Hidayati, M. (2011). Upaya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Sebagai Kelompok Masyarakat Yang Termarjinalkan di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol 1 No.1(1), 8.

ILO. (2015). Tren ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia 2014 – 2015: Memperkuat daya saing dan produktivitas melalui pekerjaan layak. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_381565.pdf

Lane, M. (2014). Unfinished nation: ingatan revolusi, aksi massa dan sejarah Indonesia. Penerbit Djaman Baroe.

Misiyah. (2020). PRT adalah Pekerja Rumah Tangga, Bukan Pembantu. Dw.Com. https://www.dw.com/id/prt-adalah-pekerja-rumah-tangga-bukan-pembantu/a-53728584

Mulyadi, D. (2016). Pentingnya Pengesahan Ruu Perlindunganpekerja Rumah Tangga Untuk Melindungi Pekerja Rumah Tangga yang Rentan Menjadi Korban. Universitas Pasundan.

Raflis, R. I., Rochaeti, N., & Wijaningsih, D. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Perempuan Korban Tindak Kekerasan. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1–26.

Rahayu, D. (2011). Perlindungan Hukum bagi Buruh Migran Terhadap Tindakan Perdagangan Perempuan. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 18(1), 115–136.

Rosenbaum, E. (2021). America’s Small Businesses Still Can’t Find Workers, But That’s Not Their Biggest Problem. CNBC.

Schwarzmantel, J. (2009). Gramsci and the problem of political agency. In Gramsci and Global Politics (pp. 93–106). Routledge.

Shanto. (2016). Pekerjaan Layak Atau Decent Work. Spn.or.Id. https://spn.or.id/pekerjaan-layak-atau-decent-work/#:~:text=Mungkin banyak dari kita yang membiayai hidup secara layak dan

Silver, B. (2003). Forces of Labor: Workers Movements and Globalisation since 1870. Cambridge University Press.

Tuwu, D. (2018). Peran Pekerja Perempuan Dalam Memenuhi Ekonomi Keluarga: Dari Peran Domestik Menuju Sektor Publik. Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, 13(1), 63–76.

Ujianto, A. (2019). Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Dalam Memperjuangkan Situasi Kerja Layak. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, 3(1), 111–127. Wright, E. O. (2000). Working-class power, capitalist-class interests, and class compromise. American Journal of Sociology, 105(4), 957–1002.

Irfan Abdul Hakim

Wakil Ketua Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) Kabupaten Sleman
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!