‘Ngobrolin Seks Dicap Mesum’, Padahal Menabukan Seks itu Kuno, Say!

Menabukan seks bisa berdampak tak sepele. Sementara pengetahuan seks yang benar berkontribusi besar agar seseorang lebih bertanggung jawab, tahu risiko melakukan hubungan seks hingga mencegah adanya pelecehan dan kekerasan seksual.

Di suatu sore, dalam penerbangan Yogyakarta-Jakarta, saya membaca sebuah buku yang baru saja saya beli. Judulnya, Sebab Kita Semua Gila Seks. Sampul merah menyala dan ilustrasi perempuan yang tampak sedang masturbasi, menghiasi sampul buku karya Ester Pandiangan itu. Penasaran banget dengan isinya!

Selesai membaca pengantar dan daftar isinya, saya buka subjudul yang terpampang jelas lengkap dengan ilustrasi gambar sketsa. Ada gambar payudara, vagina, penis, adegan menghisap payudara, dan beberapa sketsa abstrak dengan nuansa monokrom. Semua itu digambar manual memenuhi satu lembar halaman. Tak ada yang ditutup-tutupi. 

Selama membaca buku itu, dua orang laki-laki berusia sekitar 30 tahun dan 50 tahun, yang mengapit tempat duduk saya, saya lirik begitu gelisah. Beberapa kali melirik ke arah buku yang sedang saya baca. Sambil berdehem-dehem kecil. 

Meski tak ada sepatah katapun keluar dari mulut, tetapi tatapan mata dan gestur tubuh mereka seolah-olah saya rasakan sedang berucap, “Mbak, bacaannya soal seks, Anda mesum ya! Sange-an ya? dan blablabla.” 

Sempat bikin saya agak overthinking dengan apa yang mungkin sedang mereka pikirkan. Tetapi ya udahlah, karena topik bahasannya menarik saya lanjutkan sampai setengah isi buku saya lahap selama satu jam perjalanan. 

Obrolan Seks Dianggap Tabu 

Momen yang saya alami di dalam pesawat sepekan terakhir itu, seolah-olah memanggil kembali memori saya selama berbelas tahun silam. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga dan sosial yang teramat tabu membincangkan soal seks. Di usia bocah, penyebutan alat kelamin saja pakai kode-kodean seperti ‘manuk’ (burung—bahasa jawa) merujuk pada penis, gembes (bahasa Jawa di sekitarku) merujuk pada vagina, susu (merujuk pada payudara), dan lainnya. 

Saat beranjak remaja, perempuan pun tidak dijelaskan soal fase menstruasi dengan baik. Saya sendiri pertama menstruasi menangis karena tiba-tiba ada darah keluar dari vagina. Saya hanya ditenangkan dan diberi pembalut serta jamu. “Biar gak nyeri,” kata ibu kala itu. Tak ada informasi lengkap lanjutan, bahwa setelah menstruasi akan ada konsekuensi fungsi reproduksi ataupun kesehatan seksualitas yang melingkupi. 

Ajaibnya lagi, saya yang bersekolah di institusi agama sering kali ditakut-takuti perihal seks dan seksualitas. Kata guru saya kala itu, masturbasi katanya bisa bikin ibadah kita tidak akan diterima sampai 40 hari lamanya. Haram dan berdosa hukumnya! 

Jangankan mau bicara soal seks (mengarah ke pengetahuan organ reproduksi sendiri dan edukasi seksualitas), guru juga menakut-nakuti kalau bersentuhan dengan lawan jenis nanti akan masuk neraka, hukumannya akan ditusuk besi sampai meleleh. Ingatan itu begitu membekas dan membuat perbincangan soal seks “terbungkam”.

Rasanya tak ada ruang untuk sekadar ngobrol santai, menjawab keingintahuan tentang seks. Istilah seks sendiri saja, bahkan sering kali para orang dewasa kaburkan dengan istilah-istilah absurd. Misalnya saja yang pernah saya dengar dari sepasang suami istri menyebut kata ‘Clek’. Ketika saya tanya, katanya itu artinya “memberi uang” padahal setelah sekian lama saya sadar bahwa waktu itu mereka sedang membahas soal hubungan seksual.

Namun ironisnya, kala itu tak sedikit remaja perempuan seusia saya justru terjerumus dalam pengetahuan hubungan seksual yang “sesat”. Ada yang mempraktikkan tontonan video porno dengan melakukan seks tidak aman, kehamilan tidak diinginkan di usia anak, hingga menjadi pelaku kekerasan seksual. 

Sungguh jika direfleksikan, pandangan soal seks di masyarakat memang paradoks! Satu sisi, tak memberi akses pengetahuan yang benar, tetapi menuntut anak-anak atau remaja untuk secara ajaib “langsung tahu” mana yang seharusnya dan tidak seharusnya seputar seks. 

Seolah-olah “jijik” dengan bahasan soal seks dan menabukan, padahal barangkali kita sebagai manusia (bagi yang memiliki ketertarikan seksual) tidak bisa lepas dari seks. Bahkan pula, sadar atau tidak sadar menggilai seks. 

Sebab Kita Semua Gila Seks

Membaca Sebab Kita Semua Gila Seks karya Ester memang kayak lagi curhat dengan teman sebaya: merefleksikan pengalaman seputar seks dengan ringan dan tanpa harus merasa gak enak. Ester membuka tulisannya dengan pengalamannya—di generasinya— yang begitu tabu membincangkan soal seks dan seksualitas. Hal itu sangat kontras dengan pengalaman keponakan perempuannya bernama Tasha di era kini, yang lebih terbuka soal edukasi seks—dukungan perspektif orang tua sangat berpengaruh. 

“Saya dan si Kakak (sebutan partner Ester) tidak mendapatkan privilese seperti Tasha yang begitu gamblangnya bisa mengobrolkan vagina dan penis tanpa harus takut dianggap kurang ajar. Ketika tertangkap masturbasi, Tasha tidak mendapatkan tangisan, doa, dan air mata seperti yang saya alami saat berusia sebelas tahun—saya didoakan supaya sembuh dari masturbasi!” tulis Ester di bahasan “Akibat Menabukan Seks” (hal. 9). 

Seperti yang saya alami soal dogma-dogma ceramah agama yang “menakutkan” soal seks, Ester juga bilang bahwa seks menjadi tabu juga disebabkan karena selalu dibalut dengan teks-teks kitab suci atau norma adat. Sehingga membuat kita gagal mendapatkan pengetahuan soal seks secara maksimal. 

“Seks, pengalaman sehari-hari dari peristiwa yang enggan kita bicarakan tetapi sejatinya pernah atau akan kita kerjakan. Tak ada yang ditutupi atau dimanipulasi. Sebab kita semua, tak peduli latar belakang atau penampilan, membutuhkan seks. Mungkin juga menggilainya,” tegas Ester.

Ester juga memotret betapa salah kaprahnya menabukan seks itu, bisa berdampak tidak sepele. Mulai dari pelanggengan kekerasan seksual, terjerumus dalam risiko hubungan seks tidak aman, sampai penyakit menular seksual. Padahal, pengetahuan seks yang benar berkontribusi besar agar seseorang lebih bertanggung jawab, tahu risiko melakukan hubungan seks hingga mencegah adanya pelecehan dan kekerasan seksual—yang belakangan ramai mencuat kasusnya.

Ini termasuk potensi kekerasan seksual yang terjadi di lingkaran terdekat atau keluarga. Ester mencontohkan pada film pendek karya Ari Aster berjudul The Strange Thing about the Johnsons (2011). Film karya sutradara Hereditary dan Midsommar bercerita tentang kekerasan seks yang terjadi di dalam rumah, dimana pelakunya seorang anak kepada orang tua yaitu anak laki-laki kepada ayahnya. Dampak dari menabukan seks, kekerasan seksual itu dilanggengkan dengan alasan “menjaga nama baik”. Klise banget, kan!

Tak hanya bicara soal fenomena masyarakat yang menabukan seks, perempuan lulusan USU itu, juga mengajak pembaca untuk lebih sadar akan upaya menikmati seks yang setara. Salah satunya perjalanan seksualitasnya “Ngewe-Ngewe Lucu Ketika Traveling” dengan membongkar mitos dan stigma tentang seksualitas perempuan, rekomendasi musik saat seks, testimonial ngeseks sama yang sunat atau nggak sunat, sampai rasanya bercinta dengan makhluk halus. 

Secara blak-blakan Ester juga membongkar habis bagaimana laki-laki memburu seks. Bagaimana laki-laki membangun citra fuckboy agar bisa ngewe dengan banyak perempuan, obsesi laki-laki dengan ukuran penisnya, bagaimana salah kaprah persepsi laki-laki kalau perempuan yang ‘bertato-ngerokok-minum-suka ngomongin seks’ itu gampang di-ewe, laki-laki yang ngejar seks gratis lewat aplikasi dating, sampai stigmatisasi perempuan yang suka gambar kelamin artinya sedang sange. 

Semuanya Ester kisahkan dengan bahasa ringan dan renyah! Buku setebal 215 halaman itu pun, tak terasa bisa dibaca hanya sekali dua kali duduk. Saking bahasanya enak dipahami dan mengalir. 

Jika kamu tak seberuntung saya ataupun Ester, yang tidak mendapatkan pendidikan seks dan seksualitas dengan benar serta komprehensif, setidaknya kita bisa lebih sadar untuk bisa menularkan pengetahuan seks dengan lebih baik. Entah jadi orang tua nanti ataupun sebagai siapapun ke orang terdekat kita. Terlebih kepada anak dan remaja yang masih panjang pengalamannya menyongsong seksualitas. 

Menganggap seks itu tabu sudah kuno! Cukup di zaman kita-kita aja. Jadilah orang tua—dalam arti sebenarnya ataupun sosial— yang bisa membangun komunikasi sehat soal seks dan seksualitas. 

Sebuah kalimat penutup dari Ester, “Sebaik-baiknya edukasi seks memang harus dilakukan oleh orang tua, tentu dengan cara yang benar. Orang tua harus membangun percakapan terbuka dan jujur. Terutama memandang perkembangan seksual sebagai bagian normal dari tumbuh kembang anak sebagai manusia seutuhnya.” 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!